Duc In Altum

Klik Ikuti

Epistel Minggu 16. Set Trinitatis (15 September 2024) Ep : LUKAS 9:22-27 TUHAN TELAH BERBUAT BAIK KEPADAMU

Epistel Minggu 16. Set Trinitatis (15 September 2024) Ep : LUKAS 9:22-27 TUHAN TELAH BERBUAT BAIK KEPADAMU

 

Epistel Minggu 16. Set Trinitatis (15 September 2024)

Ep       :           LUKAS 9:22-27

TUHAN TELAH BERBUAT BAIK KEPADAMU

PENDAHULUAN

Tema minggu 16 Setelah Trinitatis ini merupakan kelanjutan dari tema minggu lalu. Jikalau minggu lalu kita diajak untuk merenungkan bahwa “Yesus menjadikan segala-galanya baik”. Minggu ini kita diberikan suatu jawaban yang jelas yakni “Tuhan Telah Berbuat Baik Kepadamu”. Kelanjutan tema ini memberikan suatu dampak yang begitu luar biasa. Tema minggu ini hendak menegaskan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan, dan memang Dia telah berbuat baik kepada kita. Perenungan hari ini membawa fokus iman percaya kita agar lebih teguh dan setia memegang janji Tuhan. Dia senantiasa bekerja dalam kehidupan kita, untuk mendatangkan kebaikan. Pada akhirnya, segala pekerjaan baik yang dijanjikan oleh Allah dalam kehidupan orang percaya dinyatakan secara luar biasa dalam diri Yesus Kristus, Sang Juruselamat, yang menjadi korban tebusan untuk kehidupan dan keselamatan kita.

PENJELASAN NAS

Melalui perikop Lukas 9:22-27 dengan terang tema Tuhan telah berbuat baik kepadamu. Ada 2 Poin penting yang harus kita renungkan:

1.        Bukti dari perbuatan kasih Tuhan: Pemberitahuan Penderitaan Kristus.

Inilah yang menjadi bukti pertama kasih Allah yang digambarkan dengan jelas pada ayat 22. Bahwa Anak Manusia harus menanggung hukuman dosa, penderitaan, penolakan, oleh para majelis agama (Sanhedrin), kemudian di bunuh dan pada akhirnya Anak Manusia menunjukkan kuasa melalui kebangkitan-Nya. Yesus mencoba memberitahukan apa yang akan terjadi pada diri-Nya, serta yang harus dilalui-Nya dalam masa hidup pelayan-Nya di tengah dunia. Dan pemberitahuan inilah yang menjadi bukti kedua kebaikan Allah.  Sebab pemberitahuan ini memiliki tiga makna mendalam:

a.      Yesus Kristus memberitahukan persyaratan dan mempersiapkan para murid. Bahwa mengikut Kristus berarti turut mengambil jalan yang sulit dan penuh tantangan, bahkan kematian. Mengikut Yesus berarti harus siap ditolak oleh dunia. Mengikut Yesus berarti harus rela menderita. Suatu tradisi yang menjadi standar pendidikan dalam dunia orang Yahudi cukup berbeda dengan pendidikan sekarang. Pada zaman itu, para murid hidup 24 jam bersama-sama dengan sang guru. Melakukan segalanya bersama, menghabiskan waktu bersama, senantiasa berdiskusi, belajar, dan memberi-mendengarkan nasihat. Tugas dan tanggungjawab utama seorang murid yang menjadi tolak ukur pada zaman itu adalah: murid harus patuh dan melayani guru. Dengan Yesus mengajarkan apa yang harus mereka lewati bersama sang guru, serta standar agar menjadi murid-Nya, Yesus hendak mempersiapkan para murid serta membuat mereka mengambil komitmen kesiapan untuk mengikuti jalan yang sulit dan penuh tantangan itu.

b.      Yesus hendak memberitahukan Kuasa-Nya. Mulanya, Yesus menyebut diri-Nya sebagai Anak Manusia. Gelar ini menjadi istimewa setelah Daniel memberikan gambaran tentang Anak Manusia sebagai penyelamat (Dan. 7:13). Yesus menggunakan istilah ini untuk memberitahukan bahwa Dia-lah Mesias yang harus menderita, mati, dan bangkit itu. Pemberitahuan Yesus tentang penderitaan-Nya juga terperinci. Penolakan oleh Sanhedrin (Mahkamah Agama), memikul salib, dibunuh dengan salib yang dipikul. Ini menunjukkan bahwa Yesus mengetahui masa depan dan apa yang akan terjadi pada-Nya. Pemberitahuan ini seharusnya memberikan ketenangan penuh bagi para murid sebab sedemikian berkuasalah Yesus yang mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan, sebagai bukti bahwa Dia adalah Tuhan.

c.       Yesus memberitahukan Tujuan dari pengorbanan-Nya. Yesus menggunakan tradisi pengajaran guru-murid ini dengan sangat baik. Yesus menjelaskan dalam ayat 23: "Barang siapa yang mau mengikut Aku". Yesus hendak memberitahukan posisinya sebagai seorang Guru, dan tugas seorang murid secara mutlak adalah untuk mengikuti sang guru. Guru selalu memberikan pengajaran dengan satu tujuan jelas. Seorang murid pada masa itu tidak akan mau mengikuti seorang guru yang tak jelas pengajaran dan tujuan dari pengajarannya. Yesus tegas mengatakan: mengikut Kristus adalah untuk memikul salib agar tidak kehilangan nyawa (memperoleh kehidupan kekal dalam karya penyelamatan). Inilah yang menjadi Tujuan kematian Anak Manusia, agar genaplah kasih Allah yang menyelamatkan melalui salib yang dipandang penuh hina dan cela itu.

2.        Respon kita terhadap Perbuatan Baik Allah yang Dinyatakan itu.

Allah telah mengatakan kebaikan-Nya melalui pengorbanan-Nya, teladan-Nya, serta ajaran-Nya yang mempersiapkan kita. Lalu, apa yang menjadi respon kita terhadap tema dan nas ini sebagai orang percaya? Ada 3 hal yang harus kita lakukan sebagai respon:

a.      Pertama: Menyangkal diri Memikul salib. Menyangkal diri berarti melupakan kepentingan sendiri dan mengarahkan kepentingan itu menjadi kepentingan Allah. Memikul salib berarti tindakan yang dilakukan oleh seorang yang hendak dihukum mati pada zaman itu. Dimulai dari tempat di mana dia dihukum hingga ke tempat penyaliban, dia akan diarak sembari memikul salibnya sendiri untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Menyangkal diri (mengesampingkan identitas duniawi dan fokus pada identitas sebagai pengikut Tuhan) dan memikul salib (mati terhadap ambisi duniawi dan mengarahkan pada keinginan Tuhan) setiap hari harus menjadi komitmen orang-orang yang mau mengikut Kristus.

b.  Kedua: Menyerahkan Hidup sepenuhnya untuk Allah. Sebagaimana Kristus yang mengorbankan nyawa-Nya demi kehidupan dan keselamatan kita, demikianlah yang secara tegas Yesus inginkan untuk mensyukuri dengan sungguh pengorbanan, kebaikan, dan cinta kasih yang telah dinyatakan-Nya itu. Yesus bukan hendak mengajarkan agar kita menjadi radikal yang rela kehilangan nyawa secara konyol. Ini menegaskan langkah para murid untuk meneladani Sang Guru Agung. Dia yang memikul salib sebagai lambang kehinaan, penolakan, dan olok-olok, menjadi representasi kita yang harus siap dihina, dicecar, ditolak, bahkan mati demi mempertahankan iman kita. Konteks ini mungkin tidak terlalu relevan bagi Kristen Indonesia. Tetapi di luar sana banyak orang yang memilih lebih baik mati daripada meninggalkan Kristus. Inilah tanda Murid yang sejati. Jangan hilangkan iman dan Tuhan demi kenyaman dan kenikmatan dunia semu.

c.    Ketiga: Mengimani dan Mengakui. Puncak dari memikul salib dan penyerahan diri penuh adalah dengan menyatakannya dengan lantang ke tengah-tengah dunia. Teringat dengan perkataan Martin Luther ketika melakukan reformasi: "Here i stand/di sini aku berdiri" yang menunjukkan keteguhan hati, keyakinan, tekad, dan komitmennya dalam melakukan reformasi kendati di bawah tekanan otoritas gereja pada saat itu. Demikianlah gambaran kita sebagai murid Kristus yang siap mengatakan "Here i stand" sebagai bukti konkrit keteguhan hati, keyakinan, tekad, dan komitmen sebagai murid Kristus kendatipun kita berada dalam tekanan kuasa-kuasa duniawi dan pergumulan. Di sini aku berdiri, berjalan bersama Kristus dalam jalan salib, guna menghidupi dan mensyukuri keselamatan yang telah diberikan kepadaku.

Epistel Minggu 14. Set Trinitatis (1 September 2024) Ep: Matius 15:1-9 BERPEGANG PADA PERINTAH TUHAN

Epistel Minggu 14. Set Trinitatis (1 September 2024) Ep: Matius 15:1-9 BERPEGANG PADA PERINTAH TUHAN

 

Epistel Minggu 14. Set Trinitatis (1 September 2024)

Ep:      Matius 15:1-9

BERPEGANG PADA PERINTAH TUHAN

PENDAHULUAN

            Konteks perikop kali ini adalah pertentangan antara Yesus dengan para ahli Taurat dan orang Farisi. Perdebatan mereka sangat jelas yaitu tentang tradisi membasuh tangan sebelum makan, yang tampaknya menjadi tradisi lisan yang telah turun-temurun dilakukan oleh nenek moyang bangsa Israel. Perdebatan terjadi karena murid-murid Yesus tidak meneladani tradisi ini dimana mereka tidak membasuh tangan terlebih dahulu sebelum makan. Tradisi yang dipertegas oleh para ahli Taurat dan orang Farisi di sini adalah tradisi teharot. Tradisi ini adalah aturan yang mencakup tentang: kebersihan makanan (jenis, tata cara penyembelihan, dan jauh dari kenajisan), penggunaan alat makanan (kosher: disiapkan berdasarkan aturan kelayakan Yahudi), pengolahan makanan (memisahkan daging dan susu), dan kebersihan sebelum makan (membasuh tangan). Tradisi ini sangat penuh pengawasan. Tujuannya adalah untuk menaati secara ketat tradisi teharot ini.

            Adakah yang salah dengan mengikuti tradisi ini? Tentu saja tidak. Menjaga kebersihan makanan sangat dianjurkan. Lalu mengapa Yesus mendebat teguran orang Farisi dan ahli Tarat? Alasannya adalah karena praktik tradisi ini yang telah menyimpang. Mereka yang menjalankan tradisi ini secara ketat memandang mereka yang belum sempurna melaksanakan ini adalah “orang-orang najis”. Makanan yang tidak diolah berdasarkan hukum ini menjadi “makanan yang najis”. Alat-alat yang dipersiapkan dengan tidak mengikuti tradisi ini juga berubah menjadi “alat-alat yang najis”. Hukum Teharot membuat orang Farisi dan ahli Taurat begitu gampang menghakimi dan memandang rendah sesama. Inilah yang secara tegas ditentang oleh Yesus. Hukum yang baik jika dipraktikkan dengan sewenang-wenang akan menghancurkan. Sayangnya, ahli taurat dan orang farisi hanya “berkedok” dan bersembunyi di balik hukum untuk mengangkat harga diri mereka dan demi kemuliaan nama mereka sendiri.

PENJELASAN NAS

Perikop kali ini diberikan tema “Berpegang pada perintah Tuhan”. Melalui konteks ini, Yesus membenturkan antara “hukum Allah” dan “hukum manusia”. Apa yang menjadi perenungan bagi kita kali ini?

Pertama: Taat Hukum haruslah Tulus Hati. Yesus mengutip perkataan nabi Yesaya untuk memberikan gambaran terhadap teguran ahli Taurat dan orang farisi (ay.8-9; bnd. Yes. 29:13). Mereka tidak menjadikan firman Tuhan sebagai aturan dalam penyembahan, ataupun kehendak-Nya sebagai alasan beribadah. Ketika Yesus merujuk kitab Yesaya, ini mempertegas situasi perdebatan itu. Dalam konteks Yesaya, bangsa itu beribadah dengan ketetapan yang disusun oleh nabi palsu dan raja-raja yang melakukan penyembahan berhala. Hal ini diperparah karena mereka menganggap ini lebih berharga daripada firman Tuhan sendiri. Pantas saja Yesus langsung mengecam komentar mereka dengan memberikan contoh nyata yaitu mengambil ajaran orang Farisi dan ahli Taurat tidak salah menelantarkan orang tua jika karena persembahan. Dalam penjelasan-Nya, Yesus mengucapkan tentang hukum Taurat ke-5 (ay.4; bnd. Kel.20:12; 21:17; Im.20:9; Ul.5:16). Akan tetapi orang Yahudi mampu meniadakan kebenaran dengan berdalih pada kebenaran lainnya. Hukum Taurat ke-5 adalah ajaran kebenaran. Persembahan pun juga adalah ajaran kebenaran. Akan tetapi kebenaran dipakai untuk meniadakan kebenaran demi kepentingan pribadi. Di sinilah letak kesalahan besar orang Farisi dan ahli Taurat. Tidak ada yang salah dari menaati hukum. Esensi hukum pada dasarnya adalah untuk mengatur, menata, mendisiplinkan. Akan tetapi, ketaatan terhadap hukum haruslah dibarengi dengan ketulusan hati agar tidak menggunakan kebenaran demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Ini sekaligus mengajak kita untuk kembali memeriksa motivasi kita dalam menjalani ketaatan hidup terhadap hukum secara tulus.

Kedua: Praktik selaras dengan Kebenaran pengajaran. Hukum yang disalahgunakan dapat menimbulkan kekacauan dan ketidak-adilan. Ini yang terjadi ketika Yesus mengangkat contoh dari ajaran para ahli Taurat dan orang Farisi (ay.5-6). Hukum buatan mereka dibuat untuk membenarkan diri kalau-kalau terjadi perselisihan dan permusuhan antara orangtua dan anak. Hukum ini ada unuk membersihkan diri dari tuduhan “anak durhaka” karena tidak menghormati orangtua dengan kebenaran hukum persembahan. Hukum buatan mereka inilah yang Yesus sebut dengan “adat istiadat nenek moyang/perintah manusia” (ay. 3,9). Yesus hendak menegaskan bahwa ketetapan firman Allah itu mutlak. Kebenaran yang satu tidak menutupi kebenaran yang lain. Praktik untuk berpegang kepada perintah Allah tidak menjadi topeng kepalsuan. Yesus memberikan kritik tajam kepada para pendebat, sekaligus menjadi refleksi tajam juga bagi kita masa kini. Praktik ketaatan terhadap perintah Allah harus dibarengi dengan pemahaman dan motivasi yang benar yang didapatkan dari pengajaran yang benar pula.

REFLEKSI

Kebenaran bukan untuk ditawar-tawar. Jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak. Tujuan yang benar jika dilakukan dengan cara yang salah tetap saja salah. Itulah yang hendak ditegaskan Yesus atas hukum buatan ahli Taurat dan orang Farisi. Penjelasan perikop ini menekankan pentingnya bagi kita untuk tidak berkompromi dengan kebenaran dalam iman kita. Penting sekali dalam praktik “berpegang pada perintah Tuhan” harus diikuti dengan keteguhan hati dan kesetiaan. Panggilan kita melalui firman Tuhan kali ini cukup jelas. Berpegang pada perintah Tuhan berarti memastikan setiap tindakan kita, baik dalam peribadahan dan kehidupan sehari-hari haruslah berdasarkan ketulusan hati dan motivasi yang benar. Tuhan ingin agar setiap orang percaya membangun hubungan intim dengan-Nya, bukan hanya sebatas pengabdian lahiriah saja. Akhirnya, mari terus belajar dan bertumbuh dalam pengetahuan akan firman Tuhan, agar dapat berpegang teguh pada perintah-Nya dengan benar.

Epistel Minggu 13. Set Trinitatis (25 Agustus 2024) Ep: Mazmur 34:16-23  "KUAT DI DALAM TUHAN"

Epistel Minggu 13. Set Trinitatis (25 Agustus 2024) Ep: Mazmur 34:16-23 "KUAT DI DALAM TUHAN"

 


Epistel Minggu 13. Set Trinitatis (25 Agustus 2024)

Ep:      Mazmur 34:16-23

KUAT DI DALAM TUHAN

PENDAHULUAN

Mazmur Daud selalu beranjak dari keresahan dan pengalaman hidup pribadinya. Inilah yang menjadi inspirasi baginya menggubah setiap lirik-lirik mazmur ketika menghadapi setiap situasi, secara khusus dalam kesulitan. Pengakuan itu setidaknya dinyatakannya dengan jelas di sini dengan kalimat “Kemalangan orang benar banyak,….” (ay.20). Kemalangan (Ibr. Ra’a) memiliki arti lebih dari sekedar kemalangan. Ini dapat juga berkenaan dengan pengalaman yang menyakitkan, bencana, malapetaka, penderitaan, permasalahan, kesengsaraan, ketidakpuasan, kecemasan, keterpurukan. Bukankah ini semua merupakan wujud dari sumber kesedihan manusia? Daud dengan tegas mengatakan orang benar sekalipun pasti akan menghadapi kesulitan-kesulitan ini. Menariknya, Daud akhirnya mengenal Tuhan dengan baik justru dalam pergumulan dan kemalangannya. Memang kadang kala, pengenalan kita akan Tuhan akan melalui jalan yang begitu sulit. Pengenalan kita akan Dia sering sekali harus melalui duka, kesulitan, kekurangan. Inilah yang menjadi letak keunikan hidup menjadi seorang Kristen. Hal serupa juga terjadi kepada Ayub di dalam pergumulan panjang dan hebatnya. Barangkali kita pun akan sulit membayangkan situasi Ayub pada saat itu. Segalanya dijungkir-balikkan. Ia yang semula memiliki segalanya harus menjadi orang yang kehilangan segalanya. Alih-alih mendapat penghiburan dari rekan sejawatnya, dalam percakapan yang dibangun Ayub justru mendapatkan penghakiman. Tetapi dalam diskusi panjangnya bersama-sama dengan sahabat-sabahatnya dan juga dengan Tuhan, sebuah pengakuan iman luarbiasa terucap dengan tegas. Ayub mengatakan “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (Ayb.42:5). Tema kali ini mengajak kita untuk kembali merenungkan makna “Kuat di dalam Tuhan” di tengah pergumulan dan kesulitan. Kata “beserta/bersama” memiliki peranan penting. Kekuatan menghadapi pergumulan hanya akan diperoleh mereka yang hidup di dalam Tuhan, dan Tuhan beserta dengan mereka. Ini bukanlah konsep abstrak. Konsep ini telah dinyatakan di dalam Yesus Kristus “Sang Immanuel” yang artinya Allah beserta kita. Yesus Kristus pun sudah menjanjikan bahwa “Aku akan menyertai engkau sampai akhir zaman” (Mat.28:20). 

PENJELASAN NAS

Melalui perikop kali ini dalam terang tema “Kuat di dalam Tuhan”, kita akan melihat bagaimana Daud mampu menghidupi tema dalam melewati setiap permasalahan.

Ayat 16-17: Hidup dalam Kebenaran. Konsep “beserta” perlu ditegaskan sekali lagi di sini. Kekuatan dalam menghadapi kesulitan hanya akan diperoleh orang percaya ketika dia hidup di dalam Tuhan, dan Tuhan beserta dengannya. Daud menyatakan “mata TUHAN tertuju kepada orang benar…wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat…” (ay.16-17). Daud memberikan dua perbandingan kehidupan manusia di sini. Satu hidup benar sementara satu lagi hidup dalam kejahatan. Perbandingan ini juga terjadi pada sikap Allah terhadapnya. Kepada orang benar, TUHAN memberikan perhatian dan mendengar, sementara kepada orang jahat TUHAN berbalik menentang (melawan). Allah berkenan kepada orang benar. Untuk itu ditegaskan kepada kita agar mengikuti jalan dan cara hidup yang benar sebagaimana yang Allah kehendaki kepada kita setiap orang percaya. Bagi Daud inilah kunci atau rahasia hidupnya yang mampu bertahan dalam penderitaan. Sebab hidup benar akan membuat Allah berkenan kepada kita dan beserta kita. Itulah yang memberikan kekuatan.

 Ayat 18-21: Bebas dari Kesesakan. Barangkali semua orang sepakat bahwa pergumulan dan kesulitan mampu melemahkan. Itulah mengapa kita sering mengatakan situasi sulit sebagai “kesesakan”. Permasalahan mampu membuat pikiran runyam, jiwa tidak tenang, hati penuh kegelisahan, semangat luntur, dan bahkan kesehatan menurun. Daud juga menyadari ini dan menggambarkan itu dalam gubahannya. Ayat 18-21 menjadi sebuah refleksi untuk meyakinkan pendengarnya yakni mereka yang mengalami “kesesakan” (Ibr. Tsara) berarti permasalahan, tekanan, kesulitan, himpitan, “patah hati”, dan “remuk jiwanya” (Ibr. Dakka’) berarti penyesalan mendalam karena dosa-dosanya. Situasi yang digambarkan Daud ini benar-benar membuat kita sering sekali lemah dan tak berdaya. Melalui nyanyian ini, Daud hendak memberikan satu kepastian sebagai penghiburan: di dalam Tuhan ada kekuatan sebab Tuhan mampu membebaskan kita dari kesesakan, asal kita mau berbalik kepada-Nya dan menyesal atas dosa dan perbuatan kita.

 Ayat 22-23: Janji dan Ganjaran. Tidak hanya membedakan antara hidup orang benar dibandingkan orang jahat, sikap Tuhan terhadap orang benar dibandingkan orang jahat, ayat 22-23 ini memberikan gambaran tentang janji Tuhan dan ganjaran yang diberikan Tuhan. Daud telah menggambarkan “wajah TUHAN menentang” yang berarti Allah sendiri akan menjadi hakim bagi para pendosa. Ganjaran itu dinyatakan pada bagian akhir Mazmur ini. Hidup orang fasik tidak akan pernah memiliki kekuatan dan pengharapan. Ini adalah ganjaran pastinya. Bukti konkrit sudah begitu banyak di tengah-tengah dunia ini. Orang-orang yang mengandalkan harta, jabatan, popularitas, pada akhirnya tidak akan pernah tahan dari jurang keputusasaan. Sebaliknya, orang benar boleh berpengharapan dan berpegang kepada janji Tuhan yang dinyatakan, antara lain: Ia menjawab doa (ay.5), Ia melindungi (ay.8), Ia mencukupkan (ay.10-11).

 REFLEKSI

Hidup ini memang kadang menyakitkan, tetapi tanpa Tuhan akan jauh lebih mengerikan. Hidup ini memang penuh ketidakpastian, tetapi tanpa iman dan harapan akan menjadi tak tergambarkan. Benar dunia dapat memberikan kemewahan, kesenangan, kegembiraan, tetapi untuk apa terlena pada semua yang fana? Mampukah dunia mengatakan “Aku akan menyertai engkau sampai akhir zaman” sebagaimana yang Yesus katakan? Jikalau demikian, mari tentukan dan tegaskan: Kekuatanku hanya di dalam Dia yang mencipta dan memelihara diriku selalu. Tepis segala keraguan ubah menjadi kepastian. Tepis ketidakberdayaan menjadi kekuatan. Semua itu akan didapatkan di dalam Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat.


Bahan Sermon Epistel Minggu, 11 Agustus 2024 (Minggu 11 Setelah Trinitatis) Ep.: Mazmur 34:1-8 "HIDUP BARU DALAM KASIH KRISTUS"

Bahan Sermon Epistel Minggu, 11 Agustus 2024 (Minggu 11 Setelah Trinitatis) Ep.: Mazmur 34:1-8 "HIDUP BARU DALAM KASIH KRISTUS"

Bahan Sermon Epistel Minggu, 11 Agustus 2024 (Minggu 11 Setelah Trinitatis)

Ep.      : Mazmur 34:1-8 

                                               HIDUP BARU DALAM KASIH KRISTUS

PENDAHULUAN

Perikop kali ini dapat dikategorikan sebagai Mazmur pengakuan daripada Mazmur pujian. Pengantar yang diberikan kepada kita pada bagian awalnya adalah Mazmur ini dituliskan oleh Daud pada waktu ia harus berjumpa dengan Abimelekh (Bnd. 1 Sam. 21:10-15; di sana di sebut Raja Akish). Perjumpaan ini bermula ketika Daud harus lari dari pengejaran Saul yang hendak membunuhnya dan meminta perlindungan kepada raja orang Filistin itu. Akan tetapi Daud yang berlindung kepada raja itu justru berbalik menjadi takut kepadanya. Pengalaman ketakutan Daud ini adalah sesuatu yang cukup jarang ditemukan. Hal ini dikarenakan Daud lah yang biasanya menjadi sumber ketakutan bagi musuh-musuhnya di medan perang sebab Allah menyertainya. Situasi yang dialami Daud kali ini sangat mencekam. Saul hendak membunuhnya, dan Abimelekh juga hendak membunuhnya sebab identitas Daud sebagai raja Israel – yang adalah musuh besar orang Filistin – diketahui pegawai raja dan melaporkannya kepada Raja. Mengantisipasi ancaman nyawa yang dihadapinya, Daud memilih berpura-pura menjadi gila agar raja Filistin itu tidak menaruh curiga sedikitpun kepadanya.

Mazmur ini digubah oleh Daud tepat setelah nyawanya diselamatkan dari upaya pembunuhan yang dilakukan oleh Saul dan juga dari ancaman Abimelekh. Dalam perikop ini kita akan melihat bagaimana Allah ditampilkan sebagai Allah yang mendengar sekaligus Allah yang bertindak. Kendatipun orang percaya menghadapi pegumulan di tengah-tengah kehidupan, bukan berarti bahwa Allah itu diam dan tidak bertindak. Melalui gubahan nyanyian Daud ini, sebagai Mazmur pengakuan, Daud benar-benar menampilkan Allah yang hidup, yang mendengar seruan hamba-Nya di dalam kesesakan, sekaligus mengambil tindakan untuk menolong hamba-Nya dari kesulitan yang dihadapinya.

Agaknya akan sedikit sulit kita menghubungkan teks ini dengan tema “Hidup Baru dalam Kasih Kristus” tanpa membaca Efesus 4:25-32. Mengingat ini adalah pendahuluan khotbah minggu 11 Set. Trinitatis, kita harus membaca perikop ini dengan Efesus secara komprehensif dan menarik kesinambungan keduanya. Dengan demikian kita diajak untuk membangun pemikiran bahwa Efesus 4:25-32 menjelaskan tentang ciri orang yang telah hidup baru di dalam Kristus. Kemudian Mazmur kali ini menjelaskan tentang dampak setelah kita mengalami hidup baru di dalam Kristus.

PENJELASAN NAS

Dalam terang tema “Hidup Baru dalam Kasih Kristus” kita diajak merenungkan ada 3 dampak yang dirasakan oleh orang Kristen ketika dia mengalami hidup baru di dalam Kristus:

Pertama: Selalu Memuji dan Memuliakan Tuhan. Alur Mazmur yang dibangun oleh Daud kali ini cukup menarik. Dia memulai dengan mengatakan “Aku hendak memuji….. (ay.2), lalu kemudian dikatakan juga “Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku…..” (ay.4). Nyanyian Daud ini memberkan satu pemaknaan bagi kita bahwa orang yang hidupnya telah diperbaharui di dalam kasih Kristus (bertobat) akan selalu memuji Tuhan. Pujian memang selalu bersifat pribadi. Itu muncul dari hati yang benar-benar menyadari dan merasakan cinta kasih Tuhan. Kendati pun pujian bersifat Pribadi, tetap saja pujian itu akan bermuara kepada pujian komunal. Melalui perikop kali ini, Daud mengajak orang-orang untuk memuji Tuhan, sekaligus Daud memberitahukan alasan kita untuk memuji Tuhan. “Aku telah mencari TUHAN, lalu ia menjawab aku…” (ay.5a). Inilah yang menjadi alasan pertama mengapa orang yang telah hidup baru senantiasa memuji Tuhan. Hidup baru adalah pertobatan yang terjadi dalam diri manusia setelah pengenalannya akan Tuhan, dan intimnya hubungannya bersama dengan Tuhan. Artinya sebagai orang yang telah memiliki hubungan dekat dengan Tuhan, kita tentu akan menyadari bagaimana Allah bertindak menjawab doa-doa kita. “……melepaskan aku dari segala kegentaranku” (ay.5b). Ini menjadi alasan kedua kita mengapa kita harus selalu memuji Tuhan. Benar memang hidup tidak pernah lepas dari kesulitan dan tantangan, tetapi Allah selalu bertindak memberikan pertolongan, hikmat, kekuatan bagi kita untuk bisa bertahan. Mazmur ini mengajak kita untuk mengingat bagaimana Allah menjawab segala rasa kuatir dan takut kita. “Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya” (Ay.7b). Pengakuan Iman Daud ini terbentuk dari beragam kesulitan yang dia hadapi. Memang kehidupan raja Daud penuh dengan tantangan dan pergumulan baik dari internal maupun eksternal. Kesesakan menjadi perasaan yang sering hadir dalam kehidupan raja Daud. Meskipun begitu, di dalam imannya, Daud tetap memuji Tuhan sebab dia mengaku Allah senantiasa memberikan kelegaan baginya dan selalu menjaganya (ay.8).

Kedua: Rendah Hati dan Bersukacita. Jiwaku bermegah” mengisyaratkan pujian yang tulus dari Daud, sebab jiwanya pun turut memuji (bermegah). Melalui pujian itu, baik dirinya maupaun orang yang mendengarkan pujian itu akan bersukacita. Sikap orang yang hidupnya telah diperbaharui digambarkan dengan jelas oleh Daud di sini. Kita akan secara otomatis merendahkan hati kita di hadapan-Nya karena kesadaran iman mengarahkan kita pada penyembahan kepada-Nya. Pujian Daud selalu menggambarkan betapa besar dan dahsyat dan ajaib perbuatan Allah di dalam kehidupannya. Tentu saja orang yang menyadari itu juga akan dengan rendah hati mengakui benarlah apa yang dikatakan oleh Daud itu. Ini juga mengisyaratkan kepada kita bahwa di dalam pujian, haruslah dilantunkan dengan sikap rendah hati dan penuh dengan sukacita.

Ketiga: Wajahnya Berseri-seri. Hati yang gembira adalah obat yang manjur. Demikianlah kata Salomo dalam Amsalnya (Ams. 17:22). Melalui ayat 1-8 ini, kita akan melihat bagaimana Daud membangun sebuah pola hidup yang berdampak ketika kita mau hidup dalam kasih Kristus dan ketika hidup kita diperbaharui. Semuanya berkesinambungan. Dimulai dari membaktikan hidup untuk selalu memuji Tuhan, oleh pujian itu kita diajak bersukacita dan rendah hati, dan oleh sukacita itu wajah kita berseri-seri. Artinya ada kepuasan, kelegaan, dan rasa syukur. Dalam konteks Daud, patutlah dia penuh dengan rasa syukur dan merasakan kelegaan penuh sebab memang Allah bertindak dan menjawab doanya serta memberinya kelepasan dari maut yang coba datang mengancam.

REFLEKSI

Daud merespons penderitaan dan kesesakannya dengan pujian, dan merespon kebaikan Tuhan dengan ketaatan. Itulah inti dari nyanyian Daud ini. Pengakuan yang tulus tentang penyertaan Allah dalam kehidupannya, sekaligus ajakan untuk memuji Dia, taat kepada-Nya, mengikuti kehendak-Nya, dan hidup berkenan di hadapan-Nya. Inilah Prinsip hidup rohani yang benar. Prinisip ini secara otomatis akan terbangun sebagai buah yang berdampak dari hidup baru di dalam Krsitus. Bahwa di dalam setiap kondisi, kita tetap taat, setia, dan dekat kepada-Nya baik melalui keluarga, pekerjaan, persekutuan, terlebih-lebih di dalam doa, pujian, peribadahan, dan persembahan kita.
BAHAN EVANGELIUM MINGGU 10 SET. TRINITATIS, 4 AGUSTUS 2024 “ALLAH MENURUNKAN ROTI KEHIDUPAN BAGI UMAT-NYA” Ev. Keluaran 16:2-8

BAHAN EVANGELIUM MINGGU 10 SET. TRINITATIS, 4 AGUSTUS 2024 “ALLAH MENURUNKAN ROTI KEHIDUPAN BAGI UMAT-NYA” Ev. Keluaran 16:2-8

 


BAHAN EVANGELIUM MINGGU 10 SET. TRINITATIS, 4 AGUSTUS 2024

ALLAH MENURUNKAN ROTI KEHIDUPAN BAGI UMAT-NYA

Ev. Keluaran 16:2-8

Kitab Keluaran berisikan cerita tentang bagaimana Allah senantiasa setia kepada umat-Nya dalam menunjukkan kuasa dan kemuliaan-Nya. Dimulai dari Allah Mendengar jeritan bangsa Israel, memilih Musa, membebaskan bangsa itu dari perbudakan Mesir, menyertai mereka di padang gurun selama 40 tahun, memenuhi kebutuhan mereka hingga tiba pada tanah perjanjian sebagaimana janji Allah kepada Abraham. Sekaligus juga kita akan melihat dalam kisah Keluaran ini bagaimana orang Israel begitu tegar tengkuk, penuh dengan sungut-sungut, hidup di dalam ketidaksetiaan, dan jatuh ke dalam dosa. Kendati pun demikian, Allah tetap saja bermurah hati kepada bangsa itu sekalipun kadang kala dalam kisah Keluaran ini, Allah juga menunjukkan murka, amarah, rasa cemburu, bahkan hukuman yang cukup keras bagi bangsa itu. Di sinilah kita akan melihat siapa Allah yang sesungguhnya. Dia adalah Mahakasih tetapi juga penuh dengan keadilan. Dia Maha pemaaf tetapi juga mau memberi hukuman. Dia Allah yang setia sekaligus pencemburu. Apa artinya? Di dalam kasih-Nya kadang kala Allah memberikan teguran dan hukuman untuk membentuk dan menempa bangsa Israel di dalam standar hidup, etika, moralitas, dan tingkah laku yang mencerminkan umat pilihan Tuhan.

Kembali kepada konteks cerita perikop kali ini. Sekitar 2 juta orang harus dipimpin oleh Musa melewati padang gurun. Situasi Musa cukup sulit di sini. Selain karena dia adalah pemimpin tunggal, lingkungan yang mereka lalui cukup ekstrim. Panas terik di siang hari namun dingin di malam hari. Makanan, minuman, pakaian, menjadi isu yang begitu mendesak di tengah-tengah bangsa itu. Secara khusus pada perikop ini ketika bangsa Israel bersungut-sungut oleh karena rasa kelaparan. Bahkan di dalam sungut-sungutnya, mereka justru menyesali kebebasan mereka sebagai orang merdeka dan seolah memilih kembali diperbudak asalkan cukuplah makan dan minum tersedia senantiasa. Sekali lagi, di tengah-tengah komplain bangsa yang menggerutu itu, Allah tampil sebagai Maha mendengar dan Maha menyediakan. Setiap malam burung puyuh datang ke kemah untuk memberi mereka daging. Setiap pagi akan ada sesuatu yang tergeletak untuk dimakan, yang kita kenal dengan “Manna”. Di kala siang Allah memberi tiang awan agar bangsa itu tidak kepanasan, saat malam Allah memberi tiang api agar bangsa itu tidak kedinginan. Selama 40 tahun pun, baju yang mereka kenakan tidak rusak.

Kita diajak merenungkan hal ini: Tuhan yang menurunkan roti kehidupan bagi bangsa Israel juga adalah Tuhan yang sama yang akan memelihara dan memenuhi kebutuhan hidup kita. Tuhan yang memenuhi kebutuhan bangsa Israel 40 tahun lamanya dengan cara tak terduga dan begitu luar biasa, juga adalah Tuhan yang kita sembah yang akan melakukan hal yang serupa kepada kita.

Dalam terang tema “Allah menurunkan Roti Kehidupan bagi umat-Nya” kita akan merenungkan beberapa hal yang menarik:

Pertama, Bangsa yang bersungut-sungut. Tindakan orang Israel ini adalah sesuatu yang cukup menarik. Ini adalah kali ketiga mereka bersungut-sungut kepada Musa (Lih. Kel.14:10-12; 15:24). Tidak tanggung memang sungut-sungut bangsa Israel ini. Pertama mereka mengatakan “ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang” (ay.3). Secara sederhana ini dapat diterjemahkan: lebih baik kami dibunuh Tuhan di tanah Mesir setidaknya dalam keadaan kenyang daripada mati di padang gurun karena kelaparan. Alih-alih berdoa memohon belas kasihan, pertolongan, dan lawatan Allah dalam hidupnya, bangsa ini justru menyesali kebebasannya dan mendamba perbudakannya. Agaknya bangsa ini lupa bagaimana mereka merengek berteriak memohon dibebaskan (Kel.3:7). Tidak cukup sampai di situ saja, sungut-sungut mereka justru menyalahkan Musa yang telah mengeluarkan mereka. “sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh Jemaah dengan kelaparan” (ay.3). Bangsa itu memohon kepada Tuhan untuk dibebaskan, tetapi begitu Tuhan menjawab doa tersebut, mereka tidak terima dengan cara dan jalan Tuhan karena tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kita akan belajar hal penting dari bangsa yang bersungut-sungut ini. Sering sekali ketika kita menghadapi kesulitan, kita memohon kepada Tuhan agar bekerja dan menolong kita, tetapi justru kita tidak sabar akan prosesnya. Kita selalu mencari kambing hitam atas setiap kesulitan yang kerap terjadi. Entah itu menyalahkan Tuhan, orang lain, bahkan keadaan. Untuk itu Firman Tuhan ini hendak mengajak kita, kendati pun permasalahan sedang menghimpit dan menekan, berbahagialah dan jangan bersungut-sungut, sebab Tuhan setia memberikan kekuatan dan penyertaan di dalam kemuliaan-Nya yang selalu memberikan pemenuhan atas yang kita butuhkan.

Kedua, Berkat dan Keteraturan. Sekali lagi di dalam sungut-sungut bangsa Israel yang kesekian kalinya, Tuhan menunjukkan bahwa Dia adalah Allah yang Maha mendengar, Maha kuasa dan berlimpah kasih setia-Nya. “Menurunkan hujan roti” menjadi jawaban atas kelaparan yang dikomplain orang Israel. Akan tetapi ada kesan yang menarik dari firman Allah kepada Musa ini. “hujan roti sebanyak yang perlu untuk sehari, supaya mereka Kucoba, apakah mereka hidup menurut hukum-Ku atau tidak” (ay.4). Tuhan memiliki maksud dengan membiarkan bangsa itu mengalami kelaparan, lalu memberikan kelimpahan. Tujuan ini semakin dipertegas di dalam Ulangan 8:2-6, “merendahkan hatimu, menguji ketaatan atas perintah Tuhan (ay.2); mengerti firman Tuhan menghidupkan (ay.3); Sadar dan insaf (ay.5); agar hidup menurut jalan Tuhan dan takut akan Tuhan (ay.6)”. Hujan Roti atau manna itu tidak akan berhenti sampai seluruh kebutuhan orang Israel terpenuhi. Tetap saja bangsa itu tidak mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh Tuhan (ay.20, 28). Saudara/i, penting sekali kita selalu menjaga hati kita agar hidup di dalam ketaatan baik dikala berkelimpahan maupun berkekurangan. Ujian Tuhan dalam cerita ini tampak dalam kedua sisi tersebut, dan bangsa Israel gagal. Mereka gagal taat dikala berkekurangan dengan menyesali pembebasannya, juga gagal dikala berkelimpahan karena keserakahan dan kebebalan. Rancangan dan kehendak Tuhan selalu mengarahkan kita pada tujuan hidup yang jelas sebagaimana yang dijabarkan dalam Ulangan 8:2-6.

Ketiga, Puyuh dan Manna: Kesetiaan Tuhan. …Tuhan yang memberi kamu makan daging pada waktu petang dan makan roti sampai kenyang pada waktu pagi karena Tuhan mendengar ….” (ay.8). Musa kembali menegaskan kepada bangsa itu bahwa Allah telah mendengarkan sungut-sungut yang disampaikan bangsa itu. Penegasan ini disampaikan setelah Musa menjelaskan aturan dan tata tertib “manna” itu. Kita perhatikan “Aku akan menurunkan dari langit hujan roti bagimu; … bangsa itu akan keluar dan memungut tiap-tiap hari …….. memasak ….” (ay.4-5). Pertama, tiap-tiap hari menegaskan kesetiaan Allah yang tidak pernah putus-putusnya. Selama 40 tahun sampai mereka tiba di negeri yang berlimpah susu dan madunya, Allah setia memberkati dan mencukupkan kebutuhuhan bangsa itu setiap hari. Bangsa itu keluar dan memungut, berkat Tuhan memang senantiasa diberikan setiap hari. Tetapi penting sekali kita memahami berkat itu harus disambut dengan tindakan kita. Sebagaimana bangsa itu harus keluar dan memungut manna, demikian juga kita harus “menjemput” berkat Tuhan itu dengan keluar dan bekerja. Berkat Tuhan tidak mengajak kita untuk menjadi pemalas yang manja, melainkan mengajak kita untuk bekerja dan bertindak. Berkat itu sudah ada, dan senantiasa Tuhan berikan setiap hari. Pertanyaannya, maukah kita dengan giat, tulus, dan taat menyambutnya dengan keluar dan bekerja?
BAHAN EPISTEL MINGGU 10 SET. TRINITATIS, 4 AGUSTUS 2024 “ALLAH MENURUNKAN ROTI KEHIDUPAN BAGI UMAT-NYA” Ep. Yohanes 6:25-35

BAHAN EPISTEL MINGGU 10 SET. TRINITATIS, 4 AGUSTUS 2024 “ALLAH MENURUNKAN ROTI KEHIDUPAN BAGI UMAT-NYA” Ep. Yohanes 6:25-35

BAHAN EPISTEL MINGGU 10 SET. TRINITATIS, 4 AGUSTUS 2024

“ALLAH MENURUNKAN ROTI KEHIDUPAN BAGI UMAT-NYA”

Ep. Yohanes 6:25-35

PENDAHULUAN

Perikop kali ini merupakan kelanjutan dari khotbah minggu lalu, yakni cerita tentang Yesus memberi makan 5000 orang. Poin utama yang ditekankan dalam cerita itu adalah bahwa Tuhan sanggup memenuhi kebutuhan banyak orang. Cerita ini memiliki tempat khusus tersendiri sebab menjadi satu-satunya kisah yang dituliskan di ke-empat Injil (Matius, Markus, Lukas Yohanes). Beralih ke cerita kali ini yang terjadi keesokan harinya setelah Yesus memberi mereka makan dengan cara yang begitu luarbiasa menakjubkannya. Setidaknya kita akan melihat ada dua respon orang banyak setelah makan. Pertama, tepat setelah mereka mendapat makanan, orang banyak mengatakan Yesus sebagai nabi dan hendak menjadikan Dia menjadi raja secara paksa. Keesokan harinya, orang banyak itu mencari Yesus sebab mereka tidak menemukan keberadaan kelompok Yesus di sekitar tempat mereka mendapatkan makanan. Orang banyak melakukan penyeberangan ke Kapernaum untuk mencari Yesus dan mereka menemukan Dia. Sebenarnya secara manusiawi yang dilakukan orang banyak ini adalah hal yang naluriah. Manusia memang menyenangi hal-hal yang penuh dengan kemudahan jika itu berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan hidup – dalam hal cerita ini adalah tentang makanan. Kita akan belajar setidaknya satu hal penting dari cerita ini: kesalahan bukan terletak pada pencarian kemudahan melainkan pada motivasi orang banyak. Hati mereka didorong oleh fokus terhadap pemenuhan kebutuhan jasmani saja dan melupakan esensi terpenting dari tanda itu, yakni memahami makna di balik tindakan Yesus. Setidaknya satu perenungan penting bagi kita adalah jangan berfokus pada berkat yang diterima, melainkan fokuslah kepada Sang Pemberi Berkat. Itulah mengapa Yesus menegur mereka yang mencari Dia.

PENJELASAN NAS

Nas kali ini diberikan tema “Allah menurunkan roti kehidupan bagi Umat-Nya”. Ada tiga poin teologis yang menjadi penting melalui cerita kali ini:

Pertama: Fokus dan Motivasi yang menentukan (Ay.25-29). Setelah orang banyak melakukan pencarian, mereka akhirnya berjumpa dengan Yesus. Motivasi dan fokus pencarian mereka akhirnya disingkapkan Yesus secara terbuka, bahwa mereka mencari Yesus hanya untuk makanan gratis saja. Mereka tidak terlalu peduli dengan makna tanda mukjizat yang Yesus perbuat bagi mereka.  Itulah mengapa Yesus menegaskan untuk mencari makanan yang kekal. Pertama-tama, kita harus paham konteks orang Israel pada saat itu. Memang perekonomian orang Yahudi cukup sulit, terutama disebabkan oleh pajak yang ditagih orang Romawi sebagai penjajah begitu tinggi. Belum lagi ketika keterlambatan pembayaran pajak dibebankan bunga yang begitu besar pula. Yesus bukan hendak mengajarkan kepada kita bahwa makanan jasmani itu tidak perlu. Tetapi agaknya kita akan memahami maksud Yesus ini sebagaimana yang dituliskan oleh Matius 5:31-34. Makanan jasmani memang perlu, tetapi motivasi dan fokus mendasar bagi setiap umat manusia dalam memenuhi setiap kebutuhannya adalah “Kerajaan Allah”. Itulah mengapa Yesus menjelaskan dahulukan apa yang Allah kehendaki dari kehidupan kita, yakni percaya kepada Dia yang diutus Allah. Motivasi dan fokus yang benar akan memberikan hasil yang benar pula. Di sini kita diajarkan untuk menikmati setiap proses sampai tiba saatnya kita menikmati hasilnya. Dan dalam proses itu penting sekali motivasi dan fokus dalam menjalaninya dilandaskan pada iman yang teguh kepada Allah yang berkuasa memenuhi setiap kebutuhan kita.

Kedua: Keutamaan di dalam Hati (Ay. 30-33). Motivasi dan fokus orang banyak telah dibongkar. Yesus juga telah memberikan pencerahan tentang tugas yang harus mereka kerjakan. Orang banyak tampaknya menangkap maksud Yesus bahwa Dia-lah Anak Manusia yang diutus oleh Allah itu. Respon orang banyak sungguh tidak dapat diduga-duga. Meski mereka menangkap maksud Yesus dalam nasihat-Nya, mereka justru meminta tanda sebagaimana Manna di padang gurun agar mereka dapat percaya dan melihat pekerjaan Yesus (Kel. 16). Lagi-lagi mereka meminta tanda jasmani. Sebenarnya cukup aneh permintaan orang banyak itu. Seharusnya masih segar dalam ingatan mereka bagaimana Yesus memberkati makanan dan memberi mereka makan. Manna sebenarnya hanyalah sebuah objek pembelajaran dari Tuhan agar umat-Nya memahami arti dari ketaatan sekaligus menegaskan bahwa manusia bukan hidup dari roti saja, melainkan dari Firman Tuhan (Kel.16:4; Ul.8:3). Penjelasan ini mengajak kita untuk memikirkan kembali apa dan siapa yang menjadi keutamaan di dalam hati kita. Apakah hal-hal lahiriah atau rohaniah? Ini menjadi penting untuk kita renungkan dan jawab. Alkitab telah mencatat tanda mukjizat tidak serta merta membuat kita akan beriman sepenuhnya kepada Tuhan (Mzm.78:30-32). Perikop dan tema kali ini hendak mengajak kita mengambil sebuah komitmen jadikan Allah sebagai yang utama dan terutama dalam hati, pikiran, dan hidup kita. Tanda mukjizat memang luar biasa, kebutuhan jasmani memang penting, tetapi semua itu tidak berguna ketika bukan Allah yang mendiami hati dan pikiran kita sebagai yang utama dan terutama.

Ketiga: Yesus Sebagai Roti Kehidupan, Percayalah! (Ay.34-35). Poin ini menjadi puncak dari perenungan terhadap perikop dan tema ini. Injil Yohanes sebenarnya ditujukan kepada orang-orang Yahudi untuk memberikan pemahaman bahwa Yesus Kristus adalah Mesias dan Juruselamat. Tujuan ini juga lah yang tergambar jelas dalam cerita perikop kali ini sekaligus menjadi tujuan utama bagi kehidupan kekristenan kita. Hati yang menjadikan Allah sebagai yang utama dan terutama akan mengarahkan hidup kita kepada Kristus sebab hanya di dalam Dia-lah keselamatan dinyatakan. Jikalau di dalam Perjanjian Lama Allah menurunkan manna, maka di Perjanjian Baru Roti Sorgawi itu dinyatakan dalam diri Yesus Kristus. “Akulah roti hidup” demikianlah kata Yesus (ay.35, 48, 51). Allah menurunkan roti kehidupan agar manusia memperoleh kehidupan (keselamatan) itu.

REFLEKSI/KESIMPULAN

Kisah Yesus memberi makan 5000 orang pada akhirnya haruslah dipahami sebagai poin penting yang merujuk kepada makanan sejati yang hanya diperoleh ketika kita menerima Yesus Kristus sebagai Anak Allah yang diutus untuk memberikan kehidupan kekal (Yoh.3:16). Inilah yang harus menjadi fokus, motivasi, dan keutamaan di dalam hati kita. Apa maksudnya? Hidup yang Kristosentris. Kristus sebagai pusat. Untuk itulah Allah menurunkan Roti Kehidupan bagi umat manusia.