Epistel Minggu 21. Set Trinitatis (20
Oktober 2024)
Ep : Yosua 24:14-24
IBADAH YANG SEJATI
PENDAHULUAN
Tema
kita kali ini adalah “Ibadah yang Sejati”. Ibadah merupakan terjemahan dari
kata Ibrani abodah. Akar katanya
adalah abad atau ebed yang berarti budak. Ini menunjukkan suatu sikap ketaatan,
tunduk, hormat, dan ketergantungan yang sungguh. Ibadah pada dasarnya adalah
suatu perayaan kita kepada Allah sebagai yang dipuji dan disembah. Melalui
perayaan itu, kita diajak untuk menundukkan diri pada setiap aturan dan
kehendak Allah. Di dalamnya juga haruslah
diberikan persembahan sebagai kurban ucapan syukur (lih. Kel.23:15 Ul.
16:16-17, 26:1-2). Dari sini kita menyimpulkan bahwa ibadah itu adalah sebuah
keharusan karena kita mengikat diri untuk tunduk pada kehendak Allah. Dia
menghendaki agar kita menguduskan hari sabath (bnd. Hukum Taurat ke-IV, lih.
Kel. 20:8-11). Melalui ibadah, kita mengucap syukur kepada Allah yang
memelihara, menyertai, melawat umat-Nya.
Menelisik
dari latar belakangnya, Kitab Yosua menceritakan bagaimana bangsa Israel
melakukan penaklukan terhadap tanah Kanaan di bawah kepemimpinan Yosua. Mereka
pada akhirnya berhasil. Namun, keberhasilan bangsa itu diperhadapkan dengan
tantangan penyembahan berhala. Inilah mengapa pada akhir hidupnya, pidato
perpisahan Yosua mengingatkan dengan tegas dan sungguh-sungguh agar bangsa itu
melakukan ibadah yang benar dan sejati.
PENJELASAN NAS
Dalam terang tema “Ibadah yang sejati”, mari kita
merenungkan beberapa poin ini:
1.
Beribadahlah
kepada Tuhan dengan Tulus dan Setia.
Yosua menegaskan bahwa bangsa Israel haruslah beribadah kepada TUHAN. Sebab Tuhan telah menggenapi janji-janji-Nya, memberkati dan melindungi mereka sejak Abraham hingga mereka menduduki tanah perjanjian. Perintah Tuhan melalui Yosua sangat tegas. Hanya Tuhan saja yang boleh disembah, jangan ada allah lain. Sebab Allah itu pencemburu. Dia akan menghukum bangsa itu bila menyembah berhala (ay.19). Ibadah menuntut kita untuk tunduk dan setia hanya kepada Tuhan saja. Sebab, tidak mungkin seseorang tunduk terhadap dua tuan (Mat. 6:24). Lagipula, orang yang mendua hati, tidak akan tenang hidupnya (Yak. 1:8). Ibadah haruslah “tulus ikhlas” (Ibr. Tamim). Artinya, kita harus membaktikan diri seutuhnya dan penuh integritas hanya kepada Tuhan. Tidak cukup hanya secara ritus, tetapi juga dalam praktik hidup. Ibadah itu juga harus dilakukan dengan “setia” (Ibr. Emet). Artinya, ibadah harus dilakukan dengan berkelanjutan, konsisten, dan pasti hanya kepada Tuhan. Pada konteks masa kini, berhala tidak lagi hanya dalam bentuk beribadah kepada allah lain. Bahkan, ketika kita lebih mencintai harta, jabatan, kehormatan lebih daripada mencintai Tuhan, kita “memberhala” kan itu dalam hati kita.
2.
Ibadah
itu Keputusan dan Komitmen (ay.15, 19, 21, 22).
Yosua memastikan pilihan bangsa Israel berkali-kali. Yosua tampaknya meminta validasi secara langsung mengingat bangsa itu tegar tengkuk perilakunya (bnd. Kel. 32:9; Ul. 9:13). Yosua sangat takut bangsa itu jatuh ke dalam sinkritisme – yaitu campur baur agama dan kebudayaan – terhadap Kanaan, Amori, Moab, Amon (ay.15). Serentak bangsa itu memutuskan untuk berkomitmen beribadah kepada Tuhan yang benar (ay. 16, 21, 22, 24). Yosua telah terlebih dahulu memilih dan berkomitmen bahwa ia dan seisi rumahnya beribadah kepada Tuhan (ay. 15). Penegasan berulang yang dilakukan Yosua hendak mengingatkan kepada kita bahwa komitmen itu harus dibangun terus menerus, setiap hari. Tantangan hidup, pergumulan, kadang kala membuat kita menjadi lesu. Di sinilah konsistensi kita dibutuhkan. Benar bahwa Ibadah adalah keharusan. Sebab Allah sendiri yang mengundang kita beribadah kepada-Nya. Akan tetapi, ibadah juga adalah keputusan dan komitmen. Artinya, kita juga harus memberikan respon terhadap panggilan Tuhan itu. Senantiasalah bangun komitmen itu agar kita tetap setia dalam keputusan kita beribadah kepada Dia, Allah yang menyelamatkan kita.
3.
Ibadah
itu Kesadaran (ay.16-18).
Bangsa Israel memberikan respon terhadap Yosua yang mempertanyakan ulang komitmen dan keputusan mereka. Bangsa itu memilih untuk menjauhkan diri dari penyembahan berhala. Mereka bahkan memberikan alasan atas keputusan itu. Sebab, Allah senantiasa menuntun mereka, melakukan tanda mujizat, dan melindungi mereka. Ini adalah tanda bahwa bangsa Israel dengan kesadaran penuh memutuskan pilihan mereka. Akan tetapi, mari kita perhatikan. Ungkapan bangsa Israel inilah yang harus menjadi kesadaran dan motivasi kita dalam beribadah. Ibadah yang benar haruslah didasari pada motivasi yang benar. Bahwa kita beribadah bukan semata-mata untuk “membujuk” Tuhan memberkati. Sebaliknya, kita beribadah sebab kita menyadari Allah senantiasa memberkati kita.
REFLEKSI/KESIMPULAN
Melalui
firman Tuhan ini kita diajak untuk memahami “ibadah yang sejati”. Bahwa ibadah
yang sejati itu membawa kita kepada sikap tunduk, taat, dan setia kepada
kehendak-Nya. Bahwa ibadah sejati itu membuat kita semakin mencintai Tuhan dan
tidak akan mendua hati. Untuk itu penting bagi kita membangun ulang komitmen
secara terus-menerus kepada Tuhan. Pada akhirnya, Ibadah yang benar akan
membuahkan transformasi diri sebab ibadah tidak hanya tentang ritus dan
liturgi, melainkan teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari.