Duc In Altum: Teologi Perjanjian Lama

Klik Ikuti

RAHASIA KEBERHASILAN PERJUANGAN ESTER DALAM RANGKA MENYELAMATKAN BANGSANYA DI NEGERI ASING

RAHASIA KEBERHASILAN PERJUANGAN ESTER DALAM RANGKA MENYELAMATKAN BANGSANYA DI NEGERI ASING

 

RAHASIA KEBERHASILAN PERJUANGAN ESTER DALAM RANGKA MENYELAMATKAN BANGSANYA DI NEGERI ASING[1]

1.1.         Perempuan dalam Perjanjian Lama

1.1.1.  Kedudukan Perempuan dalam Perjanjian Lama

Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan bangsa Israel, ketika mereka itu menjadi sebuah bangsa yang memiliki hukum dan pemerintah, perempuan, memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada pria. Dari segi penghormatan, kalau perempuan menjadi janda dan tidak memiliki anak, ia wajib menikah untuk memperoleh seorang putra guna meneruskan garis keturunan mendiang suaminya demi keutuhan warisan keluarga (Bil 27:8-11). Dalam peristiwa-peristiwa keagamaan yang penting, istri diperbolehkan mengikuti peribadatan dan turut berperan di dalamnya. Pada zaman Hakim-hakim, banyak juga kaum perempuan yang mengerjakan tugas-tugas pelayanan di rumah Tuhan secara sukarela.[2]

1.1.2.  Peran Perempuan dalam Perjanjian Lama

Waktu bangsa Israel keluar dari Mesir, yang dihitung adalah kaum pria usia wajib militer. Padahal Musa menuntut kepada Firaun supaya mereka diizinkan keluar berbakti kepada Tuhan bersama keluarga mereka, anak dan istri mereka. Hal itu menyatakan bahwa kaum perempuan jarang disebutkan dalam “hitungan”. Kaum perempuan memegang peranan di latar saja. Peran utama mereka adalah di rumah, kecuali beberapa orang perempuan yang disebutkan dalam Perjanjian Lama, yang berkarya sebagai nabiah, Ibu Bangsa, pejuang di medan perang dan bahkan juga memerintah. Peran di dalam agama juga tidak kurang dilakukan kaum perempuan. Beberapa dari antara mereka yang disebut “pemimpin bangsa” seperti Miriam, Debora adalah nabiah selain anak-anak Filipus (putri-putrinya), istri Yesaya. Dalam berbagai peristiwa, peran perempuan sangat penting dan mengubah jalannya sejarah. Dalam hal itu, disebutkan Ester (di negeri asing), Rut (dan negeri asing) menjadi leluhur Mesias dan Daud raja terbesar di Israel, Naomi (ibu teladan yang tahan melewati derita dengan sukses).[3]

1.2.         Konteks Kitab Ester: Politik dan Pemerintahannya

Latar belakang cerita kitab Ester diperkirakan terjadi pada masa setelah terjadinya kepulangan gelombang ketiga, yaitu sekitar tahun 486-465 sM, yakni pada masa pemerintahan Xerxes I atau dalam Kitab Ester dikenal dengan nama Ahashweros. Tempat kejadian di dalam Kitab Suci Ibrani , adalah di antara pasal 6 dan 7 kitab Esra, sehingga kisah Ester ini diperkirakan terjadi sebelum kisah Esra 7-10 dan Nehemia . Dengan membaca Esra 4 akan terlihat, bahwa meskipun bangsa Yahudi telah pulang ke tanah air Palestina, namun mereka masih menghadapi tantangan dan perlawanan dalam membangun kembali Bait Suci. Perlawanan yang harus mereka hadapi, bukan hanya sekadar perlawanan lokal di Palestina, melainkan telah menjadi perlawanan global, yaitu perlawanan dari bangsa-bangsa lain terhadap bangsa Yahudi di tanah air Palestina. Hal ini terjadi oleh karena kecemburuan sosial terhadap bangsa Yahudi di perantauan, yang biasanya menjadi orang-orang yang lebih berhasil di bidang ekonomi maupun politik, jika dibandingkan dengan bangsa lain. Dengan latar belakang utama dan dalam konteks inilah, kisah Ester dibangun.[4]

1.3.         Profil tentang Ester

Ester seorang perempuan muda yang cantik wajahnya maupun perangainya, telah memenangkan hati keluarga istana. Ia bukan orang Persia, melainkan seorang anak Yahudi yang sudah yatim piatu yang dibesarkan oleh saudaranya Moderkhai.[5] Kelebihan Ester selain kelebihan fisik, ia mampu mengatasi undang-undang Persia dan Media. Kecantikan dan kekuasaan tidak membuat Ester menjadi sombong, angkuh terhadap orang yang ada di sekelilingnya. Justru Tuhan menggunakan kecantikan dan keindahannya itu sebagai sarana untuk membawa ia ke istana dan menunjukkan rencana Tuhan baginya dan bangsanya. Anak yatim piatu ini digambarkan Allah, sekalipun sebagai orang yang paling lemah “mungkin untuk saat ini” (4:14), menjadi contoh bahwa kekuatan yang sesungguhnya hanyalah berasal dari Tuhan.[6] Ester yang masih muda, yang selalu memperlihatkan sikap yang lembut, sekarang terbukti memiliki unsur-unsur kepahlawanan. Ia mau menyerahkan hidupnya bagi rencana Allah.

1.4.         Permasalahan dalam Kitab Ester

Dalam kitab ini terjadi perseteruan antara Haman, Ester dan juga Mordekhai paman Ester. Haman merupakan tokoh yang hendak melakukan pembantaian dan ingin menghancurkan orang-orang Yahudi. Garis besarnya adalah dalam lima pasal pertama adalah cerita dalam mempersiapkan situasi perseteruan yang membawa Ester ke dalam istana dan memperlihatkan permusuhan antara Mordekhai dan Haman yang meningkat dengan usaha Haman untuk memusnahkan orang-orang Yahudi. Dalam pasal 6, Ester mengadakan perjamuan makan, dan di sana Ester menyingkapkan rencana-rencana jahat Haman. Sehingga pada akhirnya Haman dijatuhi hukuman mati dan rencananya untuk memusnahkan bangsa Yahudi dibalik menjadi kematian Haman sendiri. Mordekhai dan Ester memperoleh kedudukan tinggi dan berkenan bagi raja, dan orang-orang Yahudi diselamatkan dari musuh-musuh mereka.[7]

1.5.         Peran Ester dalam Menyelamatkan Bangsa Israel di Tanah Asing

Ester bertindak sebagai penyelamat untuk menyelamatkan umat Israel dari ancaman Haman, seorang pemuka bangsa Persia dan Media. Sebagai permaisuri Raja Ahasyweros, Ester tidak memakai kesempatan baik dalam hidupnya untuk kepentingan dan kesenangan dirinya sendiri. Ester turut prihatin atas kehidupan umat Israel yang tengan menghadapi ancaman Haman. Ester bertindak menolong umat Israel dengan jalan memberi tahu suaminya bahwa umat Israel berada dalam ancaman kebinasaan karena perbuatan Haman. Untuk melaksanakan rencana menyelamatakan umat dari ancaman bahaya, Ester bekerja sama dengan Mordekhai. Kepedulian Ester dan rasa solider terhdapa umat Israel telah menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan mulia demi keselamatan orang banyak, yaitu keselamatan bangsanya. Ia mengingatkan suaminya supaya bertindak adil dan memperhatikan keselamatan banyak orang. Ester juga memberi tahu suaminya tentang bahaya yang akan nmenimpa umat Israel, yaitu penganiayaan dan pembunuhan.[8]

Ia tidak hanya sekedar permaisuri raja tidak tinggal diam ketika melihat penderitaan yang sedang dialami umat Israel. Ia juga tidak sekedar melaporkan apa yang diketahuinya kepada suaminya tanpa berbuat sesuatu, tetapi Ester mau bertindak. Ia memakai strategi untuk menyelamatkan umat Israel. Ia dapat menjadi mitra laki-laki dan bekerja sama dengan Moderkhai untuk menyusun dan merencanakan suatu tindakan agar dapat menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi. Ia telah memakai hidupnya, kedudukan serta talentanya untuk kepentingan dan keselamatan orang lain. Ester sadar bahwa dirinya dipilih menjadi permaisuri Raja Ahasyweros bukan secara kebetulan dan bukan tanpa tujuan. Menjadi permaisuri raja adalah bagian dari rencana Allah atas hidupnya. Allah hendak memakai dirinya untuk menyelamatkan bangsa Israel dari ancaman kehancuran. Hanya dalam bimbingan Allah sajalah semua perkara yang dilakukan Ester dapat berjalan dengan baik.[9]

1.6.         Rahasia Keberhasilan Ester Menyelamatkan Bangsanya

1.6.1.  Ia Mangandalkan Tuhan

Dalam Ester 4:3 memaparkan bahwa bangsa Yahudi melakukan puasa karena mendengar titah dan undang-undang raja berisi perintah agar dupunahkan, dibunuh dan dibinasakan semua orang Yahudi dari yang muda sampai yang tua, bahkan yang anak-anak dan perempuan-perempuan.[10] Ia secara terang-terangan menyatakan asal-usulnya dengan mempersatukan diri dengan bangsanya. Ajakannya untuk berpuasa adalah ajakan untuk berdoa. Ia menginsafi bahwaia seorang perempuan yang tidak berdaya , bahwa ia tidak dapat menawarkan pertolongan apapun. Pertolongan dapat datang hanya dari Tuhan, Allah Israel semata-mata. Oleh karena itu ia bermaksud menghadap takhta Allah di surga dengan doa selama tiga hari tiga malam. Ester menyadari benar akan perlunya pimpinan Allah akan hal itu. Ia ingin mendapat kepastian bahwa tugas yang dituntut darinya itu benar-benar berasal dari Allah. Ia tahu bahwa Allah menyatakan diri-Nya dalam jawaban doa, dan ia memerlukan kebijaksanaan serta keberanian untuk bertindak secara tepat.[11] Bangsa Yahudi adalah bangsa yang melakukan puasa dengan menggunakan identitasnya sebagai umat Allah. Hal ini dikarenakan orang Yahudi memiliki identitas sebagai umat pilihan Allah. Secara otomatis puasa akan ditujukan kepada Allah yang sudah mengikat perjanjian dengan mereka.[12]

1.6.2.  Ia Peduli dengan Bangsanya dan Menghargai Raja

Moderkhai memegang sesuatu jabatan di istana, ia duduk menjaga pintu istana raja. Di sana ia mendengar maksud dua orang penjaga ambang istana hendak membunuh raja. Moderkhai menceritakan hal ini kepada Ester, yang menyampaikan kepada raja. Kedua pegawai itu Bigtan dan Teresy. Ia pergi ke istana dengan maksud untuk memberitahukan nya kepada Ester. Ia bermaksud untuk mempergunakan kedudukan Ester untuk keselamatan bangsa Israel. Ia menyuruh agar Ester menghadap sang raja dan Ester terkejut mendengar apa yang diperintahkan oleh Mordekhai kepadanya. Bahwasannya tidak boleh sembarangan orang menghadap sang raja termasuk sang ratu. Dan siapa yang melanggar perintah ini akan dihukum mati, kecuali raja mengaruniakan dia dengan mengunjuk tongkat kerajaan kepadanya.[13] Lalu ia meminta semua orang Yahudi di Susan termasuk dayang-dayang nya juga akan berpuasa baru setelah itu ia menghadap raja untuk meminta belas kasihan raja bagi orang Yahudi yang tinggal di Persia. Dalam hal ini sudah 30 hari Ester tidak pernah dipanggil oleh raja untuk mengahdap. Ester menyadari bahwa ketika ia pergi menghadap raja tanpa dipanggil, ia membutuhkan Allah. Ia mengharapkan Allah menolong dan memberi kelepasan dengan cara membuat raja mengulurkan tongkat emasnya. Itu sebabnya ia meminta Moderkahi dan umat Yahudi yaitu umat pilihan Allah dalam perantauan khususnya wilayah Persia berpuasa dan berdoa baginya.[14]

Ester menyadari bahwa dia tidak memiliki keberanian menghadapi Ahasyweros. Namun, dia tahu di mana dia harus meminta keberanian kepada Tuhan dalam doa dan puasa. Ester patuh pada aturan istana, dengan kepribadian yang penuh dengan jiwa sosial dan sederhana, memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya dan sangat peduli dengan keluarga. Kepribadian sederhana Ester memiliki integritas yang menampilkan profil yang bertanggung jawab atas berbagai kegiatan di tengah lingkungan kerajaan (Royal Palace). Ester selalu menunjukkan kredibilitas yang baikkepada orang-orang di puri Susan. Status ratu yang menggantikan posisi Wasti, ia selalu memahami kehidupan yang diterima sebagai bagian dari istana raja, Ester menyadari bahwa dia adalah salah satu di antara wanita menjadi pilihan raja.[15]

1.6.3.  Ester Memiliki Hikmat dalam Menghadapi Masalah.

Hikmat Ester terlihat saat ia menghadap raja Ahasyweros baik dalam pemilihan ratu (2:15,17,18), sehingga dengan kecantikan dan hikmatnya, ia terpilih menjadi ratu menggantikan Wasti. Dengan hikmat pula Ester menyusun strategi menghadap raja Ahasyweros dan memberitahukan masalah yang dihadapinya (5:1-8; 7:3-4). Dengan hikmat pula Ester menghadapi musuh orang Yahudi (5:12; 7:4-5). Menurut Baldwin, kemampuan Ester menutupi asal-usulnya merupakan salah satu tanda bahwa Ester punya hikmat. Hal ini termasuk dalam ketaatannya terhadap perintah dan nasehat Mordekhai dan strategi yang digunakannya untuk mengungkapkan masalah kepada raja Ahasyweros. Hikmat ini membuat Ester semakin terlihat bukan hanya cantik wajah, tetapi dengan hikmatnya, meningkatkan kecantikannya dari dalam dan kepandaian yang dimilikinya.[16]

1.6.4.  Peka Terhadap Masalah yang Terjadi

Ia tidak mementingkan diri sendiri dan berani berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya (4:4-5,16). Ketika Ester mendapat informasi tentang apa yang dilakukan Mordekhai atas rencana Haman (4:1-3), Ester tidak tinggal diam dan merasa tenang saja di dalam istana, tetapi hatinya menjadi sangat risau dan mencoba menghibur Mordekhai dengan mengirimkan pakaian penggantikain kabung (4:4). Hati yang gelisah ini menandakan kepekaannya terhadap masalah yang terjadi. Hati yang peka ini membuatnyabersungguh-sungguh, karena masalah yang terjadi juga menjadi masalah Ester, meskipun ia berada aman dan nyaman di istana raja. Bagi orang Ibrani, hati mencakup seluruh pribadi manusia, termasuk pikiran, perasaan dan kehendak seseorang.[17] Tindakan yang dilakukan dengan hati, adalah proses keterlibatan seluruh hidup seseorang yang menginginkan terjadinya perubahan yang baik orang lain dan diri sendiri melalui tindakan yang dilakukan. Dan inilah yang dilakukan oleh Ester, sehingga Ester tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi justru semakin tergerak dan berani berjuang menghadapi masalah meskipun harus mempertaruhkan nyawanya.

1.7.         Kesimpulan

Ester adalah seorang permaisuri dalam kerajaan Persia. Ia berasal dari bangsa Yahudi yang dibuang ke tanah Babel. Dari Cerita Ester kita dapat mempelajari bahwa Allah mampu memakai siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, meski kita sebagai orang percaya hidup sebagai pendatang di tengah-tengah negeri asing. Belajar dari Ester, meski ia memiliki kekuasaan, kenikmatan sebab ia diangkat menjadi permaisuri raja, ia tetap memperhatikan kondisi bangsanya. Sebagai penguasa, ia tidak tutup mata dan tidak tutup telingan terhadap persoalan dan penderitaan rakyatnya. Ia tidak melupakan sesamanya dan tidak mengedepankan kepentingan dirinya sendiri. Ia adalah pribadi yang tidak lupa daratan. Selain itu Ester sebagai pemimpin yang menyelamatkan bangsanya memiliiki beberapa rahasia kesuksesan, yaitu: ia mengandalkan Tuhan, ia peduli terhadap bangsanya dan mengerti aturan serta mengargai raja, ia juga memiliki hikmat serta peka terhadap permasalahan.

1.8.         Daftar Pustaka

Nadeak, Wilson, Perempuan-perempuan Pemberani. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2005.

Sindoro, Elizabeth dan Santoso, Agus, Pertolongan di Balik Layar: Tuhan yang Tersembunyi pada Kitab Ester. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020.

Karsen, Gien, Ia Dinamai Perempuan. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1974.

E. Hill, Andrew dan H. Walton, John, Survei Perjanjian Lama Malang: Gandum Mas, 1996.

Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Alkitab. Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002.

Baker, F.L. Sejarah Kerajaan Allah 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.

Santoso, Agus, Akan ada Pertolongan dan Kelepasan: Tafsir Kitab Ester. Bandung: Bina Media Informasi, 2011.

Baldwin, Joyce G. Tyndale Old Testament Commerntaries: Esther. Leicester: Inter-Varsity Press, 1984.

Hendricks, Howard, Teaching to Change Lives. Oregon: Multnomah Press, 1987.

Lerrick, Martha, “Nuansa Teologis dalam Kitab Ester” dalam Jurnal Academia, 2015, 4.

Hartono, Tri, “Membaca Ulang Kisah Ester dalam Bingkai Kepemimpinan Perempuan Kristen di Era Postmodern”, dalam Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol.2, N0.1, 1 Juli 2022, 34.



[1] Makalah disusun oleh: David Lubis dan Ruth Tambunan

[2] Wilson Nadeak, Perempuan-perempuan Pemberani (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2005), 8-9.

[3] Wilson Nadeak, Perempuan-perempuan Pemberani, 9-11.

[4] Elizabeth Sindoro dan Agus Santoso, Pertolongan di Balik Layar: Tuhan yang Tersembunyi pada Kitab Ester (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020), 16-17.

[5] Gien Karsen, Ia Dinamai Perempuan (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1974), 149.

[6] Wilson Nadeak, Perempuan-perempuan Pemberani, 101-102.

[7] Andrew E. Hill dan John H. Walton, Survei Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 1996), 392-393.

[8] Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Alkitab (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002), 37.

[9] Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Alkitab, 37.

[10] Martha Lerrick “Nuansa Teologis dalam Kitab Ester” dalam Jurnal Academia, 2015, 4.

[11] Gien Karsen, Ia Dinamai Perempuan, 152.

[12] Martha Lerrick “Nuansa Teologis dalam Kitab Ester” dalam Jurnal Academia, 2015, 9-10.

[13] F.L. Baker, Sejarah Kerajaan Allah 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), 726.

[14] Agus Santoso, Akan ada Pertolongan dan Kelepasan: Tafsir Kitab Ester (Bandung: Bina Media Informasi, 2011), 103-104.

[15] Tri Hartono “Membaca Ulang Kisah Ester dalam Bingkai Kepemimpinan Perempuan Kristen di Era Postmodern”, dalam Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol.2, N0.1, 1 Juli 2022, 34.

[16] Joyce G. Baldwin, Tyndale Old Testament Commerntaries: Esther (Leicester: Inter-Varsity Press, 1984), 67.

[17] Howard Hendricks, Teaching to Change Lives (Oregon: Multnomah Press, 1987), 81.

PENYAKIT-PENYAKIT JASMANI DAN PENYAKIT MENTAL (MENTAL ILLNESS) DAN UPAYA PENYEMBUHANNYA MENURUT PERJANJIAN LAMA

PENYAKIT-PENYAKIT JASMANI DAN PENYAKIT MENTAL (MENTAL ILLNESS) DAN UPAYA PENYEMBUHANNYA MENURUT PERJANJIAN LAMA

 


Penyakit-penyakit Jasmani dan Penyakit Mental (Mental Illness) dan Upaya Penyembuhannya Menurut Perjanjian Lama

I.                  Latar Belakang Masalah

Kehidupan manusia memang penuh dengan lika-liku dan permasalahan. Sebagai manusia yang hidup di tengah dunia ini, tentu saja kita tidak bisa lari dari segenap permasalahan yang ada. Salah satu permasalahan yang pasti dihadapi oleh manusia adalah sakit-penyakit. Penyakit tidak mengenal usia dan jenis kelamin. Penyakit bisa menyerang siapa saja meskipun itu adalah anak-anak, remaja, dewasa, tua, laki-laki dan perempuan. Penyakit sudah ada sejak zaman dahulu. Penyakit bukan baru-baru ada pada masa kini, melainkan hanya mengalami perkembangan dan variasi. Penyakit bisa saja disebabkan oleh kecelakaan, kondisi lingkungan, pola hidup yang kurang sehat, dan imun tubuh yang lemah.

Dalam Alkitab dijelaskan bahwa Iblis merupakan sumber sakit-penyakit. Orang yang terikat dengan berbagai praktik kekuasaan kegelapan atau okultisme (1 Kor. 10:19-22; 11:27-30; Why. 2:20-24; Pkh. 7:17; Mat. 15:15-18; Mrk. 9:17-18; 1 Sam. 16:14-16) sangat mungkin mengalami sakit penyakit. Selain juga sering sekali dalam konsep Perjanjian Lama, penyakit diidentikkan sebagai hukuman Tuhan karena dosa.[1] Jika kita perhadapkan dengan situasi sekarang, yakni pandemi COVID-19, maka kita sedang mengalami tidak hanya penyakit fisik saja, tetapi penyakit psikis juga, seperti stress, depresi, dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah, apakah penyakit ini dapat dipandang sebagai upah dosa manusia? Ataukah ini hanya penyakit sebagai teguran Allah? Selain itu juga kita harus mempertanyakan sebenarnya bagaimana Allah bertindak sebagai pemelihara umat-Nya di tengah-tengah sakit penyakit yang ada di tengah-tengah dunia ini? Bagaimana Perjanjian Lama memberikan jawaban akan ini? Pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai penyakit fisik dan penyakit mental dalam Perjanjian Lama serta upaya penyembuhannya.

II.               Pembahasan

2.1.         Penyakit dalam Perjanjian Lama

Dalam runtutan cerita Perjanjian Lama, antara Allah dan bangsa Israel serta cerita dengan bangsa-bangsa lain, kita akan menemukan konsep berkat dan hukuman. Baik itu kepada bangsa-bangsa asing, maupun kepada bangsa Israel yang adalah bangsa pilihan Allah itu sendiri. Salah satu wujud hukuman itu adalah sakit penyakit karena memang dalam konsep Perjanjian Lama, jika kita hidup dalam ketaatan, maka kita akan menjadi orang yang diberkati dan ketika kita hidup di luar kehendak Allah, maka kita akan mendapatkan hukuman. Namun apakah benar demikian?

2.1.1. Kajian Etimologi Penyakit

Salah satu akar kata yang jarang dipakai dalam bahasa Ibrani untuk menjelaskan penyakit adalah חלא (hl’) yang berarti adalah jatuh sakit. Kata תַּחֲלֻאִים (tahalu’îm) merupakan terminologi umum yang digunakan untuk menjelaskan penyakit (2 Taw 21:19; Mzm. 103:3; Jer. 14:18; 16:4). Kata hl’ berhubungan dengan kata hlh digunakan sebagai terminologi untuk jatuh sakit (2 Taw. 16:13) atau dibuat menderita. Dalam Yesaya 53:10 “hamba yang menderita” berarti mengalami penderitaan secara bergantian, namun itu adalah atas kehendak TUHAN untuk menghancurkan dan menyebabkan dia menderita. Kata tahalu’îm juga sangat langka. Dalam Kidung Agung 2:5 kata ini juga digunakan untuk menggambarkan penyakit cinta (pingsan karena cinta).[2] Kata hlh dapat diterjemahkan menjadi lemah, lelah, sakit, merasakan kesakitan, menyesal, membuat sakit, membuat lemah. Seperti yang tersirat dalam istilah bahasa Inggris, penyakit (disease) menandakan ketidakseimbangan kondisi tubuh yang tidak menguntungkan, baik fisik maupun mental, yang dapat terjadi dalam bentuk sederhana atau berbagai bentuk lainnya.[3] Sebagian besar "penyakit" tersebar luas yang dicatat dalam narasi pentateukhal ditafsirkan sebagai penghakiman ilahi, terutama berbagai tulah.[4]

2.1.2. Sumber dan Penyebab Penyakit dalam Perjanjian Lama

Di zaman kuno, penyakit umumnya dianggap berasal dari setan, dan banyak ritual yang dirancang oleh pendeta untuk memerangi aktivitas iblis dan roh jahat yang dianggap membawa penderitaan. Hanya saja, bagi orang Ibrani kuno, mereka menolak konsep bahwa setan sebagai sumber penyakit. Mereka menganut ajaran Musa yang menganggap bahwa penyakit dan kesehatan semata-mata berasal dari Allah yang benar (Ul. 32:39; Lih. Yes 45:7). Bagaimanapun, penyakit dan kesehatan berhubungan langsung dengan kutukan dan berkat Tuhan. Pada satu sisi, Allah mengancam penyakit sebagai hukuman atas pelanggaran perjanjian. Namun di sisi lain, Dia menjanjikan berkat dan kesehatan bagi orang Israel yang setia.[5]

Setidaknya dalam Alkitab ada empat penyebab penyakit:

1.   Dosa pribadi yang dilakukan oleh si penderita sakit. Hal ini terlihat dalam kehidupan Saul, Nebukadnezar, dan Herodes yang menjadi sakit bahkan meninggal karena dosa serta pelanggaran yang mereka lakukan. Dalam hal ini, dosa tersebut harus diakui dan dibereskan sehingga proses kesembuhan dapat terjadi baik secara langsung atau bertahap.

2.      Dosa universal (kejatuhan manusia dan dunia dalam dosa). Sejak kejatuhan manusia dalam dosa (Kej. 3), dosa telah masuk, mencemari, dan merusak kehidupan dalam dunia secara universal. Dalam hal ini, penyakit adalah awal atau proses menuju kematian.

3.       Demi Kemuliaan Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa orang buta sejak lahir dalam Yohanes 9:1-3; ibu yang sakit dalam Markus 5:25-34; maupun dari cerita Ayub dalam Perjanjian Lama.

4.        Keterikatan dengan kuasa kegelapan. Dalam Alkitab dijelaskan bahwa iblis merupakan sumber penyakit. Orang yang terikat dengan berbagai praktik kuasa kegelapan atau okultisme (Pkh. 7:17; 1 Sam 16:14-16 dan 18:10) sangat mungkin mengalami sakit penyakit. [6]

2.1.3. Dampak Penyakit dalam Perjanjian Lama

Salah satu dampak yang paling tampak dari penyakit yang ada dalam Perjanjian Lama adalah kematian. Penyakit yang diturunkan Tuhan sebagai hukuman tidak hanya memberikan kematian kepada manusia saja yang salah satu contohnya adalah tulah kesepuluh, kematian anak sulung orang-orang Mesir[7], bahkan kepada ternak. Dalam Keluaran 9:4 jelas sekali bahwa tulah penyakit sampar itu menyebabkan kematian kepada ternak-ternak orang Mesir.[8] Selain itu, dampak lainnya yang dapat kita lihat adalah bagi orang-orang yang menderita penyakit yang menular, tentu saja akan mendapatkan pengucilan dari masyarakat. Baik itu dianggap karena manusia berdosa ataupun karena tidak tahir. Oleh karenanya ketika seorang yang memiliki penyakit menular (seperti kusta) haruslah mendapatkan upacara pentahiran oleh seorang imam (Im. 14:2-20).[9] Selain mendapatkan pengucilan dari lingkungan sosial, orang yang sedang menderita penyakit dalam konteks Perjanjian Lama tidak diperkenankan masuk ke bait Allah untuk beribadah karena mereka tidak berada dalam kondisi yang kudus, melainkan dalam keadaan yang cacat dan tidak tahir (Lih. Im. 13:11). Orang-orang yang menderita penyakit kusta bahkan dikatakan sebagai najis.

2.1.4. Macam-Macam Penyakit dalam Perjanjian Lama

2.1.4.1.                  Penyakit Fisik

A.     Kusta

Orang dengan penyakit kusta dalam Bahasa Indonesia Masa Kini diterjemahkan menjadi orang yang berpenyakit kulit mengerikan. Kalau kita membaca dalam Imamat 13:1 dan seterusnya, memang kata Ibrani yang diterjemahkan menjadi “kusta” tidaklah mengandung arti yang persis sama dengan “kusta” yang kita kenal sekarang ini.[10] Penyakit yang kita kenal sekarang sebagai lepra dengan pemborokannya dan kelumpuhannya, tidaklah sama dengan penyakit kusta dalam Alkitab, yang lebih merupakan penyakit kulit yang mungkin disebabkan oleh gangguan emosi seperti pada Naaman (2 Raj. 5). Orang-orang kusta dalam Alkitab disiksa oleh bintil-bintil kehijau-hijauan atau kemerah-merahan (Im. 13:49). Penyakit ini adalah penyakit menular sehingga orang yang berpenyakit kusta ini dikucilkan dari masyarakat.[11]

B.     Demam

Dalam bahasa Ibrani, kata yang diterjemahkan sebagai demam adalah חַרְחֻר (harhur). Kata ini muncul dalam Ul. 28:22 (demam=harhur). Kata ini dapat diidentifikasi sebagai penyakit yang membuat panas seperti terbakar di dalam tubuh.[12]

C.     Lelehan

Istilah ini menunjukkan cairan tubuh yang keluar secara tidak normal, sebagai akibat dari penyakit tertentu. Versi-versi tertentu menambahkan keterangan bahwa cairan yang keluar itu akibat infeksi tertentu. Keterangan itu membedakan dengan jelas antara cairan tubuh dan air mani yang keluar dari tubuh seorang laki-laki.[13]

D.     Borok

Borok adalah penyakit yang tidak dapat sembuh yang akan ditimpakan kepada orang yang mengingkari perjanjian Allah (Ul. 28:27). Tulah ini menimpa orang Asdod dan sekitarnya, waktu mereka menawan tabut Allah (1 Sam. 5:6). Borok (Ibrani ‘efolim) menyerang tua dan muda pada alat kelaminnya. Gejala-gejala dan hal bahwa penyakit ini dihubungkan dengan tikus (1 Sam. 6:4-5), menopang pandangan bahwa penyakit ini adalah pes. Kuman basilicus pestis tersebar melalui kutu-kutu mayat tikus. Korban benjol-benjol tulah penyakit borok (Ibrani tekhorim) yang dipersembahkan kepda suatu dwa yang sudah marah, adalah selaras dengan kebisasaan-kebiasaan yang diketahui dari zaman kuno.[14]

E.     Kerak Kudis

Bermacam-macam penyakit kulit tersebar luas di negeri Timur. Biasanya sulit untuk menentukan jenis penyakit kulit yang disebut dalam Alkitab, juga membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. “Kerak kudis” misalnya berhubungan dengan empat kata Ibrani (1) Garav, Ul. 28:27 yang berarti kurap. Tercakup di antara kutukan-kutukan yang akan diderita oleh pelanggar ketaatan dan mungin artinya bukanlah kurap yang sesungguhnya tetapi suatu penyakit kronis yang membentuk kerak tebal di kepala dan sering menyebar di seluruh tubuh. Penyakit ini dianggap tidak dapat disembuhkan. (2) yallefet yang berarti kudis. Salah satu dari penyakit atau penderitaan yang menyebabkan orang tidak layak untuk jabatan imam (Im. 20). (3) sappakhat dalam Im. 13:2; 14:56 (4) Mispakhat dalam Im. 13:6-8 yang berarti penuh kudis.[15]

F.      Kerdil

Dalam bahasa Ibrani Daq yang berarti kurus atau kecil. Mengacu pada salah satu cacat yang menghalangi seseorang memangku jabatan imam (Im. 21:20). Arti sebenarnya kurang jelas dan yang dimaksud mungkin saja seorang yang kurus.[16] Namun dalam ilmu pengetahuan modern menyingkapkan bahwa kekerdilan disebabkan oleh gangguan kelenjar endokrin. Jika kelenjar edokrin berlebihan, maka akan menyebabkan orang menjadi raksasa.[17]

G.    Kebutaan dan kehilangan pendengaran

Kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi tuli dalam Alkitab adalah kata Chãrash. Kata ini dapat diartikan sebagai kondisi seseorang yang menekankan keheningan dengan disengaja yang dalam artian tuli yang dalam arti luas adalah ketidakmampuan untuk berkomunikasi karena ketidak mampuan fisik. (Im. 19:14). Biasanya juga disandingkan secara bersama-sama dengan bisu.[18] Dalam Alkitab, ada tiga jenis kebutaan yang disebutkan, yakni kebutaan oleh lalat yang diperburuk dengan debu, kotoran dan cahaya yang menyilaukan. Ada juga kebutaan karena usia lanjut dan juga kebutaan kronis. Dalam Perjanjian Lama, sering sekali kebutaan dianggap sebagai hukuman karena berbuat jahat (Kej. 19:11; 2 Raj. 6:18).[19]

H.    Apopleksia

Istilah ini mengacu pada pecahnya pembuluh darah atau tersumbatnya pembuluh nadi di otak yang menyebabkan stroke. Ketika Abigail menceritakan kepada Nabal tentang penghinaannya terhadap Daud dan akibat-akibatnya yang menakutkan, maka “terhentilah jantungnya (Nabal) dalam dada dan ia membatu”; dan 10 hari kemudian ia mati (1 Sam. 25:37-38). Gejala-gejala ini menunjukkan bahwa ia menderita serangan apopleksia. Nasib yang sama mungkin telah menimpa Uza, yang menyentuh tabut perjanjian (2 Sam. 6:7).[20]

2.1.4.2.                   Penyakit Mental

A.     Murung atau Hati yang Tertekan/Depresi

Penyakit ini dibicarakan juga dari segi awam, dan dalam dua peristiwa utama yang keadaannya dapat diterangkan menurut pengertian psikiatri modern. Saul (Lih.1 Sam) mendapatkan banyak karunia, tetapi dalam beberapa hal ia tidak seimbang, umpamanya ia sering dipengaruhi oleh pikiran orang lain; ia berulang-ulang diserang oleh keadaan hati yang gusar dan murung dan pada akhirnya ia menderita penyakit saraf yakni suka marah. Kemudian raja Nebukadnezar seorang yang yang gampang naik darah dan gampang membangkitkan penyakit jiwa kegilaannya. Ada penyimpangan pada nafsu makannya juga, dan penyakit ini disamakan dengan penyakit murung.[21]

2.2.         Penyembuhan dalam Perjanjian Lama

Untuk menyeimbangkan pembahasan dengan judul, sudah dijelaskan tadi mengenai penyakit dalam Perjanjian Lama, baik secara etimologis, sumbernya berasal, hingga pada macam-macam penyakit dalam Perjanjian Lama yang dibagi dalam dua bagian, yakni penyakit fisik dan mental. Sehingga pada bagian kali ini kita akan membahas mengenai konsep penyembuhan.

2.2.1. Kajian Etimologi Penyembuhan

Kita harus memahami bahwa karya penyelamatan Allah di dalam yesus Kristus itu adalah bersifat komprehensif, yang artinya menyangkut totalitas kehidupan manusia. Ini berarti manusia secara utuh, yakni jasmani dan rohaninya sebagaimana hakikat manusia seperti yang diberitakan oleh Alkitab (Lih. Kej. 2:7). Keduanya tidak terpisahkan dan saling memengaruhi. Dalam Perjanjian Baru, jelas bahwa ketika Yesus melakukan penyembuhan, Ia tidak hanya berfokus pada hal-hal rohaniah saja, tetapi juga menaruh perhatian pada pendertaan jasmaniah seperti penyakit. Sehingga sering sekali arti kata pembebasan atau keselamatan dalam Alkitab juga menunjuk pada pembebasan dari sakit penyakit atau ketakutan terhadap maut dan atau juga pembebasan spiritual. Dalam bahasa Yunani biasa dipakai kata therapeuein yang berarti penyembuhan dari penyakit maupun pembebasan dari dosa dan maut. Kata lainnya adalah sozein yang diartikan sebagai penyembuhan dari penyakit, pembebasan dari bahaya fisik, aupun pembebasan dari cengkraman dosa, kuasa kejahatan dan maut.[22]

Dalam Perjanjian Lama, kata sembuh adalah rif’ut yang artinya memperbaiki. Kata ini terdapat dalam Amsal 12:18 dan juga kata rapha yang artinya menyembuhkan atau mengobati yang terdapat dalam 2 Raja-raja 20:5.[23] Kata rapha juga biasanya diartikan atau dipakai untuk penyembuhan dan untuk tabib (Kej. 50:1-2).[24] Istilah rapha juga berarti usaha manusia untuk menyembuhkan yang berasal dari kata menjahit atau menambal, menyatukan luka-luka yang biasanya dijepit, diolesi dengan minyak lalu diikat (Yes. 1:6; Yer. 8:22).[25]

2.2.2. Penyembuhan dalam Perjanjian Lama

Ilmu pengobatan dalam Alkitab memang cocok dengan sifat zamannya dan diterangkan dengan istilah-istilah umum. Umpamanya luka bengkak diobati dengan minyak balsam, dll (Yes. 1:6; yer. 8:22; 51:8), dan “sebuah kue ara” dianjurkan Yesaya untuk mengobati barah Hizkia (Yes. 38:21). Ada juga usaha yang dilakukan Lea dan Rahel yang memakai buah dudaim untuk membangkitkan birahi dalam hal kemandulan (Kej. 30:14-16). Anggur juga dua kali disebutkan sebagai obat dan pendorong (Ams. 31:6). Dalam konteks Perjanjian Lama juga kita mengenal istilah tabib (Ibrani rafa) yang sama dengan dokter. Asa dihukum (2 Taw. 16:12) karena berobat kepada tabib. Tetapi tabib yang dimaksud di sini agaknya kafir, ber-roh sihir dan tidak bermakna. Kendati dalam upaya pengobatan digunakan alat-alat dan bahan herbal, namun kesembuhan dalam Perjanjian Lama umumnya dikaitkan dengan campur tangan Allah, upamanya kesembuhan Musa (Kel. 4:24-26). Penyembuhan Miryam dari penyakit Kusta (Bil. 12:1-15) dan Naaman melalui Elisa (2 Raj. 5:8-14), jelas adalah mujizat.[26]

Di zaman Yahudi, upaya-upaya penyembuhan kepada orang sakit masih menggunakan alat-alat atau bahan-bahan tradisional yang juga sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Bahan utama yang digunakan adalah minyak. Dalam konteks Yahudi kuno, pemeliharaan kesehatan dilakukan terutama di dalam rumah karena tidak ada rumah sakit. Meskipun memang banyak penyembuhan yang dikaitkan dengan kuil-kuil. Dalam konteks Perjanjian Lama, dalam kepercayaan Israel, mereka percaya bahwa Allah adalah yang memberikan kehidupan. Oleh karenanya mereka juga percaya bahwa Allah yang sama juga dapat mengusir penyakit manusia. Kitab suci memahami bahwa Allah yang meyembuhkan karena Ia adalah tabib yang sejati bagi manusia (Kel. 15:26). Dialah sumber penyembuhan itu (Yes. 38:2). Dia adalah Allah yang memberikan hidup dan Dia pulalah Allah yang menyembuhkan penyakit.[27]

III.           Analisa Penulis

Memang dalam konsep Perjanjian Lama, penyakit disebabkan oleh dosa. Karena upah atau dampak dari dosa dan pelanggaran akan hukum Allah wujudnya salah satunya adalah penyakit. Mungkin penyakit yang ada di dalam Alkitab tidaklah persis dengan penyakit yang kita kenal saat ini. Dan penyakit-penyakit pada masa kini tidak ada kita temukan dalam konteks Alkitab. Sebut saja seperti kanker, tumor, HIV/AIDS, dan masih banyak lagi secara jelas tidak ada di dalam Alkitab baik itu Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Tetapi bukan berarti ketiadaan penyakit itu menjadikan Alkitab sudah kuno. Kita harus menyadari beberapa hal dari segala penyakit yang ada di dalam Perjanjian Lama:

1.        Ketiadaan nama penyakit-penyakit kanker, tumor, dan lain sebagainya sesuai dengan konteks Alkitab pada masanya. Kemajuan ilmu medis, peralatan medis, dan ilmu pengetahuan tidaklah sepesat sekarang ini. Jadi tidak adil jika kita membandingkan ragam penyakit saat ini dengan penyakit pada masa lampau.

2.        Melalui pembahasan penyakit dalam perspektif PL, kita hendak melihat sisi Teologisnya dan bagaimana Allah berperan dalam kehidupan umat manusia. Melalui penyakit, kita tidak bermaksud mengatakan Allah itu adalah penghukum dan penuh amarah. Sekali-kali tidak. Tetapi melalui penyakit, Allah hendak menyatakan keadilan dan kekudusan umat-Nya sebagai umat pilihan Allah yang telah dikhususkan untuk Allah. Melalui penyakit juga kita ingin melihat bahwa Allah adalah Allah yang peduli, setia dan melindungi umat-Nya (Bnd. Sepuluh tulah). Melalui penyakit juga Allah hendak menyatakan kuasa dan keagungan-Nya bahwa hanya Dia-lah Allah yang hidup, yang maha kuasa, dan yang berkuasa atas kehidupan dan kematian manusia.

Dalam konteks dunia Perjanjian Lama, sering sekali dikaitkan penyakit dengan keberdosaan manusia. Ketika seseorang tertimpa musibah penyakit, maka dia sudah pasti melakukan dosa yang menyebabkan murka Allah. Sebenarnya pandangan ini tidak hanya saat konteks Perjanjian Lama saja. Pada masa kini juga masih lazim kita temukan pandangan yang demikian. Salah kah? Jawabannya tidak salah. Tetapi di satu sisi kurang tepat juga karena tidak semua penyakit adalah karena dosa. Bisa juga agar menjadi sarana Allah menyatakan kuasa-Nya demi kemuliaan Allah. Contohnya saja, Ayub (dalam Perjanjian Lama), dan orang buta (dalam Perjanjian Baru). Ketika Yesus ditanya siapakah yang berdosa sehingga menyebabkan dia buta? Yesus menjawab tidak ada yang berdosa, tetapi semata-mata itu hanya untuk kemuliaan Allah. Ayub juga mengalami penyakit tidak karena keberdosaannya, melainkan untuk menyatakan kuasa dan kemuliaan Allah. Sehingga melalui penyakit-penyakit ini, kita hendak dikuatkan untuk senantiasa berpengharapan kepada Allah, sang sumber kehidupan. Dokter, obat-obatan, ilmu dan peralatan medis, adalah sarana penyataan berkat Allah bagi manusia dalam hal kesembuhan. Kita harus imani, bagaimanapun hanya Allah-lah sumber kesembuhan.

IV.           Kesimpulan

Penyakit dalam Perjanjian Lama, bahasa Ibraninya dapat diterjemahkan menjadi lemah, lelah, sakit, merasakan kesakitan, menyesal, membuat sakit, membuat lemah. Seperti yang tersirat dalam istilah bahasa Inggris, penyakit (disease) menandakan ketidakseimbangan kondisi tubuh yang tidak menguntungkan, baik fisik maupun mental, yang dapat terjadi dalam bentuk sederhana atau berbagai bentuk lainnya. Dalam Perjanjian Lama, penyakit sering sekali dikaitkan sebagai dampak, ganjaran dari dosa-dosa manusia dan sebagai wujud murka Allah atas pelanggaran manusia. Tetapi bukan berarti bahwa setiap orang yang terkena penyakit adalah ganjaran dosanya. Meski memang ada penyakit yang diakibatkan oleh dosa manusia, seperti HIV/AIDS misalnya ada karena dosa seksual manusia yang sesuka hati dan berganti-ganti melakukan seks, namun tidak semua orang yang terkena HIV/AIDS karena dosa demikian. Bisa saja tertular karena transfusi darah, atau karena hal lainnya yang tidak berhubungan dengan dosa seksual.

Dalam konsep Perjanjian Lama, Allah adalah sumber kesembuhan. Hendaknyalah kita mengimani ini di dalam kehidupan kita agar itu menjadi kekuatan dan penghiburan bagi kita di tengah penyakit yang kita alami. Dokter, obat-obatan, peralatan medis yang canggih, adalah sarana yang dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan kuasa kesembuhan bagi umat-Nya. Tetaplah memiliki iman bahwa Allah sumber kesembuhan di tengah ragam penyakit.

V.               Daftar Pustaka

Alexander, T. Desmond, Baker, David W., Ed., Dictionary of the Old Testament:
            Pentateuch
. Illinois: InterVarsity Press, 2003.

Botterweck, G. Johannes, Ed., Theological Dictionary of the Old Testament Vol. III.
            Michigan: William B. Eerdmans Publishing Co., 1997.

Browning, W.R.F., Kamus Alkitab: Panduan Dasar ke Dalam Kitab-kitab, Tema,
            Tempat, Tokoh dan Istilah-istilah Alkitabiah
. Jakarta: BPK Gunung
            Mulia, 2009.

Contesse, Rene Peter, Ellington, John, Pedoman Penafsiran Alkitab: Kitab Imamat.
            Jakarta: Lembaga Alkitab Indoneisa dan Yayasan Kartidaya, 2020.

Douglas, J.D., Ed., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid-II: M-Z. Jakarta: YKBK-OMF,
            2010.

Douglas, J.D., Ed., Ensiklopedi Alktiab Masa Kini Jilid 1: A-L. Jakarta: YKBM/OMF,
            1992.

Hinson, David F., Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia,          2004.

Ismail, Andar, Ed., Mulai dari Musa dan Segala Nabi: Buku Perayaan Dr. Arie de
            Kuiper
. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Lambert, J.C., Healing dalam The International Standard Bible Encyclopedia Vol. II
            Clement-Heresh
, James Orr, Ed. Michigan: WM.B Eerdmans
            Publishing, 1952.

Osborn, Noel D., Hatton, Howard A., Pedoman Penafsiran Alkitab: KITAB
            KELUARAN
. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia dan Yayasan
            Kartidaya, 2020.

Packer, J. I., dkk, Ensiklopedi Fakta Alkitab: Bible Almanac 2. Malang: Gandum Mas,
            2014.

Reiling, J., Swellengrebel, J.L., Pedoman Penafsiran Alkitab: Injil Lukas. Jakarta:
            Lembaga Alkitab Indonesia dan Yayasan Kartidaya, 2020.

Scheunemann, Rainer, Tafsiran Surat Yakobus: Iman dan Perbuatan. Yogyakarta:
            Andi, 2013.

Sebatu, R.D. Alfons, Karunia Penyembuhan. Jakarta: Obor, 2012.

Stobe, H.J., Theological Lexicon of the Old Testament, Vol. III. Western: Mascuchusets
            Hendrikson Publisher, 1988.

Van Gemeren, Willem A., Ed., New International Dictionary of Old Testament Theology &
            Exegesis Vol. 2
. Cumbria: Paternoster Press, 1997.

 



[1] Rainer Scheunemann, Tafsiran Surat Yakobus: Iman dan Perbuatan (Yogyakarta: ANDI, 2013), 141.

[2] Willem A. Van Gemeren, Ed., New International Dictionary of Old Testament Theology & Exegesis Vol. 2 (Cumbria: Paternoster Press, 1997), 134.

[3] Willem A. Van Gemeren, Ed., New International Dictionary of Old Testament Theology & Exegesis Vol. 2, 140.

[4] T. Desmond Alexander&David W. Baker, Ed., Dictionary of The Old Testament: Pentateuch (Illinois: InterVarsity Press, 2003), 534.

[5] Willem A. Van Gemeren, Ed., New International Dictionary of Old Testament Theology & Exegesis Vol. 2, 141.

[6] Rainer Scheunemann, Tafsiran Surat Yakobus: Iman dan Perbuatan, 140-141.

[7] David F. Hinson, Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 68.

[8] Noel D. Osborn&Howard A. Hatton, Pedoman Penafsiran Alkitab: KITAB KELUARAN (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia dan Yayasan Kartidaya, 2020), 259.

[9] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab: Panduan Dasar ke Dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh dan Istilah-istilah Alkitabiah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 232.

[10] J. Reiling&J.L. Swellengrebel, Pedoman Penafsiran Alkitab: Injil Lukas (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia dan Yayasan Kartidaya, 2020), 131.

[11] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab: Panduan Dasar ke Dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh dan Istilah-istilah Alkitabiah, 232.

[12] Willem A. Van Gemeren, Ed., New International Dictionary of Old Testament Theology & Exegesis Vol. 2, 272.

[13] Rene Peter Contesse&John Ellington, Pedoman Penafsiran Alkitab: Kitab Imamat (Jakarta: Lembaga Alkitab Indoneisa dan Yayasan Kartidaya, 2020), 31.

[14] J.D. Douglas, Ed., Ensiklopedi Alktiab Masa Kini Jilid 1: A-L (Jakarta: YKBM/OMF, 1992), 197.

[15] J.D. Douglas, Ed., Ensiklopedi Alktiab Masa Kini Jilid 1: A-L, 550

[16] J.D. Douglas, Ed., Ensiklopedi Alktiab Masa Kini Jilid 1: A-L, 550.

[17] J. I. Packer, dkk, Ensiklopedi Fakta Alkitab: Bible Almanac 2 (Malang: Gandum Mas, 2014), 950.

[18] G. Johannes Botterweck, Ed., Theological Dictionary of The Old Testament Vol. III (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Co., 1997), 262.

[19] J. I. Packer, dkk, Ensiklopedi Fakta Alkitab: Bible Almanac 2, 948.

[20] J. I. Packer, dkk, Ensiklopedi Fakta Alkitab: Bible Almanac 2, 947.

[21] J.D. Douglas, Ed., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid-II: M-Z (Jakarta: YKBK-OMF, 2010), 368.

[22] Andar Ismail, Ed., Mulai dari Musa dan Segala Nabi: Buku Perayaan Dr. Arie de Kuiper (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 40.

[23] J.D. Douglas, Ed., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid-II: M-Z, 380.

[24] H.J. Stobe, Theological Lexicon of The Old Testament, Vol. III (Western: Mascuchusdts Hendrikson Publisher, 1988), 1255.

[25] J.C. Lambert, Healing dalam The International Standard Bible Encyclopedia Vol. II Clement-Heresh, James Orr, Ed. (Michigan: WM.B Eerdmans Publishing, 1952), 1349.

[26] J.D. Douglas, Ed., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid-II: M-Z, 370.

[27] R.D. Alfons Sebatu, Karunia Penyembuhan (Jakarta: Obor, 2012), 27.