Duc In Altum

Klik Ikuti

Epistel Minggu 23. Set Trinitatis (03 November 2024) Ep : Ulangan 6:1-9  MENGASIHI TUHAN ALLAH DAN SESAMA MANUSIA

Epistel Minggu 23. Set Trinitatis (03 November 2024) Ep : Ulangan 6:1-9 MENGASIHI TUHAN ALLAH DAN SESAMA MANUSIA


 Epistel Minggu 23. Set Trinitatis (03 November 2024)

Ep       :           Ulangan 6:1-9

MENGASIHI TUHAN ALLAH DAN SESAMA MANUSIA

PENDAHULUAN

Bagi orang Israel kuno, fungsi utama dari kitab Ulangan adalah sebagai pendidikan agama. Selama beberapa generasi, kitab ini berada di tangan para Lewi yang menyanyikannya dengan tujuan mengajarkan kepada umat apa yang Tuhan inginkan kepada mereka.  Musa sebagai pengajar utama menuliskan ini semua. Tujuannya jelas yaitu untuk menanamkan “Takut akan TUHAN, Allahmu”. Ayat 1-3 dalam pasal ini merupakan sebuah jembatan penghubung untuk menyimpulkan bagian besar dari pengajaran kesepuluh hukum Taurat (4:44-6:3) dan memperkenalkan bagian penting lainnya (6:4-7:11), yang disebut Yesus sebagai “Hukum yang utama dan terutama” (bnd. Mat. 22:37-38). Pertama, Musa memberikan penjelasan pembuka bahwa ini merupakan perinah Allah yang harus dilakukan. Tujuannya agar kebenaran ini dapat diturunkan kepada anak cucu sehingga sepanjang generasi bangsa Israel tetap takut akan TUHAN dan berpegang teguh pada perintah-Nya dengan setia. Allah menyatakan berkat-Nya jika bangsa itu mau hidup dalam perintah dan ketetapan Tuhan. Bangsa itu akan dalam keadaan yang baik dan menjadi sangat banyak.

Mengapa bangsa itu akan dalam keadaan baik? Kendatipun negeri Kanaan adalah negeri yang berlimpah susu dan madunya, tetap saja penghuni negeri itu adalah orang-orang yang tidak mengenal Tuhan. Orang Het, Girgasi, Amori, Kanaan, Feris, Hewi, dan Yebus, adalah bangsa yang kuat dan besar (7:1). Inilah yang harus dihadapi oleh orang Israel. Di sinilah Allah berjanji akan menyerahkan bangsa ini kepada Israel jika mereka mau taat kepada Tuhan. Kedua, ketujuh bangsa itu sudah memiliki kepercayaan dan dewa tersendiri. Kalaupun bangsa Israel menang melawan mereka, tantangan terberat berikutnya adalah godaan untuk menyembah allah lain dan meninggalkan Allah yang benar. Untuk itu, Allah memerintahkan “Hukum Kasih/Hukum terutama dan yang utama” ini sebagai pembatas bagi bangsa Israel ketika tiba saatnya mereka menduduki tanah perjanjian itu.

PENJELASAN NAS

Di dalam terang tema “Mengasihi Tuhan Allah dan Sesama Manusia”, kita akan merenungkan beberapa pokok penting:

1.       Mengasihi dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan.

Shema Israel (6:4), “dengarlah hai Israel”, berisikan satu pengajaran yang fundamental, dan wajib diketahui seluruh orang Israel. Isinya menjadi kebenaran dasar agama Israel, yakni “keesaan” Tuhan dan “kewajiban” yang disusun berdasarkan Allah yang esa ini. Hal mendasar yang diajarkan itu adalah kasihilah TUHAN Allahmu dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatanmu (6:5). Apa maksudnya ini? Hati (Ibr. Lebab) dapat diartikan sebagai pusat tindakan pribadi, pikiran, kecerdasan, kesadaran, pemahaman. Dalam pemahaman timur tengah kuno, hati melambangkan individu dan keberadaannya. Hati digunakan sebagai istilah untuk semua aspek vital, afektif, noetic (pengetahuan, kognisi), dan volitif (kemampuan/kehendak untuk mengambil keputusan). Melalui terminology ini sudah sangat jelas, mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati menuntut seluruh aspek kehidupan kita. Mengasihi Tuhan Allah haruslah dibarengi dengan pengetahuan yang benar, berasal dari kehendak dan keputusan pribadi, dan memengaruhi aspek emosi manusia. Jiwa (Ibr. Nephes) dapat diartikan sebagai keinginan terbesar, niat, orientasi, dan penilaian terdalam dari diri manusia. Artinya mengasihi Allah ternyata bukan hanya tentang mengetahui dan memutuskan, tetapi juga menjadikannya sebagai niat, keinginan terbesar, dan orientasi hidup. Melalui penelusuran terminologis ini, pesan Musa terlihat begitu jelas. Ia mengajak bangsa Israel agar mereka mengambil keputusan berdasarkan kesadaran dan pengetahuannya untuk dengan sungguh beriman kepada Allah dan mengasihi-Nya. Iman dan kasih ini akan mempengaruhi moral dan perasaan mereka sehingga bangsa itu akhirnya menjadikan perintah Allah sebagai “gaya hidup orang beriman”.

2.       Mengasihi itu adalah pelajaran berulang setiap hari.

Karena mengasihi Allah pada akhirnya harus menjadi gaya hidup dan orientasi hidup bangsa Israel, itulah alasan Musa memberikan perintah selanjutnya yakni konsistensi. Musa meminta agar bangsa itu mengajarkan kebenaran ini secara berulang kepada anak-anak mereka. Ketika mengajarkan, kita tidak hanya memberitahu tetapi juga sekaligus mengingat kembali kebenaran itu. Tindakan mengasihi harus senantiasa dibangun melalui perefleksian atas kebenaran. Artinya, kendatipun kita sudah menganggap “Mengasihi Allah dan sesama” adalah topik yang umum bukan berarti kita dapat abai. Musa sendiri memerintahkan agar firman Tuhan selalu dipercakapkan ketika duduk di rumah, dalam perjalanan, berbaring, ataupun bangun, bahkan menuliskan firman itu pada tiang pintu dan pintu gerbang. Firman Tuhan kali ini mengajak kita untuk tidak hanya sekedar tahu, melainkan menjadikan ini sebagai kebiasaan dan gaya hidup yang berkelanjutan. Inilah tandanya kita mengasihi Allah dengan segenap hati dan jiwa kita.

3.       Kasih mengatur setiap gerak hidup.

Firman Tuhan ini menjadi landasan dan persiapan utama bagi bangsa Israel untuk hidup di tanah Kanaan. Kita perhatikan, hukum kasih ini pada akhirnya akan mengatur relasi kita terhadap Tuhan dan sesama. Kasih kepada Tuhan akan membawa kita kepada penghormatan dan penyembahan yang benar, pembaktian diri hanya kepada-Nya. Artinya, kasih itu mengikat kita. Sebagai contoh, implementasi kasih kepada Allah dan sesama akan terlihat pada pasal berikutnya. Allah melarang bangsa Israel menikah dengan bangsa lainnya agar tidak menyimpang dari-Nya (7:3-4), Allah menyuruh orang Israel untuk melawan kesalahan dan memperbaikinya (7:5-6). Kasih yang benar akan selalu mengarahkan kita pada kebenaran. Kasih bukan berarti bertoleransi terhadap kesalahan. Sebaliknya, kasih harus mengubahkan kita agar hidup menuju kebenaran yang sejati.

REFLEKSI/KESIMPULAN

Firman Tuhan hari ini mengajak kita untuk mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan. Kita juga diajak untuk mengimplementasikan itu kepada sesama dengan mengasihi mereka seperti diri sendiri. Melalui firman Tuhan ini, relasi kasih yang benar digambarkan demikian: kebenaran (iman kepada Allah) tanpa kasih (kepada sesama) adalah kekeringan jiwa; ia bisa menyakiti dan memisahkan, tanpa memberi ruang untuk pengertian dan empati. Tetapi kasih tanpa kebenaran adalah ilusi; ia bisa menjadi pengabaian terhadap realitas yang ada. Tanpa kebenaran, kasih bisa mengarah pada penipuan atau ketidakadilan, menghalangi pertumbuhan dan pemahaman yang sejati.
Epistel Minggu 22. Set Trinitatis (27 Oktober 2024) Ep : Markus 10:46-52  TUHAN SANGGUP MELAKUKAN SEGALA SESUATU

Epistel Minggu 22. Set Trinitatis (27 Oktober 2024) Ep : Markus 10:46-52 TUHAN SANGGUP MELAKUKAN SEGALA SESUATU

 

Epistel Minggu 22. Set Trinitatis (27 Oktober 2024)

Ep       :           Markus 10:46-52 

TUHAN SANGGUP MELAKUKAN SEGALA SESUATU

PENDAHULUAN

Dalam cerita ini kita akan diperkenalkan dengan satu tokoh yaitu Bartimeus. Seorang yang buta, miskin, dan hidup dari belas kasihan orang lain. Agak sulit rasanya bagi kita untuk mengakui bahwa Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu jika dalam kondisi seperti Bartimeus ini. Akan tetapi, kita akan melihat sosok Bartimeus sebagai seorang pria yang memiliki keyakinan yang sangat teguh bahwa suatu hari ia akan terbebas dari penderitaannya. Melihat kondisinya, secara kasat mata sebenarnya mustahil bagi Bartimeus untuk terpenuhi harapannya. Namun, kondisi itu tidak membuatnya patah semangat dan putus pengharapan. Itulah mengapa begitu ia mendengar bahwa Yesus melintasi kota Yeriko, Bartimeus sesegera mungkin berteriak memohon tanpa memikirkan posisi dan jarak antara dirinya dengan Yesus. Teriakan Bartimeus menggambarkan bahwa pengharapannya akan segera terlaksana meskipun ia tidak pernah melihat Yesus secara langsung karena keterbatasannya. Sudah waktunya bagi Bartimeus untuk bangkit dari ketidakberdayaannya. Pada akhirnya, imannya yang teguh itu memberikan keselamatan baginya. Bartimeus mengalami kesembuhan. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara rohani. Kisah Bartimeus ini benar-benar menggambarkan tema kita. Kendatipun di situasi sulit yang secara kasat mata itu mustahil untuk diubah, tetapi bagi Allah, Dia sanggup melakukan segala sesuatu. Akan tetapi, perlu kita garis bawahi bahwa segala sesuatu yang dimaksud bertujuan untuk kebaikan dan kemuliaan nama Tuhan.

PENJELASAN NAS

Dalam terang tema Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu, mari kita renungkan: perikop ini mengajarkan ada 4 respon yang harus kita lakukan sebagai orang percaya:

1.       Senantiasa Berseru kepada-Nya (ay.47-48).

Melihat situasi pada saat itu, kedatangan Yesus dibarengi dengan kerumunan orang yang mengelilingi Dia. Ternyata, nama Yesus cukup tersohor sehingga Dia menjadi buah bibir di kota itu. Mendengar cerita orang banyak itu bahwa Yesus tiba di Yeriko, Bartimeus bertindak dengan berseru kepada-Nya “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!”. Ia memanggil Yesus dengan sebutan “Anak Daud”. Panggilan ini mengisyaratkan pengharapannya akan Mesias yang mampu menyelamatkan dirinya. Seruan Bartimeus penuh dengan keyakinan menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias yang berkuasa. Kita perhatikan, seruannya yang pertama harus dibungkam oleh orang banyak. Kerumunan itu melarangnya dan meminta untuk diam. Alih-alih tunduk pada bungkaman itu, Bartimeus justru berteriak semakin keras memohon belas kasihan Yesus. Pada akhirnya, Yesus mendengarkan teriakan itu. Inilah gambaran kehidupan orang percaya. Seruan yang kita sampaikan melalui doa kepada Tuhan sering sekali “dibungkam” oleh keadaan. Penantian yang panjang atas jawaban doa, desakan orang untuk meninggalkan Tuhan, situasi yang membuat kita ragu untuk berdoa adalah tantangan tersendiri bagi kita. Berkaca dari Bartimeus, kita akan melihat bahwa “Iman menuntun pada kesetiaan untuk memohon kepada Tuhan”. Kisah ini menegaskan bahwa jawaban doa memang penting, namun yang lebih utama adalah bagaimana iman membentuk kita untuk tetap berharap dan berdoa kepada Tuhan, meskipun kita harus melewati masa penantian.

2.       Tenang dan teguhkan hatimu (ay. 49).

Kita perhatikan, Yesus yang menjawab seruan Bartimeus memberikan sebuah perubahan baru. Orang banyak yang semula melarangnya untuk berteriak berubah menjadi pendukung Bartimeus untuk datang kepada Yesus. Orang banyak meyakinkan Bartimeus dengan mengatakan “Kuatkan hatimu”. Dalam bahasa aslinya (Yun. Tharseo) dapat diartikan sebagai bersukacitalah, bersemangatlah, jadilah berani, terhiburlah. Orang banyak paham betul ketika Yesus memanggil berarti Bartimeus akan mengalami kesembuhan. Kita perhatikan, panggilan Tuhan atas seruan Bartimeus merupakan suatu dorongan yang luar biasa dalam membangkitkan pengaharapan. Inilah menjadi satu pegangan kuat bagi iman kita terhadap Allah yang sanggup melakukan segala sesuatu. Kendati di tengah permasalahan sekalipun, kita mengimani bahwa jawaban Tuhan selalu membawa penghiburan, sukacita, dan semangat baru.

3.       Datanglah kepada-Nya (ay. 50-52).

Cerita Bartimeus memberikan satu kepastian kepada kita, bahwa Allah mendengarkan seruan kita. Panggilan Yesus membuatnya bergegas untuk pergi mendapatkan Dia. Akan tetapi, sebelum pergi Bartimeus terlebih dahulu menanggalkan jubahnya. Jubah adalah satu-satunya yang dimiliki oleh seorang pengemis. Biasanya itu digunakan untuk duduk atau mengumpulkan sedekah. Di tengah kondisinya, Bartimeus memang harus meninggalkan jubahnya sebab itu dapat menjadi penghambat dirinya bertemu dengan Tuhan. Jubah itu dapat memperlambat gerakannya, atau bahkan bisa membuatnya terjatuh karena tersandung. Setelah mendapat kesempatan berjumpa langsung dengan Yesus, Bartimeus memanggilnya dengan sebutan “Rabuni (rabi: guru)” sebagai ungkapan kerendahatiannya berjumpa dengan Sang Mesias. Sikap Bartimeus ini mencerminkan respon terbaik untuk datang kepada Tuhan. Hal-hal seperti keraguan, kesombongan, harus kita buang saat datang kepada Yesus. Sebaliknya kita datang dengan sikap rendah hati dan berserah diri penuh di dalam doa dan permohonan kita. Allah yang sanggup melakukan segala sesuatu itu sedang mengundang kita datang memohon. Untuk itu, datanglah kepada-Nya (bnd. Mat. 11:28-30).

4.       Percaya dengan sungguh kepada-Nya (Ay. 52).

Bartimeus mendapatkan kesembuhan dari Yesus. Seruannya membuahkan hasil yang manis. Apa yang ia harapkan diberikan Yesus kepada dirinya. Matanya dipulihkan dan dapat melihat kembali. Yesus mengatakan “imanmu telah menyelamatkan engkau!”. Kebaikan yang Bartimeus peroleh adalah karena imannya yang direspon dengan kuasa dan belas kasihan Tuhan. Kita perhatikan, pertolongan yang paling menghibur adalah yang berasal dari iman kita. Secara jasmani Bartimeus kembali dapat melihat dan tidak lagi membutuhkan orang lain untuk membantunya. Ia sekarang dapat berjalan sendiri dengan penglihatannya sendiri. Kesembuhan jasmani itu diikuti dengan kesembuhan rohani melalui keputusan Bartimeus untuk mengikut Yesus. Inilah respon yang harus dimiliki oleh setiap orang percaya. Tidak cukup bagi kita hanya sekedar memohon untuk mendapat kesembuhan kepada Tuhan. Akan tetapi, penting sekali kita mengambil komitmen untuk mengikuti Dia agar kita dapat memuliakan Tuhan.

 

REFLEKSI/KESIMPULAN

Firman Tuhan hari ini mengajak kita agar sungguh-sungguh mengimani Allah sanggup melakukan segala sesuatu. Meskipun situasi terasa seperti di luar kendali dan kekuatan kita, firman Tuhan mengajak agar kita datang kepada-Nya di dalam iman yang sungguh-sungguh. Kita juga diajak untuk selalu berseru kepada Tuhan sebab penantian akan jawaban Tuhan selalu membuahkan penghiburan, sukacita, dan semangat baru bagi kita.

Epistel Minggu 21. Set Trinitatis (20 Oktober 2024) Ep : Yosua 24:14-24  IBADAH YANG SEJATI

Epistel Minggu 21. Set Trinitatis (20 Oktober 2024) Ep : Yosua 24:14-24 IBADAH YANG SEJATI


Epistel Minggu 21. Set Trinitatis (20 Oktober 2024)

Ep       :           Yosua 24:14-24

IBADAH YANG SEJATI

PENDAHULUAN

Tema kita kali ini adalah “Ibadah yang Sejati”. Ibadah merupakan terjemahan dari kata Ibrani abodah. Akar katanya adalah abad atau ebed yang berarti budak. Ini menunjukkan suatu sikap ketaatan, tunduk, hormat, dan ketergantungan yang sungguh. Ibadah pada dasarnya adalah suatu perayaan kita kepada Allah sebagai yang dipuji dan disembah. Melalui perayaan itu, kita diajak untuk menundukkan diri pada setiap aturan dan kehendak Allah. Di dalamnya juga haruslah diberikan persembahan sebagai kurban ucapan syukur (lih. Kel.23:15 Ul. 16:16-17, 26:1-2). Dari sini kita menyimpulkan bahwa ibadah itu adalah sebuah keharusan karena kita mengikat diri untuk tunduk pada kehendak Allah. Dia menghendaki agar kita menguduskan hari sabath (bnd. Hukum Taurat ke-IV, lih. Kel. 20:8-11). Melalui ibadah, kita mengucap syukur kepada Allah yang memelihara, menyertai, melawat umat-Nya.

Menelisik dari latar belakangnya, Kitab Yosua menceritakan bagaimana bangsa Israel melakukan penaklukan terhadap tanah Kanaan di bawah kepemimpinan Yosua. Mereka pada akhirnya berhasil. Namun, keberhasilan bangsa itu diperhadapkan dengan tantangan penyembahan berhala. Inilah mengapa pada akhir hidupnya, pidato perpisahan Yosua mengingatkan dengan tegas dan sungguh-sungguh agar bangsa itu melakukan ibadah yang benar dan sejati.

PENJELASAN NAS

Dalam terang tema “Ibadah yang sejati”, mari kita merenungkan beberapa poin ini:

1.       Beribadahlah kepada Tuhan dengan Tulus dan Setia.

Yosua menegaskan bahwa bangsa Israel haruslah beribadah kepada TUHAN. Sebab Tuhan telah menggenapi janji-janji-Nya, memberkati dan melindungi mereka sejak Abraham hingga mereka menduduki tanah perjanjian. Perintah Tuhan melalui Yosua sangat tegas. Hanya Tuhan saja yang boleh disembah, jangan ada allah lain. Sebab Allah itu pencemburu. Dia akan menghukum bangsa itu bila menyembah berhala (ay.19). Ibadah menuntut kita untuk tunduk dan setia hanya kepada Tuhan saja. Sebab, tidak mungkin seseorang tunduk terhadap dua tuan (Mat. 6:24). Lagipula, orang yang mendua hati, tidak akan tenang hidupnya (Yak. 1:8). Ibadah haruslah “tulus ikhlas” (Ibr. Tamim). Artinya, kita harus membaktikan diri seutuhnya dan penuh integritas hanya kepada Tuhan. Tidak cukup hanya secara ritus, tetapi juga dalam praktik hidup. Ibadah itu juga harus dilakukan dengan “setia” (Ibr. Emet). Artinya, ibadah harus dilakukan dengan berkelanjutan, konsisten, dan pasti hanya kepada Tuhan. Pada konteks masa kini, berhala tidak lagi hanya dalam bentuk beribadah kepada allah lain. Bahkan, ketika kita lebih mencintai harta, jabatan, kehormatan lebih daripada mencintai Tuhan, kita “memberhala” kan itu dalam hati kita.

2.       Ibadah itu Keputusan dan Komitmen (ay.15, 19, 21, 22).

Yosua memastikan pilihan bangsa Israel berkali-kali. Yosua tampaknya meminta validasi secara langsung mengingat bangsa itu tegar tengkuk perilakunya (bnd. Kel. 32:9; Ul. 9:13). Yosua sangat takut bangsa itu jatuh ke dalam sinkritisme – yaitu campur baur agama dan kebudayaan – terhadap Kanaan, Amori, Moab, Amon (ay.15). Serentak bangsa itu memutuskan untuk berkomitmen beribadah kepada Tuhan yang benar (ay. 16, 21, 22, 24). Yosua telah terlebih dahulu memilih dan berkomitmen bahwa ia dan seisi rumahnya beribadah kepada Tuhan (ay. 15). Penegasan berulang yang dilakukan Yosua hendak mengingatkan kepada kita bahwa komitmen itu harus dibangun terus menerus, setiap hari. Tantangan hidup, pergumulan, kadang kala membuat kita menjadi lesu. Di sinilah konsistensi kita dibutuhkan. Benar bahwa Ibadah adalah keharusan. Sebab Allah sendiri yang mengundang kita beribadah kepada-Nya. Akan tetapi, ibadah juga adalah keputusan dan komitmen. Artinya, kita juga harus memberikan respon terhadap panggilan Tuhan itu. Senantiasalah bangun komitmen itu agar kita tetap setia dalam keputusan kita beribadah kepada Dia, Allah yang menyelamatkan kita.

3.       Ibadah itu Kesadaran (ay.16-18).

Bangsa Israel memberikan respon terhadap Yosua yang mempertanyakan ulang komitmen dan keputusan mereka. Bangsa itu memilih untuk menjauhkan diri dari penyembahan berhala. Mereka bahkan memberikan alasan atas keputusan itu. Sebab, Allah senantiasa menuntun mereka, melakukan tanda mujizat, dan melindungi mereka. Ini adalah tanda bahwa bangsa Israel dengan kesadaran penuh memutuskan pilihan mereka. Akan tetapi, mari kita perhatikan. Ungkapan bangsa Israel inilah yang harus menjadi kesadaran dan motivasi kita dalam beribadah. Ibadah yang benar haruslah didasari pada motivasi yang benar. Bahwa kita beribadah bukan semata-mata untuk “membujuk” Tuhan memberkati. Sebaliknya, kita beribadah sebab kita menyadari Allah senantiasa memberkati kita.

REFLEKSI/KESIMPULAN

Melalui firman Tuhan ini kita diajak untuk memahami “ibadah yang sejati”. Bahwa ibadah yang sejati itu membawa kita kepada sikap tunduk, taat, dan setia kepada kehendak-Nya. Bahwa ibadah sejati itu membuat kita semakin mencintai Tuhan dan tidak akan mendua hati. Untuk itu penting bagi kita membangun ulang komitmen secara terus-menerus kepada Tuhan. Pada akhirnya, Ibadah yang benar akan membuahkan transformasi diri sebab ibadah tidak hanya tentang ritus dan liturgi, melainkan teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari.


Epistel Minggu 20. Set Trinitatis (13 Oktober 2024) Ep.: Habakuk 2:1-4  ORANG BENAR AKAN HIDUP OLEH PERCAYANYA

Epistel Minggu 20. Set Trinitatis (13 Oktober 2024) Ep.: Habakuk 2:1-4 ORANG BENAR AKAN HIDUP OLEH PERCAYANYA

 

Epistel Minggu 20. Set Trinitatis (13 Oktober 2024)

Ep.         :               Habakuk 2:1-4

ORANG BENAR AKAN HIDUP OLEH PERCAYANYA

PENDAHULUAN

Tema kali ini menjadi satu informasi bagi kita bahwa orang percaya hidup karena imannya. Ini merupakan ungkapan popular dari kitab Habakuk yang dikutip 3 kali dalam Perjanjian Baru, yaitu Roma 1:17, Galatia 3:11, Ibrani 10:38. Setidaknya, kita dapat membagi tiga alur kitab ini. Pertama, Habakuk mengeluhkan kejahatan di dalam negerinya serta bertanya mengapa Allah tidak melakukan sesuatu menghentikan itu. Kedua, Allah menjawab bahwa Dia akan mengutus orang kasdim (Babel) untuk menghukum Israel atas dosa-dosanya. Ketiga, respon Habakuk yaitu ia memilih untuk tetap percaya kepada Tuhan. Imannya ini dinyatakan dengan menulis sebuah nyanyian pujian kepada Tuhan. Dari alur ini, kita dapat melihat bahwa tampaknya Habakuk berada di tengah-tengah situasi bangsa yang kacau balau. Ia menjelaskan bahwa hukum telah kehilangan kekuatannya sebab keadilan telah diputarbalikkan. Kekerasan, pertikaian, perdebatan marak terjadi. Ternyata, kekuasaan dan keadilan telah disalahgunakan di antara sesama bangsa sendiri. Kejahatan tidak pernah ditindak dan pelakunya tidak pernah diadili. Sebaliknya, orang benar akan disalahkan dan yang jahat akan dibenarkan. Kesukaran ini akhirnya turut menimpa orang-orang yang setia hidup dalam imannya. Hati Habakuk semakin hancur ketika Allah justru memilih jalan yang tidak sesuai harapannya. Allah memberi nubuatan kepada Habakuk bahwa Dia akan memilih bangsa Babel untuk menghukum bangsa Israel. Bertahan dalam suasana dan kondisi yang menderita memang tidak mudah bagi siapapun. Waktu terasa begitu lambat berjalan. Akan tetapi melalui seruan Habakuk, firman Tuhan kali ini hendak mengajak kita agar dengan sungguh-sungguh memusatkan penantian kita hanya kepada Allah. Habakuk mengajak kita untuk menjalani pergumulan itu bersama-sama dengan Allah. Caranya adalah dengan membawa semua itu ke dalam doa memohon pertolongan Allah bagi kita.

PENJELASAN NAS

Habakuk menyatakan orang benar akan hidup oleh percayanya (2:4) di tengah-tengah situasi yang begitu sulit baginya. Kita akan renungkan ada 3 alasan mengapa Habakuk menyatakan demikain:

Pertama, iman memberi kehidupan. Habakuk menggambarkan bahwa ada dua respons manusia terhadap firman Allah. “Membusungkan dada” berarti respons tinggi hati dan meremehkan firman Tuhan. Mereka tidak mau mengakui firman Tuhan, tidak mau bergantung kepada-Nya, dan menganggap janji Allah adalah sesuatu yang tidak berarti. Tetapi “orang benar” merespons firman Tuhan dengan penuh keyakinan akan kebenarannya. Mereka akan tetap dekat dengan Allah dan menghidupi panggilannya kendatipun di masa-masa sulit. Dalam konteks Habakuk, iman membuat orang percaya hidup dalam relasi “kesetiaan” dengan Tuhan. Artinya, manusia harus setia kepada janji Tuhan sebab Dia setia terhadap janji-Nya yang memberi kehidupan. Kehidupan yang dimaksud oleh Habakuk di sini memang erat kaitannya dengan perdamaian, kesejahteraan, dan keamanan bagi umat. Akan tetapi, pada akhirnya Perjanjian Baru memberikan makna yang jauh lebih luas. Kehidupan yang dimaksud bukan lagi hanya berbicara tentang jasmaniah tetapi juga spiritual. Bahwa di dalam Kristus, kita akan memperoleh keselamatan dan kehidupan kekal (Yoh. 3:16, 18). Sebab, iman yang merespons firman Tuhan dengan benar akan menghasilkan buah (Gal.5:22-23); membawa kita kepada pengudusan dan pembenaran (Ibr. 10:10; Rm. 3:28; Ef. 2:8); dan membawa kita kepada keselamatan (Mrk.16:16; Rm.1:17; 2 Tim. 3:15).

Kedua, iman membuahkan pengharapan. Ungkapan “Aku mau berdiri di tempat pengintaian … aku mau meninjau dan menantikan…” (ay. 1) adalah gambaran kesungguhan Habakuk menanti jawaban Tuhan atas doa dan permohonannya. Habakuk benar-benar dengan penuh kesabaran dan kesungguhan menantikan itu bagaikan seorang penjaga keamanan yang penuh fokus dan keseriusan. Penantiannya akhirnya dijawab oleh Tuhan dengan memberikan sebuah perintah agar menuliskan penglihatan itu pada loh (ay. 2). Meskipun penglihatan itu masih belum terjadi dan dinantikan, tetapi Allah menyatakan bahwa itu sungguh-sungguh akan datang (ay.3). Habakuk merespon dengan menyatakan orang benar akan hidup oleh percayanya (ay. 4). Menariknya kendatipun jawaban itu masih membutuhkan penantian, Habakuk meresponnya dengan pujian kepada Allah. Pujian yang berisi pengharapan yang pasti bahwa Allah akan menyelamatkan umat-Nya (3:12). Begitulah iman yang sejati. Iman selalu membuahkan pengharapan sebab iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr. 11:1). Inilah yang membuat Habakuk tidak menjadi goyah hatinya. Sebab di dalam iman, ada pengharapan yang meneguhkan bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Dia janjikan (bnd. Rm. 4:21).

Ketiga, iman meluruskan hati. Iman yang memberi kehidupan dan pengharapan akan selalu menuntun kita kepada kebenaran. Mereka yang menolak firman Allah tidak akan lurus hatinya. Sebaliknya, firman Tuhan akan meluruskan hati orang benar. Olehnya, mereka mau melakukan kehendak Allah. Artinya, firman Tuhan selalu membawa kita kepada pertobatan. Sebab firman Tuhan yang dituliskan itu bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran (bnd. 2 Tim. 3:16). Inilah yang dimaksud dengan iman meluruskan hati (membawa pertobatan). Kendatipun situasi sekitarnya tidak sesuai harapan dan pemahamannya, kadang kala rencana Tuhan terasa tidak adil menurut manusia, Habakuk tetap memiliki harapan bahwa pada akhirnya Allah menegakkan keadilan dan memulihkan umat-Nya Hati yang lurus akan selalu mendorong kita untuk senantiasa memuji dan memuliakan Tuhan (3:17-18).

REFLEKSI/KESIMPULAN

Firman Tuhan hari ini mengajak kita untuk meneguhkan dalam hati bahwa orang benar hidup oleh iman. Habakuk, melalui pengalaman dan pujian yang dicatat dalam kitabnya, mengajarkan bahwa iman adalah landasan yang kokoh di tengah-tengah kesulitan dan ketidakpastian. Dalam situasi di mana keadilan tampak terbalik dan kejahatan tidak dihukum, iman memberikan kehidupan dengan menjaga hubungan setia dengan Allah. Iman juga membuahkan pengharapan yang kokoh, bahkan ketika jawaban atas doa tampak jauh atau belum terlihat jelas. Selain itu, iman meluruskan hati, membimbing untuk melakukan kehendak Allah, dan memberikan keyakinan bahwa pada akhirnya Allah akan menegakkan keadilan dan menyelamatkan umat-Nya. Dengan demikian, Habakuk mengajak untuk hidup dalam ketaatan dan pengharapan, sambil tetap memuji dan memuliakan Tuhan dalam segala keadaan.

Epistel Minggu 19. Set Trinitatis (06 Oktober 2024) Ep: Keluaran 4:10-17  SIAP SEDIA MEMBERITAKAN FIRMAN TUHAN

Epistel Minggu 19. Set Trinitatis (06 Oktober 2024) Ep: Keluaran 4:10-17 SIAP SEDIA MEMBERITAKAN FIRMAN TUHAN


Epistel Minggu 19. Set Trinitatis (06 Oktober 2024)

Ep       :           Keluaran 4:10-17

SIAP SEDIA MEMBERITAKAN FIRMAN TUHAN

PENDAHULUAN

Perikop ini merupakan lanjutan dari pemanggilan dan pengutusan Allah kepada Musa untuk membawa bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Bangsa itu sedang berada dalam perbudakan. Orang-orang Israel akhirnya memohon kepada Allah untuk membebaskan mereka. Rintihan bangsa itu didengarkan oleh Tuhan. Dengan mengingat janji-Nya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah memperhatikan dan memedulikan mereka. Itulah mengapa Allah memilih dan mengutus Musa menghadap Firaun untuk membawa Israel keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan. Kalau kita melihat perjalanan hidup Musa, pemanggilan ini sebenarnya terasa sangat sulit. Pertama, Musa diangkat menjadi anak oleh putri Firaun dan dibesarkan dengan pendidikan dan kebiasaan istana kerajaan Mesir hingga ia dewasa (2:10). Kedua, setelah dewasa, Musa menjadi pelarian karena telah membunuh orang Mesir. Hatinya menjadi panas karena melihat orang Mesir memukul seorang dari saudara sebangsanya. Karena kejadian ini, Firaun berupaya membunuh Musa (2:11-13). Ketiga, saudara sebangsanya menolak keberadaan Musa (2:14). Itulah mengapa ketika pemanggilannya, Musa memiliki keraguan yang begitu besar, dan merasa tidak mampu melaksanakan tugas itu. Keraguan diri Musa ini tampak dari jawaban dan pertanyaan yang diberikannya kepada Allah.

PENJELASAN NAS

Perikop kali ini akan kita gali dan renungkan dalam terang tema “Siap Sedia Memberitakan Firman Tuhan”.

1.        Berat mulut dan Berat Lidah.

Musa sangat berat untuk mengemban tugas panggilan yang diberikan Allah kepadanya. Selain untuk menyampaikan firman Tuhan kepada bangsa Israel, ia juga harus siap berhadapan dengan Firaun. Musa diberikan tugas sebagai pemimpin bagi bangsa itu, sekaligus menjadi lawan bagi Firaun untuk membawa Israel keluar dari tanah Mesir. Dengan memahami kondisi ini, Musa sebenarnya ingin menolak. Penolakan Musa pertama-tama tampak dari keraguan dan ketakutan dirinya jikalau bangsa itu menolak dirinya. Tidak cukup sampai di sana, dalam perikop ini Musa mencoba menolak dengan memberitahukan kelemahan dirinya. Ia mengatakan “… aku tidak pandai berbicara,… aku berat mulut dan berat lidah” (ay. 10). Dalam bahasa Ibrani dan bahasa kuno lainnya, organ tubuh yang cacat sering sekali disebut dengan “berat” (Ibr. Kabed).  Dalam bahasa aslinya, dapat diterjemahkan bahwa Musa sebenarnya kesulitan dan terbata-bata untuk mengucapkan kata-kata dengan lancar.

Keadaan Musa ini menjadi gambaran bagi kita dalam memenuhi panggilan untuk memberitakan firman Tuhan. Situasi sulit, penolakan, keterbatasan dan kelemahan, menjadi tantangan tersendiri bagi kita. Itulah mengapa tema mengajak kita untuk bersiap sedia. Alkitab sudah membuktikan, setiap orang yang dipanggil Tuhan pasti memiliki kekurangannya tersendiri. Musa dengan keterbatasan fisik dan emosinya, Yosua dengan ketakutan dan kekuatirannya, Paulus dengan duri dalam dagingnya, dan masih banyak lagi. Menyadari adanya kelemahan dalam diri adalah sesuatu yang baik. Akan tetapi, jikalau terlalu fokus pada kelemahan itu, potensi dan kelebihan dalam diri ini bisa saja menjadi kita abaikan. Untuk itu, bersiap sedialah.

2.        Pergilah, Aku akan menyertai.

Musa sudah mengungkapkan kelemahan dirinya. Tetapi jawaban Allah memberikan kelegaan. Pertama-tama, Allah memberikan penegasan tentang kuasa dan otoritas-Nya kepada Musa. Bahwa Dia adalah pencipta manusia, sehingga Dia berkuasa penuh atas manusia. Allah hendak menegaskan bahwa keterbatasan fisik Musa bukanlah hal yang tak dapat Allah atasi. Secara spesifik Allah mengatakan “Oleh sebab itu, pergilah, Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engaku, apa yang harus kau katakan.” (ay. 12). Kita perhatikan, tugas dan panggilan yang Allah nyatakan kepada umat-Nya, akan selalu dibarengi dengan penyertaan-Nya. Jika kelemahan Musa ada pada lidahnya, maka Allah memberikan penyertaan dan pemulihan terhadapnya.

Poin yang hendak ditegaskan di sini, kesiapan dan kesediaan tidak akan pernah kita dapatkan jikalau hanya mengandalkan kemampuan dan kepintaran diri sendiri. Dengan menyadari kelemahan diri, kita hanya akan mampu bersiap sedia menunaikan tugas panggilan itu dengan kasih dan penyertaan Tuhan. Pada dasarnya, kita harus benar-benar menyadari bahwa “Tuhan yang utus, Tuhan yang urus”. Meminjam istilah “ula-ula na matolpang”, demikian lah kita sebagai perkakas yang tidak sempurna yang dipakai oleh Allah untuk menyatakan firman-Nya. Ketika Allah menyatakan kepada Musa “Bukankah di situ Harun, orang Lewi itu kakakmu? Aku tahu, bahwa ia pandai bicara…” (ay. 14), ini membuktikan bahwa Allah memahami apa yang kita butuhkan. Penyertaan Allah akan selalu memperlengkapi kita. Dia akan memberikan apa yang kita perlu, dan tidak akan pernah meninggalkan kita. Penyertaan Tuhan akan memberikan kekuatan bagi kita untuk melakukan kehendak-Nya.

REFLEKSI

Allah tidak hanya memanggil, tetapi juga menyertai dan memperlengkapi setiap orang yang dipanggil-Nya. Kita perlu mengakui keterbatasan kita, tetapi tidak boleh terfokus hanya pada kelemahan tersebut. Bersiaplah dengan kesediaan dan kesadaran bahwa Allah akan memberikan apa yang diperlukan untuk melaksanakan panggilan-Nya. Penyertaan-Nya memberi kekuatan bagi setiap langkah yang kita ambil dalam pelayanan-Nya. Dengan demikian, kita diajak untuk mempersiapkan hati dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, percaya bahwa dalam kelemahan kita, kuasa-Nya menjadi sempurna untuk melakukan kehendak-Nya. (DKHL)

Epistel Minggu 17. Set Trinitatis (22 September 2024) Ep : YEREMIA 11:18-20 MENDEKAT KEPADA ALLAH

Epistel Minggu 17. Set Trinitatis (22 September 2024) Ep : YEREMIA 11:18-20 MENDEKAT KEPADA ALLAH

 


Epistel Minggu 17. Set Trinitatis (22 September 2024)

Ep       :           YEREMIA 11:18-20

MENDEKAT KEPADA ALLAH

PENDAHULUAN

Nabi Yeremia adalah nabi yang sangat luarbiasa sekaligus nabi yang cukup memilukan kisah pelayanannya. Dapatkah kita bayangkan bagaimana jika kita berada diposisi dikucilkan dan disiksa bahkan oleh orang-orang yang satu kampung dengan kita? Apalagi alasan kita dikucilkan dan disiksa karena kita menyampaikan kebenaran. Situasi ini begitu sulit. Orang-orang yang seharusnya kita harapkan memberikan perlindungan, kenyamanan, ternyata justru mereka yang menghianati dengan merencanakan secara diam-diam pembunuhan atas diri kita. Itulah konteks yang dialami oleh Nabi Yeremia. Dia lahir di satu desa bernama Anathot. Desa di wilayah Benyamin. Sepanjang hidupnya dia mengalami penolakan bahkan oleh orang-orang sekampungnya. Dari ayat 21, kita mengetahui situasinya dengan jelas. Memang sering sekali para nabi dipaksa bungkam oleh orang-orang Israel agar tidak bernubuat. Barangkali kritik tajam Yeremia terhadap seluruh kehidupan agama dan sosial Yehuda yang menyebabkan suatu rencana untuk membunuhnya. Pasti ada alasan yang kuat mengapa warga sesama Yeremia mengambil tindakan keras seperti itu terhadapnya. Terkadang anggota keluarga akan berupaya membunuh kerabat yang telah mendatangkan malu pada keluarga. Sekampung Yeremia justru merencanakan pembunuhan kepada Yeremia karena sebagai nabi, Yeremia membongkar dosa-dosa penyembahan berhala mereka, sekaligus karena Yeremia tetap setia kepada Tuhan. Yeremia dianggap sebagai salah satu nabi paling tragis karena penderitaan pribadinya dan kesendirian yang dialaminya, tetapi juga dihormati karena kesetiaannya yang tak tergoyahkan kepada Allah. Yeremia bukan hanya seorang nabi yang mengajukan kritik sosial dan agama, tetapi juga mengalami penganiayaan dan penderitaan pribadi. Dia sering kali dikucilkan, dipenjarakan, dan dihadapkan pada ancaman kematian karena menyampaikan firman Allah (Yer. 20:1-6; 37:11-15; 38:1-13). Ancaman yang diberikan kepadanya juga tidak main-main. “Namanya tidak diingat lagi” merupakan suatu ancaman yang sangat menakutkan. Mengingat bahwa Yeremia tidak menikah, tentu saja kematiannya akan membuat namanya dilupakan sebab dia tidak memiliki garis keturunan yang melanjutkan namanya.

PENJELASAN NAS

Menghadapi tekanan yang begitu pelik, Yeremia memilih untuk berseru dan berserah kepada Tuhan. Dia memohon agar Tuhan menjadi hakim yang membalaskan kesalahan musuh-musuhnya. Yeremia menempatkan diri sebagai seorang yang “melihat” saja bagaimana Tuhan bekerja untuk menyelamatkan nyawanya (ay.20). Ada beberapa poin penting yang menjadi perenungan:

Pertama, Allah menyingkapkan kebenaran (ay.18). Yeremia menjadi representasi kita dalam menjalani kehidupan ini, secara khusus dalam hal relasi. Apa yang dilakukan oleh orang-orang Anathot kepada Yeremia dapat diumpamakan dengan “rambut sama hitam, hati siapa yang tahu”. Yeremia begitu tulus dan merasa tenang tehadap apa yang dia temui dan lalui. Wajar saja memang sikap Yeremia ini, sebab kampung halaman seharusnya menjadi tempat ternyaman. Ikatan batin, emosional, sosial, seharusnya sudah terbangun dengan sangat baik. Namun apa yang diharapkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Mari kita berfokus bukan pada penghianatan bangsa Anathot, melainkan berfokus pada bagaimana Allah melindungi Yeremia. Tuhan kita memang mengetahui maksud terselubung dari relung hati kita yang terdalam, sebab Dia adalah Allah yang maha tahu. Poin pertama ini mengajak kita untuk dapat senantiasa berlaku jujur dan menjauhkan hati dari pikiran dan rencana-rencana jahat terhadap sesama. Dengan menyadari bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, kita diajak untuk bersikap takut akan Tuhan, bahkan dalam hubungan, relasi, dan komunikasi kita kepada sesama, dan kepada Tuhan. Umpasa Batak mengatakan “dang dao pat ni gabus”. Demikian lah hidup yang penuh kepura-puraan tidak akan bertahan selamanya. Semua itu akan dinyatakan Tuhan pada waktunya. Maka marilah senantiasa menjaga hati agar hidup dalam kesetiaan, ketaatan, dan kejujuran, serta menjauhkan diri dari rencana dan tindakan kejahatan yang tidak berkenan di hadapan Tuhan.

Kedua, Allah membebaskan (ay.19). Yeremia begitu tulus dalam menyampaikan kebenaran firman Tuhan kepada orang-orang satu kampungnya. Memang cara Yeremia dalam menyampaikannya cukup keras dan lugas. Namun, itu semua sesuai dengan apa yang Allah sampaikan kepadanya. Pada akhirnya firman yang disampaikan itu bertujuan untuk menyadarkan bangsa Israel dari dosanya sehingga mereka dapat bertobat dan berbalik pada Tuhan. Kendatipun tujuan yang disampaikan itu sangat baik, bangsa Israel tetap saja bersikukuh dengan dosanya dan menghiraukan utusan Tuhan. Lebih parahnya, mereka justru membungkam nabi-nabi Tuhan agar tidak bernubuat. Jikalau para nabi tetap setia mengabarkan nubuatan itu, mereka akan disiksa dan bahkan sampai dibunuh. Tetapi pada akhirnya, Allah memberikan pertolongan dan membebaskan. Yeremia tidak ditinggalkan Allah sendiri. Sebaliknya, Allah-lah yang membebaskan dan menjaga dia. Poin ini hendak mengajak kita untuk senantiasa teguh dan setia di dalam berbuat kebenaran. Dunia boleh saja membungkam, tetapi Tuhan tidak akan pernah diam. Dengan percaya kepada Allah yang pasti menjaga kita, diharapkan agar kita semakin mendekatkan diri kepada-Nya saat permasalahan datang menerpa.

Ketiga, Allah hakim yang adil (ay.20). Yeremia begitu tegar dalam menghadapi ancaman, penolakan, penganiayaan, bahkan rencana pembunuhan yang ditujukan kepada dirinya. Boleh dikatakan Yeremia begitu berhikmat dalam menghadapi pergumulan. Ia memilih jalan untuk berdoa, memohon agar Allah berlaku adil baginya. Dengan memposisikan diri agar cukuplah “melihat” saja, Yeremia memahami betul bahwa membalaskan bukanlah hak dirinya, melainkan Tuhan yang memanggilnya. Poin ketiga ini meneguhkan kita agar benar-benar menyerahkan segala permasalahan kita kepada Tuhan, sebab Dia adalah hakim yang adil. Allah senantiasa memberikan kebaikan, bukan kejahatan. Rencana Allah pastilah rancangan yang membawa damai sejahtera. Sekaligus mengingatkan kepada kita, agar berhenti membalaskan dendam. Balas dendam tidak pernah menjadi solusi penyelesaian masalah. Sebaliknya, balas dendam selalu mendatangkan luka dan dendam yang baru. Balas dendam tidak hanya menyakiti orang yang kita benci, melainkan juga diri sendiri dan orang lainnya. Biarlah Tuhan yang maha adil menjadi hakim atas itu semua, dan kita tetap bekerja dengan setia untuk tetap hidup di jalan kebenaran-Nya.

REFLEKSI/KESIMPULAN

Mendekat Kepada Allah, menjadi tema yang merefleksikan kepada kita bahwa dalam setiap pergumulan, tema ini yang harus kita lakukan. Tema ini bersifat aplikatif, yang berarti harus nyata dalam tindakan dan kehidupan. Pola-pola dan cara-cara lama yang mengedepankan dendam, sakit hati, kekerasan, sudah sepantasnya kita tinggalkan. Mendekat kepada Allah harus memberikan dampak yang luar biasa bagi perubahan kita. Panggilan ini harus nyata dalam kejujuran, kesetiaan, pengampunan, iman yang sungguh, penyerahan diri yang sungguh, sebab Yeremia tahu, bahwa di dalam itu, hanya dekat dengan Allah sajalah hatinya tenang dan menang.