Duc In Altum: Teologi Perjanjian Baru

Klik Ikuti

Teologi Oikos (Rumah Tangga) dalam Gereja Awal dan Refleksinya Bagi Pertumbuhan Gereja dalam Konteks Pandemi Covid-19

Teologi Oikos (Rumah Tangga) dalam Gereja Awal dan Refleksinya Bagi Pertumbuhan Gereja dalam Konteks Pandemi Covid-19

 

Menggali Teologi Oikos (Rumah Tangga) dalam Gereja Awal dan Refleksinya Bagi Pertumbuhan Gereja dalam Konteks Pandemi Covid-19

I.                   Pendahuluan

Judul yang akan dibahas kali ini adalah “Menggali Teologi Oikos (Rumah Tangga) dalam Gereja Awal dan Refleksinya Bagi Pertumbuhan Gereja dalam Konteks Pandemi Covid-19”. Dalam pembahasan kali ini, kita akan mengkaji mengenai apa itu arti kata Oikos dan bagaimana implikasi kata Oikos ini jika kita mengkontekskannya pada gereja –terkhusus jemaat mula-mula– yang semua kajian ini akan kita bahas secara teologis-biblis menurut Perjanjian Baru. Sehingga, ketika kita sudah memahami mengenai apa itu Teologi Oikos dan bagaimana implementasinya dalam gereja mula-mula, maka kita akan mencoba mengimplementasikan teologi ini kepada pertumbuhan gereja masa kini, terkhusus ketika gereja mengalami suatu bencana global, yaitu Pandemi Covid-19.

II.                Pembahasan

2.1.  Pengertian Oikos dalam Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru, gereja adalah gereja rumah. Di dalam rumah, orang-orang berkumpul untuk beribadah dan berkomunitas. Ketika menuliskan teologia Paulus tentang gereja rumah, Branick menulis: “the house hold with its family setting was the church. Out that household arose some of the earliest offices and structures that would shape the course of the church through the centuries.”[1] Menurut Flemming, Paulus menggunakan sejumlah aspek budaya Helenistik seperti bahasa dan gambaran-gambaran, retorika dan juga institusi dan kebiasaan dalam budaya.[2] Dalam hal institusi budaya, Paulus menggunakan hal mendasar dalam kehidupan sosial dunia Helenistik, yaitu rumah tangga.[3]

Kata “rumah” dalam Alkitab banyak digunakan baik dalam pengertian harfiah maupun metafora. Bahasa Yunani untuk “rumah” adalah Oikos atau Oikia. Banyaknya penggunaan Oikos dan Oikia menunjukkan bahwa penulisan teks-teks Perjanjian Baru mempunyai latarbelakang para pembaca jemaat gereja rumah. Dalam Theological Dictionary of the New Testament (Selanjutnya disingkat TDNT), kata Oikos lebih dimengerti sebagai tempat yaitu rumah dan tempat tinggal.[4] Dan kata Oikia dalam Perjanjian Baru dapat berarti rumah, keluarga atau rumah tangga.[5]

TDNT menuliskan bahwa sering kali Oikos merujuk pada sebuah tempat ibadah. Dalam Perjanjian Lama Oikos merupakan kata favorit karena digunakan juga dalam arti keluarga dan ras serta metafora rumah Allah yang nantinya berpengaruh dalam Perjanjian Baru. Dalam hal ini kata Oikos-lah yang biasanya dikaitkan dengan rumah Allah, bukan Oikia. Dalam Perjanjian Lama, Musa adalah pelayan setia dalam rumah Tuhan (Ibr. 3:1-6) tetapi Kristus sebagai Anak adalah berkuasa atas rumah Allah (3:2, 6; 10:21). Dalam Perjanjian Lama rumah-Ku adalah Israel. Jadi rumah Allah berkaitan dengan komunitas.[6] Menurut Exegetical Dictionary of the New Testament (Selanjutnya disingkat EDNT), pada umumnya Oikos dan Oikia dapat dipakai saling menggantikan.[7] Walaupun demikian, Oikos lebih dominan dari Oikia dalam Perjanjian Baru, yaitu muncul 115 kali. Oikia lebih dominan dalam Markus dan Matius. Berbeda dengan TDNT, EDNT memperlihatkan adanya nuansa arti yang berbeda antara Oikos dan Oikia. Oikos lebih dekat dengan kepunyaan seseorang sedangkan Oikia lebih pada tempat tinggal[8]. Tetapi secara keseluruhan Oikos dan Oikia dapat ditukarkan penggunaannya. Hal ini terlihat pada satu nats digunakan kedua kata tanpa membedakan arti. Misalnya dalam Lukas 15:6, 8; 1 Korintus 11:22, 34; juga 1 Korintus 1:16, 16:15 di mana kedua kata berarti keluarga. Dalam Injil Sinoptik, untuk cerita yang sama kata rumah dalam Markus 5:38 menggunakan Oikos sedangkan ayat paralelnya Matius 9:23 menggunakan Oikia Markus 3:25 dan Matius 12:25 menggunakan Oikia sedangkan dalam ayat paralelnya di Lukas 11:17 menggunakan Oikos Matius 24:43 menggunakan Oikia sedangkan Lukas 12:39 menggunakan Oikos. Pengajaran Yesus, teks-teks Injil dan surat-surat banyak menggunakan kata rumah dan mengambil kisah dengan latar belakang rumah, karena gereja saat itu ada di rumah[9]

2.2.  Fungsi Oikos Pada Masa Gereja Awal

Dari beberapa faktor luar yang menyebabkan terjadinya perluasan kekristenan, Harnack menyebutka bahwa adanya asosiasi-asosiasi yang berkembang dalam Kerajaan Romawi menjadi lahan diterimanya kekristenan.[10] Harnack sendiri lebih melihat bahwa organisasi Kristen yang dikembangkan murid-murid dan saudara-saudara Yesus meminjam dari Yudaisme, yaitu sinagoge.[11]

Riset terkini yang sejalan dengan Harnack adalah tulisan Banks dan Dunn. Harnack cenderung melihat banyak persamaan antara berkembangnya sinagoge dan gereja. Para penulis setelah Harnack mempunyai pandangan yang berbeda. Scroggs lebih melihatnya sebagai sekte.[12] Ia menjelaskan dengan pendekatan social-scientific criticism bahwa komunitas Kristen mula-mula adalah sebuah sekte karena bercirikan: dimulai dari sebuah protes, menolak realitas yang diabaikan oleh lembaga yang mapan, menawarkan kasih dan penerimaan dalam kelompoknya, merupakan asosiasi bebas, menuntut komitmen total anggotanya, dan bersifat adventis (menunggu saat akhir). Malina lebih menjelaskan komunitas Kristen mula-mula sebagai asosiasi sukarela di dunia Mediterania, yaitu kelompok orang karena adanya kepentingan sosial yang sama, yaitu merasakan perlunya perubahan dan untuk mencapai kepuasan secara sosial.[13] Pilihan lainnya adalah model sekolah filsafat. Ada sejumlah penulis yang memperlihatkan beberapa aspek yang dikembangkan oleh Paulus serupa dengan pola sekolah filsafat.[14] Pandangan Meeks lebih bersifat mengintegrasi pilihan-pilihan yang ada. Ia menuliskan bahwa Ekklesia sebagai komunitas Kristen terbentuk dari perpaduan model-model yang ada di sekitar lingkungan gereja yaitu model rumah tangga, asosiasi sukarela, sinagoge dan sekolah filsafat/retorik. Meeks sendiri memberikan kesimpulan tambahan bahwa tidak ada satu pun model yang menangkap semua nuansa komunitas gereja tetapi ia menyatakan bahwa rumah tangga merupakan konteks dasar[15].

Dengan demikian konteks rumah dan rumah tangga merupakan model utama. Rumah, yaitu Oikos menurut Luhrmann bukan hanya sekadar menjadi konteks dasar dari pertemuan suatu kelompok dalam berbagai jenis kelompok di atas, tetapi: “merupakan bentuk dasar sosial dan ekonomi untuk dunia kuno dan Perjanjian Baru dan bahkan untuk semua kehidupan menetap sebelum masa industri.” Berikut ini akan diuraikan rumah dalam fungsi ekonomi, sosial seperti yang disebutkan oleh Luhrmann dan akan ditambahkan kemudian dengan fungsi religius seperti yang dipaparkan oleh Gehring untuk memperlihatkan bahwa mengapa rumah menjadi konteks dasar perkembangan kegiatan religius pada umumnya dan kekristenan secara khusus pada masa Perjanjian Baru[16].

2.3.  Pemahaman Ekonomi dan Sosial Oikos

2.3.1.      Ekonomi Rumah Tangga

Dalam bahasa Yunani kata ekonomi mempunyai kata dasar “rumah”. Ekonomi atau oikonomia berarti manajemen rumah atau pengaturan rumah. Dari kata dasarnya terlihat bahwa rumah dalam budaya Romawi-Yunani dan bahkan pada budaya kuno lainnya merupakan unit dasar ekonomi. Dalam Perjanjian Baru fungsi ekonomi rumah banyak disebutkan khususnya dalam perumpamaan dan pengajaran Yesus. Yesus menggunakan perumpamaan yang diperankan oleh tuan dan hamba (Mat. 24:45), hal keuangan (Mat. 25:15); diskriminasi terhadap istri dan anak-anak (Mat. 18:23-34); buruh upah harian (Mat. 20:1) dan produksi dari rumah (Mat. 21:33-41) dan lain-lain Dalam konteks pedesaan, perekonomian masyarakat bertumpu pada tanah. Tanah merupakan sumber utama dihasilkannya makanan yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Tanah dikelola menghasilkan sayuran, biji-bijian dan tumbuhan lainnya yang dapat dimakan. Pada tanah dipelihara ternak yang menghasilkan susu, daging, wol dan barang-barang lainnya. Dengan uraian di atas maka masyarakat agrikultural di pedesaan pada umumnya mengaitkan kekayaan dengan tanah. Jika mereka mempunyai kelebihan sumber daya, mereka akan berusaha memiliki tanah lebih banyak lagi. Karena ketika dikelola tanah, akan menghasilkan lebih banyak lagi kekayaan. Kekayaan berupa tanah ini akan diwariskan secara turun-temurun, dan karenanya ekonomi rumah terbentuk dari keluarga. Anggota keluargalah yang pada mulanya membantu segala pekerjaan mengelola tanah. Mereka yang lebih kaya dengan tanah yang lebih luas mempekerjakan orang lain atau budak untuk mengelola tanahnya. Masing-masing keluarga dalam mengelola tanah menghasilkan barang-barang tertentu yang dikonsumsi sendiri. Kelebihan produksi mereka kemudian dibarter atau dijual. Biasanya hal ini terjadi di pasar, di desanya atau dibawa ke kota untuk dijual di sana. Dalam konteks perkotaan, interaksi sosial karena faktor ekonomi ini menjadi lebih luas karena pertukaran barang bukan semata barang-barang yang berkaitan dengan makanan. Di perkotaan muncul orang-orang yang ahli membuat barang tertentu misalnya para tukang tembikar, pembuat piring, tukang tenun kain, pandai besi, pembuat barang dari kulit seperti sepatu dan tenda, pematung, pembuat perhiasan dan lain-lain yang biasanya dikerjakan dalam bengkelbengkel mereka sendiri. Pada umumnya, mereka menjadikan lantai pertama rumah atau bagian muka sebagai bengkel dan atau toko. Sedangkan lantai dua atau bagian belakang rumah sebagai tempat tinggal. Hal ini yang terjadi pada Priskila dan Akwila sebagai tukang kemah, yaitu membuat ataupun menjual kemah dari kulit (Kis. 18:3, 26).[17]

Demikian juga ada para penjual jasa seperti pembersih kain, pedagang, ahli hukum, dokter, pemilik penginapan, tukang cukur. Ataupun para pekerja seperti budak, buruh harian dan pekerja tetap yang bekerja untuk para majikan pada rumah tangga tertentu atau tempat usaha tertentu. Semua kegiatan ekonomi di atas, baik dalam konteks pertanian maupun kota, pada umumnya dilakukan di rumah-rumah dan dari rumah ke rumah. Dengan adanya perdagangan, maka terjadi interaksi antarkeluarga dan sumber-sumbernya sehingga komunitas yang lebih luas menjadi dapat berfungsi. Itulah sebabnya rumah merupakan unit dasar ekonomi yang membangun komunitas yang lebih luas.[18]

2.3.2.      Sosial Rumah Tangga

Selain berfungsi secara ekonomis, rumah mempunyai fungsi sosial. Di dalam rumah keluarga-keluarga tinggal. Keluarga dalam rumah jelas merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat. Dalam keluarga terdapat ayah, ibu, anak-anak laki-laki, anakanak perempuan, sering kali berikut anggota keluarga lainnya seperti saudara laki-laki, saudara perempuan, kakek, nenek atau saudara lainnya serta para pembantu, selir dan tamu yang menumpang. Daftar ini untuk memperlihatkan luasnya cakupan yang disebut keluarga dalam suatu rumah dalam masyarakat kuno. Walaupun demikian pada umumnya keluarga terdiri dari keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, anak pertama dengan keluarganya dan anak-anak lain yang belum menikah. Keluarga semacam ini menjadi unit sosial, residensial, konsumsi dan produksi yang efektif. Perjanjian Baru mengindikasikan anggota-anggota keluarga ini, khususnya keluarga inti yaitu suami, istri, anak-anak dan para pekerja dalam rumah.[19]

Hal ini terdapat dalam dua house codes (aturan rumah tangga) dalam tulisan-tulisan Paulus, yaitu Efesus 5:21-6:9 dan Kolose 3:18-4:1.Dalam aturan rumah tangga ini diperlihatkan bagaimana anggota-anggota keluarga menjalankan perannya masing-masing dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan pola umum dalam masyarakat kuno karena para filsuf pengikut Aristoteles dan Neo-Pitagoras membahas hal ini. Demikian juga dapat ditemukan paralelitas dengan tulisan para rabi dan filsuf Stoik. Dalam keluarga ayah atau suami adalah kepala rumah tangga. Baik orang Yahudi maupun budaya Romawi-Yunani menganut patriarkalisme, yaitu pria yaitu ayah yang menjadi pemimpin keluarga. Dalam budaya Romawi hal ini dikenal sebagai paterfamilias. Ia digambarkan mempunyai kuasa untuk menentukan mati-hidupnya seorang anak. Walaupun demikian sebenarnya paterfamilias lebih merupakan pemahaman dari aspek hukum dan kepemilikan. Ia tidak harus punya istri atau anak untuk menjadi paterfamilias, ia hanya perlu punya barang-barang sebagai hak milik. Menarik dicatat di sini bahwa walaupun pria menjadi pemimpin, para wanita biasanya menjadi manajer dalam rumah. Dalam Alkitab hal ini tecermin dalam Amsal 31:1031, 1 Timotius 5:14 dan Titus 2:4-5. Ialah yang mengelola keseharian rumah tangga. Artinya peran wanita cukup banyak dan penting. Wanita juga dapat menjadi pemimpin keluarga. Mereka menjadi materfamilias bukan karena kelahiran atau status pernikahan tetapi karena karakter yang baik dan kesuksesan mereka. Wanita, biasanya para janda, yang mempunyai barang milik seperti budak dan tanah dapat disebut sebagai paterfamilia. Ada contoh-contoh tertulis untuk hal ini dalam literatur Yunani-Romawi. [20]

Demikian juga dalam Perjanjian Baru: ibu dari Yohanes Markus (Kis. 12:12-17), Lidia di Filipi (Kis. 16:14-15, 40), Nimfa (Kol. 4:15). Anak-anak dipelihara dan dididik dalam keluarga, khususnya oleh ibu dan para budak atau pembantunya. Ayah juga bertanggung jawab untuk pendidikan anak. Pendidikan ini pada umumnya dilakukan di rumah. Mereka yang mempunyai uang akan membayar guru untuk mengajar anak-anak mereka. Anak wanita tetap dalam pengawasan ibunya sampai ia menikah. Dengan demikian anak menjadi “berutang besar” kepada orang tuanya dan karena itu sebagai balasannya mereka wajib menghormati dan taat kepada orang tua. Dari sudut pandang orang tua, anak akan menjadi rekan dan pendukung utama orang tua ketika mereka berusia lanjut. Dalam cakupan yang lebih luas, terjadi juga hubungan antara keluarga dengan keluarga yaitu klan. Pada umumnya klan terbentuk karena pertalian darah atau pernikahan dalam keluarga-keluarga.[21]

Hubungan antar keluarga juga dapat terjadi karena afiliasi politik atau kerjasama ekonomi. Hubungan-hubungan antar-keluarga ini menjadi penting dalam konteks perkembangan kekristenan karena jaringan sosial semacam ini yang memungkinkan Injil disebarluaskan dengan cepat. Dengan adanya jaringan sosial semacam ini para misionaris mendapat kemudahan. Jika ia mendapat tuan rumah yang menampungnya, maka anggota keluarga dan jaringan sosial tuan rumah akan menjadi objek pekabaran Injil.[22]

2.4.  Oikos Untuk Pekabaran Injil

Orang Kristen mula-mula menggunakan struktur rumah ini untuk pengembangan pekabaran Injil. Dengan demikian jelas terlihat bahwa para pemimpin dan misionari dalam Gereja Mula-mula telah melaksanakan upaya kontekstualisasi pertama dan cerdas agar Injil dapat diterima oleh masyarakat pada waktu itu. Hal pertama yang menonjol mengenai penggunaan rumah pada Gereja Mula-mula adalah karena untuk pertumbuhan gereja diperlukan ruang untuk melaksanakan pertemuan. Untuk itu rumahlah yang dipakai.[23]

Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membangun rumah ibadah khusus, cukup menyediakan ruang makan atau ruang lainnya untuk pertemuan Kristen. Karena itu gereja di rumah menjadi bangunan gereja yang umum pada masa dua abad pertama. Grant menyebutkan bahwa orang Kristen lambat dalam membangun rumah ibadah khusus juga karena alasan eskatologis, yaitu dirasakan tidak perlu membangun gedung ibadah jika dunia segera berakhir. Alasan teologis ini juga ditambah dengan kesulitan pendanaan dan status hukum yang belum jelas serta kecenderungan untuk lebih menggunakan dana untuk kebijakan membuat rumah merupakan tempat paling mudah untuk melaksanakan pertemuan Kristen. Penggunaan rumah bagi kekristenan mula-mula juga menguntungkan untuk penerimaan sosial masyarakat di luar Kristen. Dengan menggunakan rumah sebagai tempat pertemuan, maka gereja pada masa Paulus adalah seperti pertemuan asosiasi keagamaan ketika dipandang oleh para anggota gereja, para tetangga maupun pihak berwenang setempat. Dengan demikian orang Kristen mulamula merasa aman untuk bertemu sebagai kelompok sosial dan terhindar dari perhatian umum. Dengan demikian dari seluruh uraian di atas maka gereja menggunakan struktur rumah sebagai media perwujudannya karena sudah ada dalam masyarakat sebelumnya sehingga tidak perlu membentuk lagi yang baru tetapi menggunakan bentuk yang sudah ada. Karena itu ada kemiripan dalam hal tertentu dengan kelompok sosial lain yang telah ada, khususnya dalam hal penggunaan rumah. Struktur Oikos kuno diambil menjadi struktur kegiatan Kristen karena ada dalam budaya di sekitar mereka. Hal ini merupakan upaya kontekstualisasi yang cerdas karena memudahkan untuk melakukan penyebaran agama Kristen kepada orang-orang lain. Rumah menjadi basis pekerjaan misi serta menjadi pusat organisasi jemaat lokal dan pertemuan ibadah. Tulisan dan pekerjaan Paulus memperlihatkan hal di atas dengan lebih jelas. Paulus mengintegrasikan struktur oikos/rumah dalam masyarakat dengan strategi misi. Ia menjangkau orang-orang dalam rumah mereka setelah gagal menjangkau orang di sinagoge. Dari rumah ini ia menjangkau keluarga-keluarga lainnya.[24] Hal ini terjadi karena dunia Hellenis memang diikat oleh struktur keluarga secara menetap. Dengan demikian Paulus menggunakan struktur sosial yang sudah ada yang dikenali oleh orang Kristen maupun orang bukan Kristen. Paulus menggunakan secara khusus rumah tangga untuk mengorganisasi gerakan Kristen mula-mula. Dan kesuksesan misi Kristen mula-mula dan kehidupan gereja sangat terkait dengan rumah. Dengan demikian Paulus telah melakukan upaya kontekstualisasi yang efektif, yaitu menggunakan struktur rumah tangga yang ada dalam masyarakat untuk menyebarkan kekristenan.[25]

2.5.  Implikasi Bagi Pertumbuhan Gereja Pada Masa Pandemi Covid-19

Sudah dibahas secara panjang lebar mengenai Teologi Paulus tentang Gereja sebagai rumah. Di dalam rumah, ada relasi persekutuan yang hangat, penuh cinta kasih, dan komunikasi yang baik antara penghuni di dalam rumah tersebut. Demikianlah hendaknya kita harus membangun suasana gereja itu sebagaimana layaknya sebuah suasana rumah. Kita menjalin relasi persekutuan yang hangat, penuh cinta kasih, dan saling mengasihi. Kita harus membangun suasana gereja yang demikian karena kita adalah satu dalam Kristus. Kita menjadi saudara dan anak-anak Allah melalui Kristus yang mempersatukan kita.

Di tengah pandemi Covid-19, kita sadar bahwa persekutuan di dalam gereja di beberapa daearah yang masih masuk zona merah masih mengalami keterbatasan dalam berkumpul, bersekutu bersama-sama memuji dan memuliakan Tuhan di gereja. Peribadahan diganti menjadi peribadahan di rumah-rumah dengan beragam metode yang ditawarkan oleh gereja masa kini dalam menjangkau kualitas kerohanian umat di tengah pandemi ini. Kali ini persekutuan orang-orang beriman kepada Yesus Kristus harus dilakukan di rumah-rumah. Oleh karenanya melalui Teologi oikos ini, Paulus ingin mencoba memberikan suatu implikasi kepada kita agar menjadikan rumah sebagai nuansa gereja. Oikos bukan hanya menunjukkan pada rumah manusia, melainkan juga berarti rumah Allah “Oikos tou Theou”. Artinya, sebagaimana dalam Perjanjian Lama memulai persekutuan dari rumah-rumah, Perjanjian Baru juga demikian, hingga kepada masa gereja mula-mula yang memulai persekutuan gereja di dalam rumah-rumah, demikianlah kita harus membangkitkan paham teologi ini kepada situasi kita saat ini.

Teologi oikos amat sangat relevan bagi kehidupan bergereja masa kini. Tidak bisanya bersekutu di gereja tidak serta-merta mematikan persekutuan kita dalam gereja karena pada dasarnya, teologi oikos Paulus mengingatkan kita bahwa persekutuan pertama-tama harus dilandaskan, dilakukan dan dimulai dari dalam rumah. Rumah adalah miniatur dari gereja, demikianlah adanya. Persekutuan doa, iman, pengajaran Firman, kasih, semua unsur-unsur persekutuan gereja yang secara komunal dibangun dan didasari di dalam rumah sebagai agen dasar pembangunan komunitas orang-orang percaya di dalam gereja.

III.             Refleksi Teologis

Refleksi Teologis kami ambil dari Matius 18:20 “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpu dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”. Melalui ayat ini, kita ingin diingatkan agar membangun persekutuan di dalam Kristus agar memulainya dari persekutuan terkecil yakni rumah. Suami, istri, dan anak menjadi agen-agen dalam persekutuan rumah yang dapat berkumpul dua atau tiga orang. Ini ingin menekankan agar umat Kristen semakin meningkatkan gereja rumah dalam paham persekutuan agar kesadaran kita menumbuhkan rumah dengan nuansa persekutuan gereja lebih terbuka dalam situasi pandemi Covid-19 ini.

IV.             Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Teologi oikos adalah teologi dalam Perjanjian Baru yang memandang gereja sebagai rumah. Bukan hanya sebatas pemenuhan-pemenuhan kebutuhan fisik dan rohani, namun juga yang dimaksud di sini adalah kualitas dari nuansa rumah itu sendiri. Gereja sebagai rumah, tidak hanya dipandang sebagai rumah dalam arti manusia saja, namun kita harus memandang bahwa gereja juga sebagai rumah Allah. Gereja sebagai representasi persekutuan orang-orang percaya dalam nuansa rumah Allah (nuansa sorgawi). Oleh karenanya, gereja sebagai rumah hadir bagi anggota jemaat sebagai wadah persekutuan iman, cinta kasih, dan damai sejahtera di dalam Kristus agar melalui gereja jemaat dapat merasakan kasih Allah di tengah-tengah dunia ini, terkhusus dalam masa COVID-19 ini.

V.                Daftar Pustaka

Balz, Horst dan Schneider, Gerhard, Exegetical Dictionary of the New Testament Vol.

2. Grand Rapids: Eerdmans, 1991.

Branick, Vincent, The House Church in the Writings of Paul. Wilmington, Michael

Glazier, 1989.

Brown, Collin, ed., New International Dictionary of New Testament Theology Vol. 2.

GrandRapids: Zondervan, 1986.

Burke, Dale, Dua Perbedaan Dalam Satu Tujuan. Jakarta: Metanonia, 2000.

Dobson, James, Panduan Lengkap Pernikahan dan Keluarga. Batam: Gospel Press,

2004.

Flemming, Dean, Contextualization in the New Testament: Pattern for Theology and

Mission Downers. Grove: IVP, 2005.

Kittel, Gerhard, Gerhard Friedrich, eds., Theological Dictionary of the New Testament

Vol. 5. Grand Rapids: Eerdmans, 1967.

Malina, Bruce J., “Early Christian Groups: Using Small Group Formation Theory to

Explain Christian Organization,” dalam Philip F. Esler, Modelling Early Christianity: Social-Scientific Studies of the New Testament in its Context. London: Routledge, 1995.

Morris, Leon, New Testamant Theology. Malang: Gandum Mas, 2006.

Scroggs, Robin, The Earliest Christian Community as Sectarian Movement,” dalam

David G. Horrel, Social-scientific Approaches to New Testament Interpretation. Edinburgh: T&T Clark, 1999.

von Harnack, Adolf, The Expansion of Christianityin the First Three Century 2 Vols.

                        Tr. James Moffat. Eugene: Wipf & Stock, 1998.


[1] Vincent Branick, The House Church in the Writings of Paul (Wilmington, Michael Glazier, 1989), 13.

[2] Dean Flemming, Contextualization in the New Testament: Pattern for Theology and Mission Downers (Grove:IVP, 2005), 133.

[3] Dean Flemming, Contextualization in the New Testament: Pattern for Theology and Mission Downers ,134.

[4] Gerhard Kittel, Gerhard Friedrich, eds., Theological Dictionary of the New Testament Vol. 5. Tr. Geoffrey W. Bromiley (Grand Rapids: Eerdmans, 1967), 119.

[5] Gerhard Kittel, Gerhard Friedrich, eds., Theological Dictionary of the New Testament Vol. 5. Tr. Geoffrey W. Bromiley, 128.

[6] Gerhard Kittel, Gerhard Friedrich, eds., Theological Dictionary of the New Testament Vol. 5. Tr. Geoffrey W. Bromiley, 130.

[7] Horst Balz dan Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary of the New Testament Vol. 2. (Grand Rapids: Eerdmans, 1991), 501.

[8] Collin Brown, ed., New International Dictionary of New Testament Theology Vol. 2 (GrandRapids: Zondervan, 1986), 247.

[9] Collin Brown, ed., New International Dictionary of New Testament Theology Vol. 2, 248.

[10] Adolf von Harnack, The Expansion of Christianityin the First Three Century 2 Vols. Tr. James Moffat (Eugene: Wipf & Stock, 1998), 122.

[11] Adolf von Harnack, The Expansion of Christianityin the First Three Century 2 Vols. Tr. James Moffat, 147.

[12] Robin Scroggs, The Earliest Christian Community as Sectarian Movement,” dalam David G. Horrel, Social-scientific Approaches to New Testament Interpretation, (Edinburgh: T&T Clark, 1999), 69-91.

[13] Bruce J. Malina, “Early Christian Groups: Using Small Group Formation Theory to Explain Christian Organization,” dalam Philip F. Esler, Modelling Early Christianity: Social-Scientific Studies of the New Testament in its Context ,(London: Routledge, 1995), 110.

[14] Bruce J. Malina, “Early Christian Groups: Using Small Group Formation Theory to Explain Christian Organization,” dalam Philip F. Esler, Modelling Early Christianity: Social-Scientific Studies of the New Testament in its Context ,112.

[15] Bruce J. Malina, “Early Christian Groups: Using Small Group Formation Theory to Explain Christian Organization,” dalam Philip F. Esler, Modelling Early Christianity: Social-Scientific Studies of the New Testament in its Context, 114.

[16] Bruce J. Malina, “Early Christian Groups: Using Small Group Formation Theory to Explain Christian Organization,” dalam Philip F. Esler, Modelling Early Christianity: Social-Scientific Studies of the New Testament in its Context, 115.

[17] Dale Burke,Dua Perbedaan Dalam Satu Tujuan, (Jakarta: Metanonia,2000), 23.

[18] Dale Burke,Dua Perbedaan Dalam Satu Tujuan, 23.

[19] James Dobson, Panduan Lengkap Pernikahan dan Keluarga, (Batam: Gospel Press, 2004), 142.

[20] James Dobson, Panduan Lengkap Pernikahan dan Keluarga, 143-144.

[21] James Dobson, Panduan Lengkap Pernikahan dan Keluarga, 145.

[22] Leon Morris, New Testamant Theology, (Malang: Gandum Mas, 2006), 63.

[23] Leon Morris, New Testamant Theology, 64.

[24] Leon Morris, New Testamant Theology, 65.

[25] Leon Morris, New Testamant Theology, 65-66.