Duc In Altum: Lain-lain...

Klik Ikuti

PEMUDA, IDENTITAS AGAMA DAN RUANG PUBLIK

PEMUDA, IDENTITAS AGAMA DAN RUANG PUBLIK

 

Pemuda, Identitas Agama dan Ruang Publik

Deskripsi

Radikalisme merupakan isu kontemporer dewasa ini. Agama juga belakangan menjadi isu yang sensitif untuk dibahas apalagi di tengah negara Indonesia yang memiliki beragam agama di dalamnya. Ada enam agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Kong Hu Chu dan Hindu. Antara Radikalisme dan Agama menjadi dua hal yang sering disandingkan dalam sebuah pembahasan. Tak dapat dipungkiri, sering sekali terjadi pergesekan-pergesekan yang kecil maupun yang besar dikarenakan perbedaan kepercayaan dan sikap radikalisme. Radikalisme tidak hanya menjadi suatu indentitas yang pantas disematkan kepada satu agama saja. Tidak ada agama yang radikal. Hanya saja, racun radikalisme dapat meracuni seluruh agama, tanpa terkecuali. Jadi radikalisme bukanlah ajaran murni sebuah agama, tetapi radikalisme adalah sifat eksternal yang masuk dan dipahami dalam mempelajari niali-nilai suci agama. Radikalisme adalah lawan dari toleransi karena di dalam paham yang radikal terdapat sifat yang keras menyatakan kebenaran hanya ada dalam dirinya. Sikap radikal haruslah dikikis dari setiap masyarakat khususnya dari kaum-kaum muda. Lalu bagaimana caranya mengikis radikalisme di tengah era kemajuan teknologi yang kian pesat dan di tengah-tengah beragamnya agama di tengah-tengah Indonesia?

AGAMA SARANA PERDAMAIAN DAN PERSATUAN

Ada begitu banyak defenisi akan pengertian dari Agama. Hanya pada umumnya, agama diartikan dari bahasa Sansekerta, yaitu: a yang artinya tidak, dan gama yang artinya kacau. Jadi agama secara harafiah dapat dikatakan “tidak kacau”. Sementara menurut Jonar Situmorang, agama adalah hidup yang teratur, sesuai dengan haluan atau jalan yang dilimpahkan Tuhan dan dijiwai oleh semangat kebaktian kepada Tuhan. Hal ini berarti jika seseorang mengaku sebagai orang beragama, maka hidupnya harus teratur, tertib, yang sesuai dengan kaidah yang ditetapkan oleh agamanya.[2] Sementara Dr. Koentjaraningrat sebagaimana yang dikutip oleh Rusmin Tumanggor mengatakan bahwa agama adalah sistem yang terdiri dari konsep yang dipercaya dan menjadi keyakinan secara mutlak suatu umat, dan peribadatan (ritual) serta upacara (seremonial) beserta pemuka-pemuka yang melaksanakannya. Sistem ini mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, antara sesama manusia dan antara manusia dengan lingkungannya.[3] Sehingga sebenarnya kita harus sepakat bahwa setiap agama memiliki nilai tidak hanya sebatas hubungan antara manusia dengan sang penciptanya yakni Tuhan. Melainkan sebenarnya setiap agama mengajarkan juga nilai-nilai antara manusia dengan sesamanya dan bahkan hingga kepada hubungan manusia dengan lingkungannya.

Dalam GBHN 1999 secara tegas dikatakan bahwa fungsi, peran dan kedudukan agama adalah sebagai landasan moral, spiritual dan etika dalam penyelenggaran negara serta mengupayakan agar segala peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral agama. Sehingga dapat dikatakan sebenarnya secara teoritis moral dan etika hidup bersama sebagai sebuah bangsa telah terbentuk sedemikian rupa.[4] Sebenarnya dari sini sudah dapat dilihat bagaimana agama memiliki peranan sebagai sarana damai dan sarana persatuan bangsa. Bagaimana nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan dengan nilai agama manapun yang dipercayai di Indonesia, dan yang terpenting adalah setiap agama pasti mengajarkan cinta kasih, bukannya kekacauan dan kekerasan. Bagi agama Kristen sendiri, kerukunan (perdamaian dan persatuan) merupakan panggilan iman. Dalam Roma 12:18 dikatakan agar kita hidup dalam perdamaian dengan semua orang. Ini merupakan panggilan serta ujian bagi bangsa kita untuk menjadi satu bangsa kendati kita berbeda-beda suku, agama, ras dan etnis.[5]

Agama Kristen secara tegas dan jelas mendasarkan pengajaran agamanya pada ajaran Kasih Kristus yang menuntut agar kita mampu merepresentasikan kasih Allah di tengah dunia. Ini berarti bahwa agama Kristen dituntut untuk menghidupi kasih Allah melalui perdamaian, kerukunan, persekutuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kami yakin bahwa tidak hanya agama Kristen yang mengajarkan cinta kasih ini. Namun agama-agama lain juga demikian sehingga tepatlah kita katakan bahwa agama adalah salah satu penyumbang pemikiran perdamaian dan kesatuan negara dengan nilai-nilai etis, moral dan rohaninya karena ajaran agama adalah ajaran yang penuh damai dan penuh cinta.

RADIKALISME RACUN PERSATUAN

Pada akhir abad ke-19 istilah radikal (radicalism) di Eropa dipahami sebagai ideologi liberal dan progresif. Pada masa berikutnya radikal tidak saja digunakan bagi mereka yang menginginkan dan mengupayakan perubahan total, tuntas dan menyeluruh. Meskipun radikalisme lebih awal tumbuh di dunia politik, akan tetapi belakangan ini juga terjadi dalam bidang-bidang lain, terutama dalam bidang sosial keagamaan. Pada bidan sosial keagamaan, radikalisme dilabelkan bagi mereka yang berpegang teguh pada keyakinan dan ideologi yang dianutnya secara kaku sehingga konsekuensinya semua yang lain dan tidak sama dengannya adalah salah dan keliru sehingga semua yang salah harus diluruskan dan diperbaiki. Meski cara memperbaikinya dapat ditempuh dengan cara damai, namun acapkali cara yang dipilih adalah cara kekerasan dan pemaksaan kehendak.[6]

Tidak dapat dipungkiri sebenarnya bahwa agama memiliki sisi eksklusif dan sisi inklusif. Contoh saja, dalam hukum kasih yang Yesus ajarkan, yakni mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama, terkandung dua sisi agama. Hukum kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu adalah hukum yang sangat eksklusif, sementara hukum kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, adalah sisi inklusifnya.[7] Penulis sendiri setuju bahwa setiap agama pastilah memiliki sisi eksklusif dan inklusif. Sisi Eksklusif adalah ranah zona hitam yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam artian bahwa sisi Eksklusif agama merupakan suatu ketetapan baku yang tidak dapat di campur-baurkan dengan ajaran agama lainnya. Sisi ini menjadi tembok pembatas dan pemisah serta menjadi ciri khas agama yang satu dengan yang lainnya. Sementara, sisi inklusif bagi penulis adalah zona bebas. Dalam artian, pandangan-pandangan teologis dan buah-buah pemikiran agama dapat disandingkan dengan agama lainnya. Sebut saja contohnya pandangan agama tentang politik, sosial, bahkan nilai-nilai Pancasila menjadi satu bukti bahwa ada sisi dan ajaran agama yang mampu dihubungkan dengan agama lainnya.

Hanya saja, radikalisme menurut penulis memaksakan sisi eksklusif suatu agama dengan agama lainnya. Kita harus ingat satu hal, radikalisme tidak dapat dilekatkan sebagai identitas dari agama manapun. Stigma negatif terhadap satu agama sebagai agama yang radikal harus kita tepis karena setiap agama memiliki sejarah kelam dalam hubungannya dengan radikalisme. Jika sisi eksklusif agama dijadikan sebagai penilaian terhadap benar tidak agama lain, tentu saja yang terjadi adalah kekacauan. Karena tidak mungkin satu agama meyakini konsep Tuhan dari agama lainnya. Tidak mungkin satu agama mengimani nabi agam lain menjadi nabi mereka dan tidak mungkin mereka menerima kitab suci agama lain menjadi kitab suci mereka juga. Jadi radikalisme merupakan suatu paham yang menilai sisi khas agama (dalam hal ini dogma dan inti ajarannya) untuk dipaksakan kepada agama lain yang dianggap sebagai sesat dan salah meski harus memakai kekerasan untuk mencapai itu. Radikalisme sangat berbahaya dan sangat memecah.

PEMUDA SEBAGAI “AGENT OF CHANGE”

Dalam Alkitab ditegaskan agar pemuda harus bersikap cerdik dan penuh kewaspadaan dalam merespon setiap hal mengenai perubahan dan tantangan zaman saat ini (Matius 10:16) selain itu pemuda dituntut untuk harus bisa menjadi contoh bagi dunia dan jangan ikut serupa dengan dunia yang penuh tantangan ini (Roma 12:2) sebagai calon generasi penerus yang akan menggantikan generasi sebelumnya. Secara internasional, World Health Organization (WHO) menyebut sebagai “young people” dengan batas usia 10-24 tahun, sedangkan usia 10-19 tahun disebut “adolescenea” atau remaja. Definisi yang kedua, pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil.[8]

Pemuda Kristen adalah seorang kristen yang hari hari hidupnya harus mencerminkan apa yang Yesus Kristus teladankan. Dengan kata lain pemuda kristen harus berani menempatkan dirinya di garda terdepan dalam mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kebenaran, keutuhan ciptaan yang berdasarkan kasih, Dengan kata lain, pemuda Kristen harus menjadi pelopor terwujudnya "Shalom Allah" di tengah tantangan zaman ini.

RUANG PUBLIK MEDIA MELAWAN RADIKALISME

“Bijaklah bersosial media” menjadi satu slogan yang sering bergema karena memang sudah sangat memprihatinkan bagaimana kita bersosial media. Cacian dan makian, ujaran kebencian, hoax atau berita palsu menjadi makanan sehari-hari di tengah-tengah kehidupan bersosial media. Sehingga peribahasa “mulutmu adalah harimaumu” terkadang digeser menjadi “jarimu adalah harimaumu”. Kebanyakan pengguna sosial media secara gampang saja menerima suatu berita tanpa memilah, memilih dan menimbang kebenaran isi berita tersebut. Kebebasan berekspresi, berpendapat dan beraktualisasi diri di dalam media sosial tampaknya disalah gunakan dengan menebar perkataan-perkataan tak pantas, mengucapkan umpatan dan makian, bahkan menjadi tempat tercepat untuk menebarkan paham-paham radikalisme. Kenyataan dan realita ini haruslah kita sadari secepat mungkin karena melalui sosial media, informasi sangat cepat beredar.

Jika sosial media dapat menjadi sarana penyebaran paham-paham radikalisme dengan cepat, maka secara positif kita dapat mengatakan bahwa sosial media menjadi sarana tercepat juga untuk mencegah radikalisme. Bagaimana caranya? Belakangan semenjak pandemi, ada banyak cara yang sudah dilakukan. Entah itu memperbanyak kegiatan pemuda lintas agama, ada juga dengan webinar-webinar kerukunan umat beragama, kampanye-kampanye positif untuk menjaga persatuan, kesatuan serta kerukunan umat beragama di Indonesia, dan masih banyak lagi. Cara-cara ini sudah mulai ditempuh untuk menciptakan toleransi dan menepis bahaya radikalisme. Mari mulai dari diri sendiri. Bagaimana caranya? Langkah termudah adalah dengan memfokuskan pandangan pada “kesamaan antar agama” yang dapat dicapai, bukan berfokus pada “perbedaan”. Kelemahan kita adalah terlalu gampang dibutakan oleh perbedaan sementara masih ada sisi lain yang harus kita bangun yakni sisi inklusif agama itu sendiri. Mari fokus pada persamaan nilai untuk mencegah radikalisme dan penghakiman.

TINJAUAN TEOLOGIS

Agama Kristen adalah agama yang penuh cinta kasih. Dalam Roma 12:18 dikatakan bahwa kita harus hidup berdamai dengan sesama kita. Dalam Galatia 6:2 dikatakan agar kita saling bertolong-tolongan dalam menanggung beban. Jadi jelas bahwa dalam hukum kasih Kristus, dalam hal berhubungan dengan masyarakat tidak ada tempat bagi radikalisme, karena sangat bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Dari cerita Injil, Yesus sang Mesias disalibkan juga dikarenakan pemahaman radikalisme. Orang Yahudi terlalu terpaku mati kepada ajaran mereka dan memandang apa yang berada di luar mereka adalah kesesatan dan ketidaksesuaian dengan hukum Musa. Sehingga jikalau ada yang bertindak di luar paham mereka, akan dikucilkan dan bahkan dibunuh.

Radikalisme dapat dikatakan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka, meski harus menggunakan kekerasan sekalipun. Hanya saja, dalam 1 Petrus 3:15 dikatakan: “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggung jawbaan kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggung jawaban dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah lemah lembut dan hormat”. Pemberitaan firman, memberitakan kebenaran, tidaklah harus dengan cara paksaan apalagi kekerasan. Petrus dengan jelas mengatakan bahwa cukup jelaskan ajaran Kristen pada orang yang ingin mendengarkannya atau yang memintanya. Itupun jangan paksakan pada mereka. Tetapi sampaikan dalam kelemahlembutan dan penuh kasih. Sehingga prinsipnya, inilah yang harus ditekankan. Jangan saling menghakimi, jangan saling membenci karena perbedaan, jangan paksakan kebenaran dan menyalahkan agama lain dengan perspektif agama sendiri, mulailah saling menghargai dan fokuslah pada persamaan nilai-nilai daripada perbedaan ajaran.

KONTRIBUSI

Bagi sekolah teologi, yang adalah tempat bagi para calon hamba Tuhan haruslah berperan aktif dalam menyediakan ruang diskusi lintas agama yang tidak membandingkan dan mencari kebenaran atau kesalahan, melainkan membangun suatu ide konstruktif yang berguna bagi bangsa dan negara menjadi suatu gagasan iman bersama lintas agama terhadap isu-isu kontemporer untuk mencerdaskan masyarakat dari segi intelektual dan spiritual.

Bagi gereja, pentingnya menanamkan sikap anti-radikalisme adalah agar gereja terbuka terhadap perbedaan yang ada. Gereja tidak menarik diri dari orang yang tidak Kristen. Gereja yang transformatif adalah gereja yang membumikan kasih Allah kepada semua ciptaan. Hal ini tidak akan terjadi jika gereja hidup dalam radikalisme dan eksklusifitas yang berujung penutupan diri terhadap yang lainnya. Sebagaimana Kristus yang menyatakan kasih-Nya kepada semua orang, tidak hanya kepada orang Yahudi namun kepada orang Samaria, berarti gereja yang mengajarkan kasih Kristus juga tidak boleh menutup diri dan bersikap radikal.

Bagi masyarakat, penting untuk memahami ajaran agama secara mendalam serta sadar akan sikap anti radikalisme. Karena Indonesia sangat majemuk kepercayaannya sehingga sangat mudah sebenarnya untuk memecah belah dengan mengangakat isu agama yang sensitif.

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Syahrin, Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme & Terorisme: Edisi Pertama.
                Depok: SIRAJA, 2017.

Kobong, Th., Pluralitas dan Pluralisme, dalam Agama dalam Dialog: Pencerahan,
                Pendamaian dan Masa Depan
. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Mulyana Teddy, Cultures and communication an Indonesian scholar’s perspective, Bandung: Remaja Rosdakrya, 2012

Situmorang, Jonar, Mengenal Agama Manusia. Yogyakarta: ANDI, 2017.

Tumanggor, Rusmin, Ilmu Jiwa Agama: The Psychology of Religion. Jakarta: Prenada Media,
                2016.

Yewangoe, A.A., Agama dan Kerukunan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Yewangoe, A.A., Tidak Ada Penumpang Gelap: Warga Gereja, Warga Bangsa. Jakarta: BPK
                Gunung Mulia, 2009.



[1] Mahasiswa STT Abdi Sabda Medan T.As. 2017/2018 Semester IX Asal Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI).

[2] Jonar Situmorang, Mengenal Agama Manusia (Yogyakarta: ANDI, 2017), 18.

[3] Rusmin Tumanggor, Ilmu Jiwa Agama: The Psychology of Religion (Jakarta: Prenada Media, 2016), 6.

[4] A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 1.

[5] A.A. Yewangoe, Tidak Ada Penumpang Gelap: Warga Gereja, Warga Bangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 3-5.

[6] Syahrin Harahap, Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme & Terorisme: Edisi Pertama (Depok: SIRAJA, 2017), 3-5.

[7] Th. Kobong, Pluralitas dan Pluralisme, dalam Agama dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 127.

[8] Teddy Mulyana, Cultures and communication an Indonesian scholar’s perspective, (Bandung: Remaja Rosdakrya, 2012), 12

TITIK TOLAK PANDANGAN TENTANG MISI YANG BERSIFAT UNIVERSALISME DALAM PERJANJIAN LAMA

TITIK TOLAK PANDANGAN TENTANG MISI YANG BERSIFAT UNIVERSALISME DALAM PERJANJIAN LAMA

Titik Tolak Pandangan Tentang Misi yang Bersifat Universalisme dalam Perjanjian Lama

I.                   Pendahuluan

Berbicara mengenai keuniversalan misi Allah sangatlah luas kaitanya. Di mana Allah selalu punya cara menyatakan segala kehendak-Nya di dunia agar manusia memahami bahwa Allah saja yang patut disembah dan dimuliakan. Keuniversalan misi Allah tidak terlepas dari karya-Nya di mana Ia memilih bangsa Israel untuk menjadi alat Allah melakukan rencana-Nya di dunia ini. Allah memilih bangsa Israel supaya menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain di dunia dan memberitakan kabar baik tentang keselamatan bagi semua bangsa.

 

II.                Pembahasan

2.1.            Arti dari Keuniversalan

Di dalam pembukaan kitab suci terlihat segala perbuatan-perbuatan Allah terhadap seluruh dunia. Ia bertindak secara universil. Kisah penciptaan langit dan bumi dan penempatan manusia di dalamnya merupakan pra-sejarah bagi Israel, dan serentak pula pra-sejarah bagi sejarah keselamatan untuk dunia. Kejadian 1-11 adalah pendahuluan dan latarbelakang dari sejarah Israel selanjutnya. Sifatnya sangat universil.[1] Keuniversalan menurut pengertian Alkitab berkonotasi bahwa tujuan Allah bersifat komperehensif dan bukan mengutamakan kelompok tertentu (partikularsi), mencakup seluruh umat manusia dan bukan hanya tertuju pada bangsa tertentu atau hanya perorangan. Keuniversalan menganggap janji dan ketetapan Allah tentang keselamatan, mencakup semua manusia dan bukan hanya untuk “kaum pilihan”. Keuniversalan pemberian keselamatan dari Allah di dalam Yesus bagi semua orang. Itulah sebabnya Allah berkehendak agar Injil diberitakan secara universal, agar setiap individu mendengar kabar baik tentang keselamatan/penebusan.[2]

 

2.2.            Penciptaan

Allah sejak semula memiliki rencana-rencana bagi manusia pertama-tama dalam penciptaan manusia, supaya menjadikan manusia secara umum sebagai penatalayan Allah untuk memerintah dan mengatur bumi dengan segala makhluk isinya. Asal-usul manusia diawali dengan penciptaan yang dinyatakan dalam Kej. 1:26.[3] Di dalam Kej 1 dan 2 mencatat penciptaan Adam dan Hawa, jadi penciptaan manusia. penciptaan Adam dimaksudkan sebagai benih yang nanti akan beranak-cucu. Adam adalah benih awal dari seluruh umat manusia.[4] kitab suci selalu menekankan Allah sebagai pencipta langit dan bumi. Seluruh bumi dan segala isinya termasuk segenap umat manusia dijadikan oleh Allah (Kej. 1; Maz 24:1). Setiap manusia dari bangsa manapun memperoleh hidupnya dari Tuhan. Apakah ia orang Israel, Kanaan, Mesir, Tuhan adalah penciptanya. Penciptaan Allah dan posisi-Nya sebagai pencipta adalah asas utama untuk PI. Setiap bangsa tidak boleh meninggikan dirinya masing-masing karena mereka berasal dari ciptaan Tuhan. Semua ras dan bangsa sama asalnya; diciptakan oleh Allah menurut gambar-Nya (Kej. 1:27). Tuhan tidak menciptakan orang Israel saja, melainkan semua umat manusia. Kejadian pasal satu melukiskan bukan awal umat Israel, melainkan awal manusia, bukan awal negeri Kanaan, melainkan awal dunia. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”  untuk tempat tinggal manusia (Kej 1:1).[5] Bapa mempunyai rencana indah dan mulia untuk kebaikan manusia. Ia menciptakan manusia menurut gambar dan citra-Nya (Kej 1:27) sehingga manusia memiliki anugerah yang mulia dari Bapa, bagian dari keluarga Allah untuk menjadi anak-anak-Nya. Rencana Bapa bagi manusia adalah hidup kudus, berbakti dan taat, bahagia selamanya, dianugrahi kehendak bebas, memiliki hidup kekal selamanya. Semuannya telah dipersiapkan oleh Bapa secara mengagumkan. Semua rencana-Nya beraturan dipersiapkan sebelum manusia diciptakan seperti bumi yang belum berbentuk dan kosong diubah-Nya menjadi bumi yang berbentuk dan berisi untuk didiami manusia. memisahkan air dengan daratan agar manusia memiliki tempat, menumbuhkan pohon-pohon yang menghasilkan buah dan biji-bijian, ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, menyingkapkan benda-benda penerang. Semua lingkungan hidup di rencanakan untuk manusia (Kej 1-2).[6]

 

2.3.            Kejatuhan Manusia ke Dalam Dosa

Ketika Allah menciptakan manusia, Ia telah menyingkapkan sebuah peringatan untuk ciptaan-Nya, yaitu bahwa mereka harus hidup sesuai dengan Firman-Nya dan menikmati alam semesta sesuai dengan rencana-Nya. Allah memberi izin kepada manusia untuk memakan semua buah pohon yang ada di taman Eden (Kej 2:16), namun buah pohon yang di tengah-tengah taman itu tidak boleh dimakan sebab apabila dimakan akan mati (Kej 12:17). Allah membuat batasan demikian untuk menguji kesetiaan manusia. Ketidaktaatan dan pemberontakan manusia melawan Allah mendatangkan bencana (Kej. 3-11).[7] Manusia dikutuk oleh Allah mengalami kesengsaraan di hidupnya. Secara jasmani manusia mengalami kematian, secara rohani manusia terasing dari Allah. itulah sebabnya misi Allah merupakan penghancuran akhir atas segala kejahatan dari seluruh ciptaan-Nya.[8]

 

2.4.            Penebusan

Allah memilih untuk tak meninggalkan atau menghancurkan ciptaan-Nya, tetapi menebusnya. Dan Ia memilih untuk melakukan itu di dalam sejarah melalui berbagai orang dan peristiwa yang berlangsung dari panggilan Abraham hingga kepada kembalinya Kristus.[9] keselamatan akan diadakan oleh Allah sendiri yang merupakan satu-satunya harapan manusia, Allah menghancurkan iblis, keselamatan-Nya mempengaruhi seluruh umat manusia, keselamatan datang melalui perantara yaitu Yesus Kristus.[10]

 

2.5.            Perutusan yang Berpola Teosentris

2.5.1.      Pengutusan Abraham

Karena kejatuhan manusia ke dalam dosa, Allah menyatakan kepedulian-Nya atas ciptaan-Nya yang telah jatuh melalui umat Israel yang dipilih sebagai alat-Nya. Mereka adalah pewaris janji yang telah lama dinyatakan-Nya kepada leluhurnya (Abraham, Ishak dan Yakub).   Allah berkata kepada Abraham “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar” (Kej. 12:2) sebanyak bintang-bintang di dangit (Kej. 15:5; 17:6). Bangsa ini akan menjadi berkat bagi bangsa seluruh dunia. Karena itulah Abraham disebut sebagai “bapa sejumlah besar bangsa” (Kej. 17:5). Hubungan dengan Allah yang terlihat melalui janji-Nya dari zaman bapa leluhur ialah sebuah hubungan khusus dengan Allah sendiri: “Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun menurun.... menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu” (Kej 17:7-8). Janji mengenai hubungan dengan Allah ini dinyatakan secara tidak langsung dalam berkat kepada Abraham dan keturunannya tentunya dimaksudkan juga bagi semua bangsa (Kej. 12:3). Pemilihan atas bangsa Israel tidak dimaksudkan hanya untuk bangsa Israel tetapi juga bagi semua bangsa. Bangsa Israel merupakan penerima sekaligus perantara berkat.[11] Kisah pemilihan Abraham dan keturunannya merupakan persiapan bagi pemilihan Israel berwujud keluaran dari Mesir. Pemilihan Israel tidak sekali-kali bertujuan egoisme-keselamatan melainkan keuniversalan-keselamatan. Dengan memilih umat Israel, maka Allah mengarahkan pandangan-Nya kepada seluruh dunia.[12]

 

2.5.2.      Pengutusan Para Nabi

Para nabi juga memiliki tujuan missioner mengenai keselamatan. Musa diutus menjadi alat Tuhan untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir (Kel 3:10), Allah mengingat janji-Nya kepada Abraham, Ishak dan Yakub.[13] Dalam proses yang serupa dengan proses panggilan dan pengutusan Musa, Allah memanggil dan mengutus nabi Yeremia (dan para nabi Israel lainnya): Yeremia dipanggil dan pilih untuk menjadi nabi sejak dikandungan ibunya (Yer 1:5) , nabi diutus untuk memperlihatkan dan menyuarakan kekuasaan dan kehendak “yang mengutus” (bnd Kel 4:12). Tugas misioner Yeremia bersifat universal karena ia diutus bukan hanya kepada bangsa Israel, tetapi juga kepada bangsa-bangsa lain (Yer 1:10) hal ini menunjukkan bahwa perhatian Allah menyeluruh.[14] Para nabi pasca pembuangan yaitu: Hagai, Zakaria, Maleakhi; nabi-nabi pembuangan: Yeremia, Yehezkiel, Daniel; nabi-nabi pra pembungan: Obaja, Yunus, Nahum yaitu tiga nabi yang menyelamatkan seluruh pesan mereka kepada bangsa-bangsa bukan Israel, Edom dan Niniwe secara berturut-turut. Semua nabi ini sekurang-kurangnya mempunyai penekanan keuniversalan. Zefanya berbicara mengenai keuniversalan, ketika dia berbicara kepada Yehuda mengenai datangnya hukuman-hukuman Allah (Zef 1:2-3 – atas muka bumi; Zef 2:11 – setiap bangsa daerah pesisir; Zef 3:8 – seluruh bumi akan dimakan habis…; Zef 3:20 – di antara segala bangsa di bumi). Hukuman Allah berlaku bagi semua manusia (Zef 1:2-3; 3:8), demikian juga setiap bangsa akan sujud menyebah kepada Tuhan (Zef 2:11), dan segala bangsa akan mengenal kuasa-Nya yang menyelamatkan (Zef 3:19-20).  Habakuk meletakkan tiga prinsip dasar mengenai tiga arti penting keuniversalan:

1.      Prinsip universal mengenai pembenaran oleh iman (2:4)

2.      Pengetahuan universal tentang kemuliaan Tuhan (2:14)

3.      Penyembahan universal kepada Tuhan (2:20)

Yoel berbicara kepada Yehuda akan hukuman Tuhan yang dasyat pada hari Tuhan akan menimpa semua bangsa (Yl 2:20; 3:4,6,8-9) dan berbicara mengenai segala bangsa (Yl 3:8,11-12), demikian juga semua bangsa mengambil bagian dalam karunia Roh (Yl 2:28 “Semua manusia”).[15]

 

2.6.            Pernyataan Universalisme dalam Perjanjian Lama

Perjanjian Lama adalah misi Allah untuk menyelamatkan manusia dari kuasa dosa melalui pengorbanan Yesus Kristus Anak-Nya yng akan datang. Janji keselamatan tersebut secara khusus diberikan kepada bangsa Israel.[16] Misi adalah kepeduliaan Allah atas ciptaan-Nya yang telah jatuh. Umat Israel dipilih sebagai alat-Nya sebab mereka adalah pewaris janji Allah kepada leluhur (Abraham, Ishak dan Yakub ).[17] Dalam Perjanjian Lama misi itu dapat dikatakan:

1.      Karya/pekerjaan/kepedulian Allah secara aktif kepada bangsa-bangsa lain yang non-Israel. Dia adalah pencipta, pemelihara dan penguasa atas seluruh alam semesta (Kej. 1-3). Inilah yang melatarbelakangi cerita pemilihan dan pengikatan perjanjian diantara Allah dan Abraham serta bapa-bapa leluhur lainnya (Kej. 2-50).

2.      Pemilihan dan penugasan Abraham (Kej. 12:1-3) agar bergerak (keluar dari kampung halamannya dan pergi ke tempat yang ditunjukkan-Nya) bukan hanya demi kepentingannya sendiri melainkan untuk menjadi “berkat Allah”.

3.      Pemilihan bangsa Israel yang keluar dari Mesir dan penugasan mereka yang diangkat-Nya menjadi umat-Nya (Kel. 19:4-6) juga bukan hanya bagi bangsa ini sendiri tetapi keselamatan bangsa-bangsa; sebagai kerajaan imam mereka dipilih untuk melaksanakan pelayanan keimanan, yang selain beribadah kepada Allah, juga menjadi mediator di antara bangsa-bangsa dengan Allah lewat bangsa Israel terhadap undang-undang yang diberikan kepada mereka.

4.      Penugasan pemberitaan keselamatan yang universal tersebut dilengkapi dengan nubuatan kedatangan/penugasan Mesias yang digenapi oleh kedatangan Yesus Kristus pada masa Perjanjian Baru. Janji “menjadi berkat bagi segala bangsa” (Kej. 12:3; 18:18; 22:18; 26:4; 28:14).[18]

Keuniversalan Allah terlihat dari lima cara:

1.      Penekanan yang konsisten terhadap monoteisme dalam Perjanjian Lama menyatakan Allah sebagai satu-satunya pencipta dan penguasa alam semesta yang penuh kebajikan. Allah adalah satu-satunya Allah.

2.      Desakan bahwa Allah adalah Tuhan dari semesta alam, yang tetap menjadi penguasa dan hakim atas bangsa-bangsa. Allah memakai bangsa-bangsa sebagai alat-Nya.

3.      Sikap yang tegas dan bersifat menghukum terhadap perkembangan dan praktik-praktik agama di luar lingkup penyataan khusus. Allah tidak menyetujui agama-agama bukan-pemwahyuan menjadi milik bangsa-bangsa di dunia.

4.      Pewartaan-pewartaan yang jelas dan janji-janji Perjanjian Lama yang mencakup semua, keselamatan Allah di dalam Perjanjian Lama itu secara universal.

5.      Panggilan penting dan unik bagi Israel untuk menjadi saksi Allah dan imamat Allah sebagaimana dilembagakan oleh Musa dan dikembangkan oleh nabi-nabi.[19]

 

III.             Kesimpulam

Misi Allah dalam Perjanjian Lama adalah bersifat universal. Memang dalam Perjanjian Lama Allah menjadikan Israel sebagai umat kepunyaan Allah sendiri. Namun bukan berarti bahwa misi Allah hanya berlaku bagi umat Israel saja. Sebagaimana kasih Allah kepada semua umat manusia, begitu pula lah misi Allah mencakup segala umat ciptaan-Nya. Pemilihan bangsa Israel adalah sebagai titik tolak keberangkatan misi Allah yang universal itu di tengah-tengah dunia ini. Karya misi Allah yang universal di dalam Perjanjian Lama itu, kini sudah digenapi dalam Perjanjian Baru melalui kematian Yesus Kristus untuk menebus bukan hanya dosa umat Israel, tetapi dosa semua manusia.

 

IV.             Daftar Pustaka

De Kupier, Arie, Missiologia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018. 

Dyrness, William A., Agar Bumi Bersukacita. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Naftallino, A., Teologi Misi. Jakarta: Logos, 2007.

Peters, George W., A Biblical Theology of Missions. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2006.

Putranto, Bambang Eko, Misi Kristen. Yogyakarta: ANDI, 2007.

Ruck, Jhon, Jemaat Misioner. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011.

Venema, H., Injil Untuk Semua Orang. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2006.

Woga, Edmund, Dasar-Dasar Misiologi. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Wright, Christhoper J.H., Misi Umat Allah. Jakarta: Perkantas, 2013.



[1] Arie De Kupier, Missiologia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 18.  

[2] George W. Peters, A Biblical Theology of Missions (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2006), 20-22.

[3] Jhon Ruck, Jemaat Misioner (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011), 132-133.

[4] George W. Peters, A Biblical Theology of Missions, 100.

[5] H. Venema, Injil Untuk Semua Orang (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2006), 89-90.

[6] Bambang Eko Putranto, Misi Kristen (Yogyakarta: ANDI, 2007), 42-43.

[7] William A. Dyrness, Agar Bumi Bersukacita (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 44-45.

[8] Christhoper J.H. Wright, Misi Umat Allah (Jakarta: Perkantas, 2013), 46.

[9] Christhoper J.H. Wright, Misi Umat Allah, 47.

[10] George W. Peters, A Biblical Theology of Missions, 101-102.

[11] William A. Dyrness, Agar Bumi Bersukacita, 56-57.

[12] Arie De Kupier, Missiologia, 19.

[13] Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 71.

[14] Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi, 73.

[15] George W. Peters, A Biblical Theology of Missions, 142-147.

[16]  Bambang Eko Putranto, Misi Kristen, 42.

[17] A. Naftallino, Teologi Misi (Jakarta: Logos, 2007), 28-29.

 

[19] George W. Peters, A Biblical Theology of Missions, 129-132.