Epistel Minggu 14.
Set Trinitatis (1 September 2024)
Ep: Matius 15:1-9
BERPEGANG PADA PERINTAH TUHAN
PENDAHULUAN
Konteks
perikop kali ini adalah pertentangan antara Yesus dengan para ahli Taurat dan
orang Farisi. Perdebatan mereka sangat jelas yaitu tentang tradisi membasuh
tangan sebelum makan, yang tampaknya menjadi tradisi lisan yang telah
turun-temurun dilakukan oleh nenek moyang bangsa Israel. Perdebatan terjadi
karena murid-murid Yesus tidak meneladani tradisi ini dimana mereka tidak
membasuh tangan terlebih dahulu sebelum makan. Tradisi yang dipertegas oleh
para ahli Taurat dan orang Farisi di sini adalah tradisi teharot. Tradisi ini adalah aturan yang mencakup tentang:
kebersihan makanan (jenis, tata cara penyembelihan, dan jauh dari kenajisan),
penggunaan alat makanan (kosher:
disiapkan berdasarkan aturan kelayakan Yahudi), pengolahan makanan (memisahkan
daging dan susu), dan kebersihan sebelum makan (membasuh tangan). Tradisi ini
sangat penuh pengawasan. Tujuannya adalah untuk menaati secara ketat tradisi teharot ini.
Adakah
yang salah dengan mengikuti tradisi ini? Tentu saja tidak. Menjaga kebersihan
makanan sangat dianjurkan. Lalu mengapa Yesus mendebat teguran orang Farisi dan
ahli Tarat? Alasannya adalah karena praktik tradisi ini yang telah menyimpang.
Mereka yang menjalankan tradisi ini secara ketat memandang mereka yang belum
sempurna melaksanakan ini adalah “orang-orang najis”. Makanan yang tidak diolah
berdasarkan hukum ini menjadi “makanan yang najis”. Alat-alat yang dipersiapkan
dengan tidak mengikuti tradisi ini juga berubah menjadi “alat-alat yang najis”.
Hukum Teharot membuat orang Farisi
dan ahli Taurat begitu gampang menghakimi dan memandang rendah sesama. Inilah
yang secara tegas ditentang oleh Yesus. Hukum yang baik jika dipraktikkan dengan
sewenang-wenang akan menghancurkan. Sayangnya, ahli taurat dan orang farisi
hanya “berkedok” dan bersembunyi di balik hukum untuk mengangkat harga diri
mereka dan demi kemuliaan nama mereka sendiri.
PENJELASAN NAS
Perikop kali
ini diberikan tema “Berpegang pada perintah Tuhan”. Melalui konteks ini, Yesus
membenturkan antara “hukum Allah” dan “hukum manusia”. Apa yang menjadi
perenungan bagi kita kali ini?
Pertama: Taat Hukum haruslah Tulus Hati. Yesus mengutip perkataan
nabi Yesaya untuk memberikan gambaran terhadap teguran ahli Taurat dan orang
farisi (ay.8-9; bnd. Yes. 29:13). Mereka tidak menjadikan firman Tuhan sebagai
aturan dalam penyembahan, ataupun kehendak-Nya sebagai alasan beribadah. Ketika
Yesus merujuk kitab Yesaya, ini mempertegas situasi perdebatan itu. Dalam
konteks Yesaya, bangsa itu beribadah dengan ketetapan yang disusun oleh nabi
palsu dan raja-raja yang melakukan penyembahan berhala. Hal ini diperparah
karena mereka menganggap ini lebih berharga daripada firman Tuhan sendiri.
Pantas saja Yesus langsung mengecam komentar mereka dengan memberikan contoh nyata
yaitu mengambil ajaran orang Farisi dan ahli Taurat tidak salah menelantarkan
orang tua jika karena persembahan. Dalam penjelasan-Nya, Yesus mengucapkan
tentang hukum Taurat ke-5 (ay.4; bnd. Kel.20:12; 21:17; Im.20:9; Ul.5:16). Akan
tetapi orang Yahudi mampu meniadakan kebenaran dengan berdalih pada kebenaran
lainnya. Hukum Taurat ke-5 adalah ajaran kebenaran. Persembahan pun juga adalah
ajaran kebenaran. Akan tetapi kebenaran dipakai untuk meniadakan kebenaran demi
kepentingan pribadi. Di sinilah letak kesalahan besar orang Farisi dan ahli
Taurat. Tidak ada yang salah dari menaati hukum. Esensi hukum pada dasarnya
adalah untuk mengatur, menata, mendisiplinkan. Akan tetapi, ketaatan terhadap
hukum haruslah dibarengi dengan ketulusan hati agar tidak menggunakan kebenaran
demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Ini sekaligus mengajak kita untuk
kembali memeriksa motivasi kita dalam menjalani ketaatan hidup terhadap hukum
secara tulus.
Kedua: Praktik selaras dengan Kebenaran pengajaran. Hukum yang
disalahgunakan dapat menimbulkan kekacauan dan ketidak-adilan. Ini yang terjadi
ketika Yesus mengangkat contoh dari ajaran para ahli Taurat dan orang Farisi
(ay.5-6). Hukum buatan mereka dibuat untuk membenarkan diri kalau-kalau terjadi
perselisihan dan permusuhan antara orangtua dan anak. Hukum ini ada unuk
membersihkan diri dari tuduhan “anak durhaka” karena tidak menghormati orangtua
dengan kebenaran hukum persembahan. Hukum buatan mereka inilah yang Yesus sebut
dengan “adat istiadat nenek moyang/perintah manusia” (ay. 3,9). Yesus hendak
menegaskan bahwa ketetapan firman Allah itu mutlak. Kebenaran yang satu tidak
menutupi kebenaran yang lain. Praktik untuk berpegang kepada perintah Allah
tidak menjadi topeng kepalsuan. Yesus memberikan kritik tajam kepada para
pendebat, sekaligus menjadi refleksi tajam juga bagi kita masa kini. Praktik
ketaatan terhadap perintah Allah harus dibarengi dengan pemahaman dan motivasi
yang benar yang didapatkan dari pengajaran yang benar pula.
REFLEKSI
Kebenaran bukan untuk ditawar-tawar. Jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak. Tujuan yang benar jika dilakukan dengan cara yang salah tetap saja salah. Itulah yang hendak ditegaskan Yesus atas hukum buatan ahli Taurat dan orang Farisi. Penjelasan perikop ini menekankan pentingnya bagi kita untuk tidak berkompromi dengan kebenaran dalam iman kita. Penting sekali dalam praktik “berpegang pada perintah Tuhan” harus diikuti dengan keteguhan hati dan kesetiaan. Panggilan kita melalui firman Tuhan kali ini cukup jelas. Berpegang pada perintah Tuhan berarti memastikan setiap tindakan kita, baik dalam peribadahan dan kehidupan sehari-hari haruslah berdasarkan ketulusan hati dan motivasi yang benar. Tuhan ingin agar setiap orang percaya membangun hubungan intim dengan-Nya, bukan hanya sebatas pengabdian lahiriah saja. Akhirnya, mari terus belajar dan bertumbuh dalam pengetahuan akan firman Tuhan, agar dapat berpegang teguh pada perintah-Nya dengan benar.