Duc In Altum

Klik Ikuti

Epistel Minggu 21. Set Trinitatis (20 Oktober 2024) Ep : Yosua 24:14-24  IBADAH YANG SEJATI

Epistel Minggu 21. Set Trinitatis (20 Oktober 2024) Ep : Yosua 24:14-24 IBADAH YANG SEJATI


Epistel Minggu 21. Set Trinitatis (20 Oktober 2024)

Ep       :           Yosua 24:14-24

IBADAH YANG SEJATI

PENDAHULUAN

Tema kita kali ini adalah “Ibadah yang Sejati”. Ibadah merupakan terjemahan dari kata Ibrani abodah. Akar katanya adalah abad atau ebed yang berarti budak. Ini menunjukkan suatu sikap ketaatan, tunduk, hormat, dan ketergantungan yang sungguh. Ibadah pada dasarnya adalah suatu perayaan kita kepada Allah sebagai yang dipuji dan disembah. Melalui perayaan itu, kita diajak untuk menundukkan diri pada setiap aturan dan kehendak Allah. Di dalamnya juga haruslah diberikan persembahan sebagai kurban ucapan syukur (lih. Kel.23:15 Ul. 16:16-17, 26:1-2). Dari sini kita menyimpulkan bahwa ibadah itu adalah sebuah keharusan karena kita mengikat diri untuk tunduk pada kehendak Allah. Dia menghendaki agar kita menguduskan hari sabath (bnd. Hukum Taurat ke-IV, lih. Kel. 20:8-11). Melalui ibadah, kita mengucap syukur kepada Allah yang memelihara, menyertai, melawat umat-Nya.

Menelisik dari latar belakangnya, Kitab Yosua menceritakan bagaimana bangsa Israel melakukan penaklukan terhadap tanah Kanaan di bawah kepemimpinan Yosua. Mereka pada akhirnya berhasil. Namun, keberhasilan bangsa itu diperhadapkan dengan tantangan penyembahan berhala. Inilah mengapa pada akhir hidupnya, pidato perpisahan Yosua mengingatkan dengan tegas dan sungguh-sungguh agar bangsa itu melakukan ibadah yang benar dan sejati.

PENJELASAN NAS

Dalam terang tema “Ibadah yang sejati”, mari kita merenungkan beberapa poin ini:

1.       Beribadahlah kepada Tuhan dengan Tulus dan Setia.

Yosua menegaskan bahwa bangsa Israel haruslah beribadah kepada TUHAN. Sebab Tuhan telah menggenapi janji-janji-Nya, memberkati dan melindungi mereka sejak Abraham hingga mereka menduduki tanah perjanjian. Perintah Tuhan melalui Yosua sangat tegas. Hanya Tuhan saja yang boleh disembah, jangan ada allah lain. Sebab Allah itu pencemburu. Dia akan menghukum bangsa itu bila menyembah berhala (ay.19). Ibadah menuntut kita untuk tunduk dan setia hanya kepada Tuhan saja. Sebab, tidak mungkin seseorang tunduk terhadap dua tuan (Mat. 6:24). Lagipula, orang yang mendua hati, tidak akan tenang hidupnya (Yak. 1:8). Ibadah haruslah “tulus ikhlas” (Ibr. Tamim). Artinya, kita harus membaktikan diri seutuhnya dan penuh integritas hanya kepada Tuhan. Tidak cukup hanya secara ritus, tetapi juga dalam praktik hidup. Ibadah itu juga harus dilakukan dengan “setia” (Ibr. Emet). Artinya, ibadah harus dilakukan dengan berkelanjutan, konsisten, dan pasti hanya kepada Tuhan. Pada konteks masa kini, berhala tidak lagi hanya dalam bentuk beribadah kepada allah lain. Bahkan, ketika kita lebih mencintai harta, jabatan, kehormatan lebih daripada mencintai Tuhan, kita “memberhala” kan itu dalam hati kita.

2.       Ibadah itu Keputusan dan Komitmen (ay.15, 19, 21, 22).

Yosua memastikan pilihan bangsa Israel berkali-kali. Yosua tampaknya meminta validasi secara langsung mengingat bangsa itu tegar tengkuk perilakunya (bnd. Kel. 32:9; Ul. 9:13). Yosua sangat takut bangsa itu jatuh ke dalam sinkritisme – yaitu campur baur agama dan kebudayaan – terhadap Kanaan, Amori, Moab, Amon (ay.15). Serentak bangsa itu memutuskan untuk berkomitmen beribadah kepada Tuhan yang benar (ay. 16, 21, 22, 24). Yosua telah terlebih dahulu memilih dan berkomitmen bahwa ia dan seisi rumahnya beribadah kepada Tuhan (ay. 15). Penegasan berulang yang dilakukan Yosua hendak mengingatkan kepada kita bahwa komitmen itu harus dibangun terus menerus, setiap hari. Tantangan hidup, pergumulan, kadang kala membuat kita menjadi lesu. Di sinilah konsistensi kita dibutuhkan. Benar bahwa Ibadah adalah keharusan. Sebab Allah sendiri yang mengundang kita beribadah kepada-Nya. Akan tetapi, ibadah juga adalah keputusan dan komitmen. Artinya, kita juga harus memberikan respon terhadap panggilan Tuhan itu. Senantiasalah bangun komitmen itu agar kita tetap setia dalam keputusan kita beribadah kepada Dia, Allah yang menyelamatkan kita.

3.       Ibadah itu Kesadaran (ay.16-18).

Bangsa Israel memberikan respon terhadap Yosua yang mempertanyakan ulang komitmen dan keputusan mereka. Bangsa itu memilih untuk menjauhkan diri dari penyembahan berhala. Mereka bahkan memberikan alasan atas keputusan itu. Sebab, Allah senantiasa menuntun mereka, melakukan tanda mujizat, dan melindungi mereka. Ini adalah tanda bahwa bangsa Israel dengan kesadaran penuh memutuskan pilihan mereka. Akan tetapi, mari kita perhatikan. Ungkapan bangsa Israel inilah yang harus menjadi kesadaran dan motivasi kita dalam beribadah. Ibadah yang benar haruslah didasari pada motivasi yang benar. Bahwa kita beribadah bukan semata-mata untuk “membujuk” Tuhan memberkati. Sebaliknya, kita beribadah sebab kita menyadari Allah senantiasa memberkati kita.

REFLEKSI/KESIMPULAN

Melalui firman Tuhan ini kita diajak untuk memahami “ibadah yang sejati”. Bahwa ibadah yang sejati itu membawa kita kepada sikap tunduk, taat, dan setia kepada kehendak-Nya. Bahwa ibadah sejati itu membuat kita semakin mencintai Tuhan dan tidak akan mendua hati. Untuk itu penting bagi kita membangun ulang komitmen secara terus-menerus kepada Tuhan. Pada akhirnya, Ibadah yang benar akan membuahkan transformasi diri sebab ibadah tidak hanya tentang ritus dan liturgi, melainkan teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari.


Epistel Minggu 20. Set Trinitatis (13 Oktober 2024) Ep.: Habakuk 2:1-4  ORANG BENAR AKAN HIDUP OLEH PERCAYANYA

Epistel Minggu 20. Set Trinitatis (13 Oktober 2024) Ep.: Habakuk 2:1-4 ORANG BENAR AKAN HIDUP OLEH PERCAYANYA

 

Epistel Minggu 20. Set Trinitatis (13 Oktober 2024)

Ep.         :               Habakuk 2:1-4

ORANG BENAR AKAN HIDUP OLEH PERCAYANYA

PENDAHULUAN

Tema kali ini menjadi satu informasi bagi kita bahwa orang percaya hidup karena imannya. Ini merupakan ungkapan popular dari kitab Habakuk yang dikutip 3 kali dalam Perjanjian Baru, yaitu Roma 1:17, Galatia 3:11, Ibrani 10:38. Setidaknya, kita dapat membagi tiga alur kitab ini. Pertama, Habakuk mengeluhkan kejahatan di dalam negerinya serta bertanya mengapa Allah tidak melakukan sesuatu menghentikan itu. Kedua, Allah menjawab bahwa Dia akan mengutus orang kasdim (Babel) untuk menghukum Israel atas dosa-dosanya. Ketiga, respon Habakuk yaitu ia memilih untuk tetap percaya kepada Tuhan. Imannya ini dinyatakan dengan menulis sebuah nyanyian pujian kepada Tuhan. Dari alur ini, kita dapat melihat bahwa tampaknya Habakuk berada di tengah-tengah situasi bangsa yang kacau balau. Ia menjelaskan bahwa hukum telah kehilangan kekuatannya sebab keadilan telah diputarbalikkan. Kekerasan, pertikaian, perdebatan marak terjadi. Ternyata, kekuasaan dan keadilan telah disalahgunakan di antara sesama bangsa sendiri. Kejahatan tidak pernah ditindak dan pelakunya tidak pernah diadili. Sebaliknya, orang benar akan disalahkan dan yang jahat akan dibenarkan. Kesukaran ini akhirnya turut menimpa orang-orang yang setia hidup dalam imannya. Hati Habakuk semakin hancur ketika Allah justru memilih jalan yang tidak sesuai harapannya. Allah memberi nubuatan kepada Habakuk bahwa Dia akan memilih bangsa Babel untuk menghukum bangsa Israel. Bertahan dalam suasana dan kondisi yang menderita memang tidak mudah bagi siapapun. Waktu terasa begitu lambat berjalan. Akan tetapi melalui seruan Habakuk, firman Tuhan kali ini hendak mengajak kita agar dengan sungguh-sungguh memusatkan penantian kita hanya kepada Allah. Habakuk mengajak kita untuk menjalani pergumulan itu bersama-sama dengan Allah. Caranya adalah dengan membawa semua itu ke dalam doa memohon pertolongan Allah bagi kita.

PENJELASAN NAS

Habakuk menyatakan orang benar akan hidup oleh percayanya (2:4) di tengah-tengah situasi yang begitu sulit baginya. Kita akan renungkan ada 3 alasan mengapa Habakuk menyatakan demikain:

Pertama, iman memberi kehidupan. Habakuk menggambarkan bahwa ada dua respons manusia terhadap firman Allah. “Membusungkan dada” berarti respons tinggi hati dan meremehkan firman Tuhan. Mereka tidak mau mengakui firman Tuhan, tidak mau bergantung kepada-Nya, dan menganggap janji Allah adalah sesuatu yang tidak berarti. Tetapi “orang benar” merespons firman Tuhan dengan penuh keyakinan akan kebenarannya. Mereka akan tetap dekat dengan Allah dan menghidupi panggilannya kendatipun di masa-masa sulit. Dalam konteks Habakuk, iman membuat orang percaya hidup dalam relasi “kesetiaan” dengan Tuhan. Artinya, manusia harus setia kepada janji Tuhan sebab Dia setia terhadap janji-Nya yang memberi kehidupan. Kehidupan yang dimaksud oleh Habakuk di sini memang erat kaitannya dengan perdamaian, kesejahteraan, dan keamanan bagi umat. Akan tetapi, pada akhirnya Perjanjian Baru memberikan makna yang jauh lebih luas. Kehidupan yang dimaksud bukan lagi hanya berbicara tentang jasmaniah tetapi juga spiritual. Bahwa di dalam Kristus, kita akan memperoleh keselamatan dan kehidupan kekal (Yoh. 3:16, 18). Sebab, iman yang merespons firman Tuhan dengan benar akan menghasilkan buah (Gal.5:22-23); membawa kita kepada pengudusan dan pembenaran (Ibr. 10:10; Rm. 3:28; Ef. 2:8); dan membawa kita kepada keselamatan (Mrk.16:16; Rm.1:17; 2 Tim. 3:15).

Kedua, iman membuahkan pengharapan. Ungkapan “Aku mau berdiri di tempat pengintaian … aku mau meninjau dan menantikan…” (ay. 1) adalah gambaran kesungguhan Habakuk menanti jawaban Tuhan atas doa dan permohonannya. Habakuk benar-benar dengan penuh kesabaran dan kesungguhan menantikan itu bagaikan seorang penjaga keamanan yang penuh fokus dan keseriusan. Penantiannya akhirnya dijawab oleh Tuhan dengan memberikan sebuah perintah agar menuliskan penglihatan itu pada loh (ay. 2). Meskipun penglihatan itu masih belum terjadi dan dinantikan, tetapi Allah menyatakan bahwa itu sungguh-sungguh akan datang (ay.3). Habakuk merespon dengan menyatakan orang benar akan hidup oleh percayanya (ay. 4). Menariknya kendatipun jawaban itu masih membutuhkan penantian, Habakuk meresponnya dengan pujian kepada Allah. Pujian yang berisi pengharapan yang pasti bahwa Allah akan menyelamatkan umat-Nya (3:12). Begitulah iman yang sejati. Iman selalu membuahkan pengharapan sebab iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr. 11:1). Inilah yang membuat Habakuk tidak menjadi goyah hatinya. Sebab di dalam iman, ada pengharapan yang meneguhkan bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Dia janjikan (bnd. Rm. 4:21).

Ketiga, iman meluruskan hati. Iman yang memberi kehidupan dan pengharapan akan selalu menuntun kita kepada kebenaran. Mereka yang menolak firman Allah tidak akan lurus hatinya. Sebaliknya, firman Tuhan akan meluruskan hati orang benar. Olehnya, mereka mau melakukan kehendak Allah. Artinya, firman Tuhan selalu membawa kita kepada pertobatan. Sebab firman Tuhan yang dituliskan itu bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran (bnd. 2 Tim. 3:16). Inilah yang dimaksud dengan iman meluruskan hati (membawa pertobatan). Kendatipun situasi sekitarnya tidak sesuai harapan dan pemahamannya, kadang kala rencana Tuhan terasa tidak adil menurut manusia, Habakuk tetap memiliki harapan bahwa pada akhirnya Allah menegakkan keadilan dan memulihkan umat-Nya Hati yang lurus akan selalu mendorong kita untuk senantiasa memuji dan memuliakan Tuhan (3:17-18).

REFLEKSI/KESIMPULAN

Firman Tuhan hari ini mengajak kita untuk meneguhkan dalam hati bahwa orang benar hidup oleh iman. Habakuk, melalui pengalaman dan pujian yang dicatat dalam kitabnya, mengajarkan bahwa iman adalah landasan yang kokoh di tengah-tengah kesulitan dan ketidakpastian. Dalam situasi di mana keadilan tampak terbalik dan kejahatan tidak dihukum, iman memberikan kehidupan dengan menjaga hubungan setia dengan Allah. Iman juga membuahkan pengharapan yang kokoh, bahkan ketika jawaban atas doa tampak jauh atau belum terlihat jelas. Selain itu, iman meluruskan hati, membimbing untuk melakukan kehendak Allah, dan memberikan keyakinan bahwa pada akhirnya Allah akan menegakkan keadilan dan menyelamatkan umat-Nya. Dengan demikian, Habakuk mengajak untuk hidup dalam ketaatan dan pengharapan, sambil tetap memuji dan memuliakan Tuhan dalam segala keadaan.

Epistel Minggu 19. Set Trinitatis (06 Oktober 2024) Ep: Keluaran 4:10-17  SIAP SEDIA MEMBERITAKAN FIRMAN TUHAN

Epistel Minggu 19. Set Trinitatis (06 Oktober 2024) Ep: Keluaran 4:10-17 SIAP SEDIA MEMBERITAKAN FIRMAN TUHAN


Epistel Minggu 19. Set Trinitatis (06 Oktober 2024)

Ep       :           Keluaran 4:10-17

SIAP SEDIA MEMBERITAKAN FIRMAN TUHAN

PENDAHULUAN

Perikop ini merupakan lanjutan dari pemanggilan dan pengutusan Allah kepada Musa untuk membawa bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Bangsa itu sedang berada dalam perbudakan. Orang-orang Israel akhirnya memohon kepada Allah untuk membebaskan mereka. Rintihan bangsa itu didengarkan oleh Tuhan. Dengan mengingat janji-Nya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah memperhatikan dan memedulikan mereka. Itulah mengapa Allah memilih dan mengutus Musa menghadap Firaun untuk membawa Israel keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan. Kalau kita melihat perjalanan hidup Musa, pemanggilan ini sebenarnya terasa sangat sulit. Pertama, Musa diangkat menjadi anak oleh putri Firaun dan dibesarkan dengan pendidikan dan kebiasaan istana kerajaan Mesir hingga ia dewasa (2:10). Kedua, setelah dewasa, Musa menjadi pelarian karena telah membunuh orang Mesir. Hatinya menjadi panas karena melihat orang Mesir memukul seorang dari saudara sebangsanya. Karena kejadian ini, Firaun berupaya membunuh Musa (2:11-13). Ketiga, saudara sebangsanya menolak keberadaan Musa (2:14). Itulah mengapa ketika pemanggilannya, Musa memiliki keraguan yang begitu besar, dan merasa tidak mampu melaksanakan tugas itu. Keraguan diri Musa ini tampak dari jawaban dan pertanyaan yang diberikannya kepada Allah.

PENJELASAN NAS

Perikop kali ini akan kita gali dan renungkan dalam terang tema “Siap Sedia Memberitakan Firman Tuhan”.

1.        Berat mulut dan Berat Lidah.

Musa sangat berat untuk mengemban tugas panggilan yang diberikan Allah kepadanya. Selain untuk menyampaikan firman Tuhan kepada bangsa Israel, ia juga harus siap berhadapan dengan Firaun. Musa diberikan tugas sebagai pemimpin bagi bangsa itu, sekaligus menjadi lawan bagi Firaun untuk membawa Israel keluar dari tanah Mesir. Dengan memahami kondisi ini, Musa sebenarnya ingin menolak. Penolakan Musa pertama-tama tampak dari keraguan dan ketakutan dirinya jikalau bangsa itu menolak dirinya. Tidak cukup sampai di sana, dalam perikop ini Musa mencoba menolak dengan memberitahukan kelemahan dirinya. Ia mengatakan “… aku tidak pandai berbicara,… aku berat mulut dan berat lidah” (ay. 10). Dalam bahasa Ibrani dan bahasa kuno lainnya, organ tubuh yang cacat sering sekali disebut dengan “berat” (Ibr. Kabed).  Dalam bahasa aslinya, dapat diterjemahkan bahwa Musa sebenarnya kesulitan dan terbata-bata untuk mengucapkan kata-kata dengan lancar.

Keadaan Musa ini menjadi gambaran bagi kita dalam memenuhi panggilan untuk memberitakan firman Tuhan. Situasi sulit, penolakan, keterbatasan dan kelemahan, menjadi tantangan tersendiri bagi kita. Itulah mengapa tema mengajak kita untuk bersiap sedia. Alkitab sudah membuktikan, setiap orang yang dipanggil Tuhan pasti memiliki kekurangannya tersendiri. Musa dengan keterbatasan fisik dan emosinya, Yosua dengan ketakutan dan kekuatirannya, Paulus dengan duri dalam dagingnya, dan masih banyak lagi. Menyadari adanya kelemahan dalam diri adalah sesuatu yang baik. Akan tetapi, jikalau terlalu fokus pada kelemahan itu, potensi dan kelebihan dalam diri ini bisa saja menjadi kita abaikan. Untuk itu, bersiap sedialah.

2.        Pergilah, Aku akan menyertai.

Musa sudah mengungkapkan kelemahan dirinya. Tetapi jawaban Allah memberikan kelegaan. Pertama-tama, Allah memberikan penegasan tentang kuasa dan otoritas-Nya kepada Musa. Bahwa Dia adalah pencipta manusia, sehingga Dia berkuasa penuh atas manusia. Allah hendak menegaskan bahwa keterbatasan fisik Musa bukanlah hal yang tak dapat Allah atasi. Secara spesifik Allah mengatakan “Oleh sebab itu, pergilah, Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engaku, apa yang harus kau katakan.” (ay. 12). Kita perhatikan, tugas dan panggilan yang Allah nyatakan kepada umat-Nya, akan selalu dibarengi dengan penyertaan-Nya. Jika kelemahan Musa ada pada lidahnya, maka Allah memberikan penyertaan dan pemulihan terhadapnya.

Poin yang hendak ditegaskan di sini, kesiapan dan kesediaan tidak akan pernah kita dapatkan jikalau hanya mengandalkan kemampuan dan kepintaran diri sendiri. Dengan menyadari kelemahan diri, kita hanya akan mampu bersiap sedia menunaikan tugas panggilan itu dengan kasih dan penyertaan Tuhan. Pada dasarnya, kita harus benar-benar menyadari bahwa “Tuhan yang utus, Tuhan yang urus”. Meminjam istilah “ula-ula na matolpang”, demikian lah kita sebagai perkakas yang tidak sempurna yang dipakai oleh Allah untuk menyatakan firman-Nya. Ketika Allah menyatakan kepada Musa “Bukankah di situ Harun, orang Lewi itu kakakmu? Aku tahu, bahwa ia pandai bicara…” (ay. 14), ini membuktikan bahwa Allah memahami apa yang kita butuhkan. Penyertaan Allah akan selalu memperlengkapi kita. Dia akan memberikan apa yang kita perlu, dan tidak akan pernah meninggalkan kita. Penyertaan Tuhan akan memberikan kekuatan bagi kita untuk melakukan kehendak-Nya.

REFLEKSI

Allah tidak hanya memanggil, tetapi juga menyertai dan memperlengkapi setiap orang yang dipanggil-Nya. Kita perlu mengakui keterbatasan kita, tetapi tidak boleh terfokus hanya pada kelemahan tersebut. Bersiaplah dengan kesediaan dan kesadaran bahwa Allah akan memberikan apa yang diperlukan untuk melaksanakan panggilan-Nya. Penyertaan-Nya memberi kekuatan bagi setiap langkah yang kita ambil dalam pelayanan-Nya. Dengan demikian, kita diajak untuk mempersiapkan hati dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, percaya bahwa dalam kelemahan kita, kuasa-Nya menjadi sempurna untuk melakukan kehendak-Nya. (DKHL)

Epistel Minggu 17. Set Trinitatis (22 September 2024) Ep : YEREMIA 11:18-20 MENDEKAT KEPADA ALLAH

Epistel Minggu 17. Set Trinitatis (22 September 2024) Ep : YEREMIA 11:18-20 MENDEKAT KEPADA ALLAH

 


Epistel Minggu 17. Set Trinitatis (22 September 2024)

Ep       :           YEREMIA 11:18-20

MENDEKAT KEPADA ALLAH

PENDAHULUAN

Nabi Yeremia adalah nabi yang sangat luarbiasa sekaligus nabi yang cukup memilukan kisah pelayanannya. Dapatkah kita bayangkan bagaimana jika kita berada diposisi dikucilkan dan disiksa bahkan oleh orang-orang yang satu kampung dengan kita? Apalagi alasan kita dikucilkan dan disiksa karena kita menyampaikan kebenaran. Situasi ini begitu sulit. Orang-orang yang seharusnya kita harapkan memberikan perlindungan, kenyamanan, ternyata justru mereka yang menghianati dengan merencanakan secara diam-diam pembunuhan atas diri kita. Itulah konteks yang dialami oleh Nabi Yeremia. Dia lahir di satu desa bernama Anathot. Desa di wilayah Benyamin. Sepanjang hidupnya dia mengalami penolakan bahkan oleh orang-orang sekampungnya. Dari ayat 21, kita mengetahui situasinya dengan jelas. Memang sering sekali para nabi dipaksa bungkam oleh orang-orang Israel agar tidak bernubuat. Barangkali kritik tajam Yeremia terhadap seluruh kehidupan agama dan sosial Yehuda yang menyebabkan suatu rencana untuk membunuhnya. Pasti ada alasan yang kuat mengapa warga sesama Yeremia mengambil tindakan keras seperti itu terhadapnya. Terkadang anggota keluarga akan berupaya membunuh kerabat yang telah mendatangkan malu pada keluarga. Sekampung Yeremia justru merencanakan pembunuhan kepada Yeremia karena sebagai nabi, Yeremia membongkar dosa-dosa penyembahan berhala mereka, sekaligus karena Yeremia tetap setia kepada Tuhan. Yeremia dianggap sebagai salah satu nabi paling tragis karena penderitaan pribadinya dan kesendirian yang dialaminya, tetapi juga dihormati karena kesetiaannya yang tak tergoyahkan kepada Allah. Yeremia bukan hanya seorang nabi yang mengajukan kritik sosial dan agama, tetapi juga mengalami penganiayaan dan penderitaan pribadi. Dia sering kali dikucilkan, dipenjarakan, dan dihadapkan pada ancaman kematian karena menyampaikan firman Allah (Yer. 20:1-6; 37:11-15; 38:1-13). Ancaman yang diberikan kepadanya juga tidak main-main. “Namanya tidak diingat lagi” merupakan suatu ancaman yang sangat menakutkan. Mengingat bahwa Yeremia tidak menikah, tentu saja kematiannya akan membuat namanya dilupakan sebab dia tidak memiliki garis keturunan yang melanjutkan namanya.

PENJELASAN NAS

Menghadapi tekanan yang begitu pelik, Yeremia memilih untuk berseru dan berserah kepada Tuhan. Dia memohon agar Tuhan menjadi hakim yang membalaskan kesalahan musuh-musuhnya. Yeremia menempatkan diri sebagai seorang yang “melihat” saja bagaimana Tuhan bekerja untuk menyelamatkan nyawanya (ay.20). Ada beberapa poin penting yang menjadi perenungan:

Pertama, Allah menyingkapkan kebenaran (ay.18). Yeremia menjadi representasi kita dalam menjalani kehidupan ini, secara khusus dalam hal relasi. Apa yang dilakukan oleh orang-orang Anathot kepada Yeremia dapat diumpamakan dengan “rambut sama hitam, hati siapa yang tahu”. Yeremia begitu tulus dan merasa tenang tehadap apa yang dia temui dan lalui. Wajar saja memang sikap Yeremia ini, sebab kampung halaman seharusnya menjadi tempat ternyaman. Ikatan batin, emosional, sosial, seharusnya sudah terbangun dengan sangat baik. Namun apa yang diharapkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Mari kita berfokus bukan pada penghianatan bangsa Anathot, melainkan berfokus pada bagaimana Allah melindungi Yeremia. Tuhan kita memang mengetahui maksud terselubung dari relung hati kita yang terdalam, sebab Dia adalah Allah yang maha tahu. Poin pertama ini mengajak kita untuk dapat senantiasa berlaku jujur dan menjauhkan hati dari pikiran dan rencana-rencana jahat terhadap sesama. Dengan menyadari bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, kita diajak untuk bersikap takut akan Tuhan, bahkan dalam hubungan, relasi, dan komunikasi kita kepada sesama, dan kepada Tuhan. Umpasa Batak mengatakan “dang dao pat ni gabus”. Demikian lah hidup yang penuh kepura-puraan tidak akan bertahan selamanya. Semua itu akan dinyatakan Tuhan pada waktunya. Maka marilah senantiasa menjaga hati agar hidup dalam kesetiaan, ketaatan, dan kejujuran, serta menjauhkan diri dari rencana dan tindakan kejahatan yang tidak berkenan di hadapan Tuhan.

Kedua, Allah membebaskan (ay.19). Yeremia begitu tulus dalam menyampaikan kebenaran firman Tuhan kepada orang-orang satu kampungnya. Memang cara Yeremia dalam menyampaikannya cukup keras dan lugas. Namun, itu semua sesuai dengan apa yang Allah sampaikan kepadanya. Pada akhirnya firman yang disampaikan itu bertujuan untuk menyadarkan bangsa Israel dari dosanya sehingga mereka dapat bertobat dan berbalik pada Tuhan. Kendatipun tujuan yang disampaikan itu sangat baik, bangsa Israel tetap saja bersikukuh dengan dosanya dan menghiraukan utusan Tuhan. Lebih parahnya, mereka justru membungkam nabi-nabi Tuhan agar tidak bernubuat. Jikalau para nabi tetap setia mengabarkan nubuatan itu, mereka akan disiksa dan bahkan sampai dibunuh. Tetapi pada akhirnya, Allah memberikan pertolongan dan membebaskan. Yeremia tidak ditinggalkan Allah sendiri. Sebaliknya, Allah-lah yang membebaskan dan menjaga dia. Poin ini hendak mengajak kita untuk senantiasa teguh dan setia di dalam berbuat kebenaran. Dunia boleh saja membungkam, tetapi Tuhan tidak akan pernah diam. Dengan percaya kepada Allah yang pasti menjaga kita, diharapkan agar kita semakin mendekatkan diri kepada-Nya saat permasalahan datang menerpa.

Ketiga, Allah hakim yang adil (ay.20). Yeremia begitu tegar dalam menghadapi ancaman, penolakan, penganiayaan, bahkan rencana pembunuhan yang ditujukan kepada dirinya. Boleh dikatakan Yeremia begitu berhikmat dalam menghadapi pergumulan. Ia memilih jalan untuk berdoa, memohon agar Allah berlaku adil baginya. Dengan memposisikan diri agar cukuplah “melihat” saja, Yeremia memahami betul bahwa membalaskan bukanlah hak dirinya, melainkan Tuhan yang memanggilnya. Poin ketiga ini meneguhkan kita agar benar-benar menyerahkan segala permasalahan kita kepada Tuhan, sebab Dia adalah hakim yang adil. Allah senantiasa memberikan kebaikan, bukan kejahatan. Rencana Allah pastilah rancangan yang membawa damai sejahtera. Sekaligus mengingatkan kepada kita, agar berhenti membalaskan dendam. Balas dendam tidak pernah menjadi solusi penyelesaian masalah. Sebaliknya, balas dendam selalu mendatangkan luka dan dendam yang baru. Balas dendam tidak hanya menyakiti orang yang kita benci, melainkan juga diri sendiri dan orang lainnya. Biarlah Tuhan yang maha adil menjadi hakim atas itu semua, dan kita tetap bekerja dengan setia untuk tetap hidup di jalan kebenaran-Nya.

REFLEKSI/KESIMPULAN

Mendekat Kepada Allah, menjadi tema yang merefleksikan kepada kita bahwa dalam setiap pergumulan, tema ini yang harus kita lakukan. Tema ini bersifat aplikatif, yang berarti harus nyata dalam tindakan dan kehidupan. Pola-pola dan cara-cara lama yang mengedepankan dendam, sakit hati, kekerasan, sudah sepantasnya kita tinggalkan. Mendekat kepada Allah harus memberikan dampak yang luar biasa bagi perubahan kita. Panggilan ini harus nyata dalam kejujuran, kesetiaan, pengampunan, iman yang sungguh, penyerahan diri yang sungguh, sebab Yeremia tahu, bahwa di dalam itu, hanya dekat dengan Allah sajalah hatinya tenang dan menang.
Epistel Minggu 16. Set Trinitatis (15 September 2024) Ep : LUKAS 9:22-27 TUHAN TELAH BERBUAT BAIK KEPADAMU

Epistel Minggu 16. Set Trinitatis (15 September 2024) Ep : LUKAS 9:22-27 TUHAN TELAH BERBUAT BAIK KEPADAMU

 

Epistel Minggu 16. Set Trinitatis (15 September 2024)

Ep       :           LUKAS 9:22-27

TUHAN TELAH BERBUAT BAIK KEPADAMU

PENDAHULUAN

Tema minggu 16 Setelah Trinitatis ini merupakan kelanjutan dari tema minggu lalu. Jikalau minggu lalu kita diajak untuk merenungkan bahwa “Yesus menjadikan segala-galanya baik”. Minggu ini kita diberikan suatu jawaban yang jelas yakni “Tuhan Telah Berbuat Baik Kepadamu”. Kelanjutan tema ini memberikan suatu dampak yang begitu luar biasa. Tema minggu ini hendak menegaskan bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan, dan memang Dia telah berbuat baik kepada kita. Perenungan hari ini membawa fokus iman percaya kita agar lebih teguh dan setia memegang janji Tuhan. Dia senantiasa bekerja dalam kehidupan kita, untuk mendatangkan kebaikan. Pada akhirnya, segala pekerjaan baik yang dijanjikan oleh Allah dalam kehidupan orang percaya dinyatakan secara luar biasa dalam diri Yesus Kristus, Sang Juruselamat, yang menjadi korban tebusan untuk kehidupan dan keselamatan kita.

PENJELASAN NAS

Melalui perikop Lukas 9:22-27 dengan terang tema Tuhan telah berbuat baik kepadamu. Ada 2 Poin penting yang harus kita renungkan:

1.        Bukti dari perbuatan kasih Tuhan: Pemberitahuan Penderitaan Kristus.

Inilah yang menjadi bukti pertama kasih Allah yang digambarkan dengan jelas pada ayat 22. Bahwa Anak Manusia harus menanggung hukuman dosa, penderitaan, penolakan, oleh para majelis agama (Sanhedrin), kemudian di bunuh dan pada akhirnya Anak Manusia menunjukkan kuasa melalui kebangkitan-Nya. Yesus mencoba memberitahukan apa yang akan terjadi pada diri-Nya, serta yang harus dilalui-Nya dalam masa hidup pelayan-Nya di tengah dunia. Dan pemberitahuan inilah yang menjadi bukti kedua kebaikan Allah.  Sebab pemberitahuan ini memiliki tiga makna mendalam:

a.      Yesus Kristus memberitahukan persyaratan dan mempersiapkan para murid. Bahwa mengikut Kristus berarti turut mengambil jalan yang sulit dan penuh tantangan, bahkan kematian. Mengikut Yesus berarti harus siap ditolak oleh dunia. Mengikut Yesus berarti harus rela menderita. Suatu tradisi yang menjadi standar pendidikan dalam dunia orang Yahudi cukup berbeda dengan pendidikan sekarang. Pada zaman itu, para murid hidup 24 jam bersama-sama dengan sang guru. Melakukan segalanya bersama, menghabiskan waktu bersama, senantiasa berdiskusi, belajar, dan memberi-mendengarkan nasihat. Tugas dan tanggungjawab utama seorang murid yang menjadi tolak ukur pada zaman itu adalah: murid harus patuh dan melayani guru. Dengan Yesus mengajarkan apa yang harus mereka lewati bersama sang guru, serta standar agar menjadi murid-Nya, Yesus hendak mempersiapkan para murid serta membuat mereka mengambil komitmen kesiapan untuk mengikuti jalan yang sulit dan penuh tantangan itu.

b.      Yesus hendak memberitahukan Kuasa-Nya. Mulanya, Yesus menyebut diri-Nya sebagai Anak Manusia. Gelar ini menjadi istimewa setelah Daniel memberikan gambaran tentang Anak Manusia sebagai penyelamat (Dan. 7:13). Yesus menggunakan istilah ini untuk memberitahukan bahwa Dia-lah Mesias yang harus menderita, mati, dan bangkit itu. Pemberitahuan Yesus tentang penderitaan-Nya juga terperinci. Penolakan oleh Sanhedrin (Mahkamah Agama), memikul salib, dibunuh dengan salib yang dipikul. Ini menunjukkan bahwa Yesus mengetahui masa depan dan apa yang akan terjadi pada-Nya. Pemberitahuan ini seharusnya memberikan ketenangan penuh bagi para murid sebab sedemikian berkuasalah Yesus yang mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan, sebagai bukti bahwa Dia adalah Tuhan.

c.       Yesus memberitahukan Tujuan dari pengorbanan-Nya. Yesus menggunakan tradisi pengajaran guru-murid ini dengan sangat baik. Yesus menjelaskan dalam ayat 23: "Barang siapa yang mau mengikut Aku". Yesus hendak memberitahukan posisinya sebagai seorang Guru, dan tugas seorang murid secara mutlak adalah untuk mengikuti sang guru. Guru selalu memberikan pengajaran dengan satu tujuan jelas. Seorang murid pada masa itu tidak akan mau mengikuti seorang guru yang tak jelas pengajaran dan tujuan dari pengajarannya. Yesus tegas mengatakan: mengikut Kristus adalah untuk memikul salib agar tidak kehilangan nyawa (memperoleh kehidupan kekal dalam karya penyelamatan). Inilah yang menjadi Tujuan kematian Anak Manusia, agar genaplah kasih Allah yang menyelamatkan melalui salib yang dipandang penuh hina dan cela itu.

2.        Respon kita terhadap Perbuatan Baik Allah yang Dinyatakan itu.

Allah telah mengatakan kebaikan-Nya melalui pengorbanan-Nya, teladan-Nya, serta ajaran-Nya yang mempersiapkan kita. Lalu, apa yang menjadi respon kita terhadap tema dan nas ini sebagai orang percaya? Ada 3 hal yang harus kita lakukan sebagai respon:

a.      Pertama: Menyangkal diri Memikul salib. Menyangkal diri berarti melupakan kepentingan sendiri dan mengarahkan kepentingan itu menjadi kepentingan Allah. Memikul salib berarti tindakan yang dilakukan oleh seorang yang hendak dihukum mati pada zaman itu. Dimulai dari tempat di mana dia dihukum hingga ke tempat penyaliban, dia akan diarak sembari memikul salibnya sendiri untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Menyangkal diri (mengesampingkan identitas duniawi dan fokus pada identitas sebagai pengikut Tuhan) dan memikul salib (mati terhadap ambisi duniawi dan mengarahkan pada keinginan Tuhan) setiap hari harus menjadi komitmen orang-orang yang mau mengikut Kristus.

b.  Kedua: Menyerahkan Hidup sepenuhnya untuk Allah. Sebagaimana Kristus yang mengorbankan nyawa-Nya demi kehidupan dan keselamatan kita, demikianlah yang secara tegas Yesus inginkan untuk mensyukuri dengan sungguh pengorbanan, kebaikan, dan cinta kasih yang telah dinyatakan-Nya itu. Yesus bukan hendak mengajarkan agar kita menjadi radikal yang rela kehilangan nyawa secara konyol. Ini menegaskan langkah para murid untuk meneladani Sang Guru Agung. Dia yang memikul salib sebagai lambang kehinaan, penolakan, dan olok-olok, menjadi representasi kita yang harus siap dihina, dicecar, ditolak, bahkan mati demi mempertahankan iman kita. Konteks ini mungkin tidak terlalu relevan bagi Kristen Indonesia. Tetapi di luar sana banyak orang yang memilih lebih baik mati daripada meninggalkan Kristus. Inilah tanda Murid yang sejati. Jangan hilangkan iman dan Tuhan demi kenyaman dan kenikmatan dunia semu.

c.    Ketiga: Mengimani dan Mengakui. Puncak dari memikul salib dan penyerahan diri penuh adalah dengan menyatakannya dengan lantang ke tengah-tengah dunia. Teringat dengan perkataan Martin Luther ketika melakukan reformasi: "Here i stand/di sini aku berdiri" yang menunjukkan keteguhan hati, keyakinan, tekad, dan komitmennya dalam melakukan reformasi kendati di bawah tekanan otoritas gereja pada saat itu. Demikianlah gambaran kita sebagai murid Kristus yang siap mengatakan "Here i stand" sebagai bukti konkrit keteguhan hati, keyakinan, tekad, dan komitmen sebagai murid Kristus kendatipun kita berada dalam tekanan kuasa-kuasa duniawi dan pergumulan. Di sini aku berdiri, berjalan bersama Kristus dalam jalan salib, guna menghidupi dan mensyukuri keselamatan yang telah diberikan kepadaku.

Epistel Minggu 14. Set Trinitatis (1 September 2024) Ep: Matius 15:1-9 BERPEGANG PADA PERINTAH TUHAN

Epistel Minggu 14. Set Trinitatis (1 September 2024) Ep: Matius 15:1-9 BERPEGANG PADA PERINTAH TUHAN

 

Epistel Minggu 14. Set Trinitatis (1 September 2024)

Ep:      Matius 15:1-9

BERPEGANG PADA PERINTAH TUHAN

PENDAHULUAN

            Konteks perikop kali ini adalah pertentangan antara Yesus dengan para ahli Taurat dan orang Farisi. Perdebatan mereka sangat jelas yaitu tentang tradisi membasuh tangan sebelum makan, yang tampaknya menjadi tradisi lisan yang telah turun-temurun dilakukan oleh nenek moyang bangsa Israel. Perdebatan terjadi karena murid-murid Yesus tidak meneladani tradisi ini dimana mereka tidak membasuh tangan terlebih dahulu sebelum makan. Tradisi yang dipertegas oleh para ahli Taurat dan orang Farisi di sini adalah tradisi teharot. Tradisi ini adalah aturan yang mencakup tentang: kebersihan makanan (jenis, tata cara penyembelihan, dan jauh dari kenajisan), penggunaan alat makanan (kosher: disiapkan berdasarkan aturan kelayakan Yahudi), pengolahan makanan (memisahkan daging dan susu), dan kebersihan sebelum makan (membasuh tangan). Tradisi ini sangat penuh pengawasan. Tujuannya adalah untuk menaati secara ketat tradisi teharot ini.

            Adakah yang salah dengan mengikuti tradisi ini? Tentu saja tidak. Menjaga kebersihan makanan sangat dianjurkan. Lalu mengapa Yesus mendebat teguran orang Farisi dan ahli Tarat? Alasannya adalah karena praktik tradisi ini yang telah menyimpang. Mereka yang menjalankan tradisi ini secara ketat memandang mereka yang belum sempurna melaksanakan ini adalah “orang-orang najis”. Makanan yang tidak diolah berdasarkan hukum ini menjadi “makanan yang najis”. Alat-alat yang dipersiapkan dengan tidak mengikuti tradisi ini juga berubah menjadi “alat-alat yang najis”. Hukum Teharot membuat orang Farisi dan ahli Taurat begitu gampang menghakimi dan memandang rendah sesama. Inilah yang secara tegas ditentang oleh Yesus. Hukum yang baik jika dipraktikkan dengan sewenang-wenang akan menghancurkan. Sayangnya, ahli taurat dan orang farisi hanya “berkedok” dan bersembunyi di balik hukum untuk mengangkat harga diri mereka dan demi kemuliaan nama mereka sendiri.

PENJELASAN NAS

Perikop kali ini diberikan tema “Berpegang pada perintah Tuhan”. Melalui konteks ini, Yesus membenturkan antara “hukum Allah” dan “hukum manusia”. Apa yang menjadi perenungan bagi kita kali ini?

Pertama: Taat Hukum haruslah Tulus Hati. Yesus mengutip perkataan nabi Yesaya untuk memberikan gambaran terhadap teguran ahli Taurat dan orang farisi (ay.8-9; bnd. Yes. 29:13). Mereka tidak menjadikan firman Tuhan sebagai aturan dalam penyembahan, ataupun kehendak-Nya sebagai alasan beribadah. Ketika Yesus merujuk kitab Yesaya, ini mempertegas situasi perdebatan itu. Dalam konteks Yesaya, bangsa itu beribadah dengan ketetapan yang disusun oleh nabi palsu dan raja-raja yang melakukan penyembahan berhala. Hal ini diperparah karena mereka menganggap ini lebih berharga daripada firman Tuhan sendiri. Pantas saja Yesus langsung mengecam komentar mereka dengan memberikan contoh nyata yaitu mengambil ajaran orang Farisi dan ahli Taurat tidak salah menelantarkan orang tua jika karena persembahan. Dalam penjelasan-Nya, Yesus mengucapkan tentang hukum Taurat ke-5 (ay.4; bnd. Kel.20:12; 21:17; Im.20:9; Ul.5:16). Akan tetapi orang Yahudi mampu meniadakan kebenaran dengan berdalih pada kebenaran lainnya. Hukum Taurat ke-5 adalah ajaran kebenaran. Persembahan pun juga adalah ajaran kebenaran. Akan tetapi kebenaran dipakai untuk meniadakan kebenaran demi kepentingan pribadi. Di sinilah letak kesalahan besar orang Farisi dan ahli Taurat. Tidak ada yang salah dari menaati hukum. Esensi hukum pada dasarnya adalah untuk mengatur, menata, mendisiplinkan. Akan tetapi, ketaatan terhadap hukum haruslah dibarengi dengan ketulusan hati agar tidak menggunakan kebenaran demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Ini sekaligus mengajak kita untuk kembali memeriksa motivasi kita dalam menjalani ketaatan hidup terhadap hukum secara tulus.

Kedua: Praktik selaras dengan Kebenaran pengajaran. Hukum yang disalahgunakan dapat menimbulkan kekacauan dan ketidak-adilan. Ini yang terjadi ketika Yesus mengangkat contoh dari ajaran para ahli Taurat dan orang Farisi (ay.5-6). Hukum buatan mereka dibuat untuk membenarkan diri kalau-kalau terjadi perselisihan dan permusuhan antara orangtua dan anak. Hukum ini ada unuk membersihkan diri dari tuduhan “anak durhaka” karena tidak menghormati orangtua dengan kebenaran hukum persembahan. Hukum buatan mereka inilah yang Yesus sebut dengan “adat istiadat nenek moyang/perintah manusia” (ay. 3,9). Yesus hendak menegaskan bahwa ketetapan firman Allah itu mutlak. Kebenaran yang satu tidak menutupi kebenaran yang lain. Praktik untuk berpegang kepada perintah Allah tidak menjadi topeng kepalsuan. Yesus memberikan kritik tajam kepada para pendebat, sekaligus menjadi refleksi tajam juga bagi kita masa kini. Praktik ketaatan terhadap perintah Allah harus dibarengi dengan pemahaman dan motivasi yang benar yang didapatkan dari pengajaran yang benar pula.

REFLEKSI

Kebenaran bukan untuk ditawar-tawar. Jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak. Tujuan yang benar jika dilakukan dengan cara yang salah tetap saja salah. Itulah yang hendak ditegaskan Yesus atas hukum buatan ahli Taurat dan orang Farisi. Penjelasan perikop ini menekankan pentingnya bagi kita untuk tidak berkompromi dengan kebenaran dalam iman kita. Penting sekali dalam praktik “berpegang pada perintah Tuhan” harus diikuti dengan keteguhan hati dan kesetiaan. Panggilan kita melalui firman Tuhan kali ini cukup jelas. Berpegang pada perintah Tuhan berarti memastikan setiap tindakan kita, baik dalam peribadahan dan kehidupan sehari-hari haruslah berdasarkan ketulusan hati dan motivasi yang benar. Tuhan ingin agar setiap orang percaya membangun hubungan intim dengan-Nya, bukan hanya sebatas pengabdian lahiriah saja. Akhirnya, mari terus belajar dan bertumbuh dalam pengetahuan akan firman Tuhan, agar dapat berpegang teguh pada perintah-Nya dengan benar.