BAHAN SERMON EPISTEL MINGGU 6 SET. TRINITATIS, 7 JULI 2024
“ALLAH BENTENG BAGI KITA”
Ep. 2 Korintus 12:2-10
PENDAHULUAN
Bukan
hal yang baru lagi sebenarnya tentang pergumulan dan penderitaan dikhotbahkan
di tengah-tengah gereja. Terlebih lagi, ketika kita membahas surat Paulus. Kita
akan disuguhkan dengan berbagai macam realita pergumulan hidup. Inilah yang
tampak dalam perikop kali ini. Permasalahannya adalah guru-guru palsu
menyebarkan fitnah dan tuduhan bahwa Paulus adalah rasul palsu sehingga
kredibilitas dan ajarannya patut dipertanyakan. Barangkali, tuduhan lainnya
juga berhubungan dengan hal-hal material, yakni fitnahan kepada Paulus yang
hanya mencari keuntungan di tengah-tengah jemaat Korintus (Bnd. 2 Kor.12:11-21).
Istilah yang sedang Paulus terima ini agaknya serupa dengan makna “air susu
dibalas dengan air tuba”. Kadang kala memang kebaikan tidak selalu dibalas
dengan kebaikan. Kaitannya dengan tema “Allah benteng bagi kita”, memang benar
benteng adalah tempat perlindungan, lambang kekuatan, pertahanan dari
musuh-musuh. Akan tetapi ketika dikatakan Allah adalah benteng bagi kita, bukan
berarti membuat hidup ini menjadi hidup yang tanpa masalah. Masalah akan tetap
ada. Paulus, seorang Rasul yang dikasihi oleh Allah, dengan pelayanan yang begitu
luar biasa hebat untuk menginjili orang yang bukan Yahudi, juga tidak lepas
dari pergumulan. Istilah “duri dalam daging” yang digunakan Paulus ini memang tidak
memiliki defenisi pasti. Beragam tafsiran untuk menerjemahkan maksud Paulus
ini. Ada yang mengatakan itu berkaitan dengan sakit fisik – ada yang mengatakan
malaria, atau sakit yang berhubungan dengan mata dan kepala – ada juga yang
mengatakan bahwa maksudnya berupa tuduhan, fitnahan. Ada juga yang mengatakan
rasa bersalah Paulus atas dosa yang dilakukannya yakni memburu dan membunuh
orang-orang Kristen di masa lalunya. Tetapi apapun makna “duri dalam daging”
itu, Paulus pun mengalami penderitaan, itulah faktanya.
PENJELASAN NAS
Lantas,
jikalau Pauluspun mengalami penderitaan, apakah tema ini salah? Di mana Allah
ketika dikatakan Dia-lah benteng bagi kita? Kita akan menguji tema ini melalui
terang nas bacaan kita dengan satu pertanyaan dari apa kita dibentengi oleh
Allah berdasarkan kisah Paulus ini?
Pertama: Kesombongan
Rohani. Pada ayat 1-4, kita disuguhkan dengan
cerita menakjubkan dari Paulus. Kalimat “bermegah” sebenarnya dapat diartikan
menonjolkan kebaikan, kehebatan, dan kelebihan dari seseorang. Paulus
melanjutkan itu di ayat 2-4 dengan menceritakan tentang seseorang yang diangkat
ke sorga. Paulus menggunakan sudut pandang orang ketiga di sini. Dalam ayat 2-4 Paulus sebenarnya menceritakan dirinya sendiri. Ini adalah cara yang lazim
digunakan oleh para pengajar pada masa itu. Paulus sedang menceritakan dirinya
yang mendapatkan penglihatan dari Tuhan dia diangkat ke Firdaus. Sebagaimana
perkataan Paulus tentang ceritanya ini, biarlah itu Allah sendiri yang
mengetahuinya. Sebab bukan ini poin terpenting dari cerita Paulus ini. Kita
harus garis bawahi, Paulus “terpaksa” harus memegahkan dirinya karena memang
situasinya begitu mendesak. Dia harus membela diri terhadap tuduhan akan
ajarannya yang palsu, terlebih-lebih status kerasulannya yang diragukan. Di
sini kita lihat betapa rendah hatinya Paulus dalam menceritakan pengalaman
rohaninya yang begitu luar biasa itu. Bermegah adalah hal yang tidak ada
faedahnya. Paulus hanya benar-benar terkagum dengan hadirat Allah dan pekerjaan
Allah dalam dirinya. Dari Paulus kita belajar, pengalaman rohani bisa saja kita
alami. Kuasa Tuhan bisa saja nyata dalam hidup kita. Berkat-berkat luarbiasa
bisa saja tercurah bagi kita. Akan tetapi, jangan menjadikan itu sebagai “kemegahan”
pribadi yang menjatuhkan kita ke dalam kesombongan rohani. Melalui Paulus kita
belajar bahwa berkat, kebaikan, sukacita yang dijadikan sebagai “kemegahan
pribadi” pun akan menjadi persoalan bagi kita sebab bahaya kesombongan rohani
mengintip kita. Di sini lah peran kuasa Allah pertama-tama tampak. Bagi Paulus,
cukuplah kasih Allah membentengi dia dari
kesombongan rohani ini.
Kedua, Hasrat
untuk balas dendam. Secara
manusiawi, Paulus bisa saja terpancing ke dalam amarah yang begitu luar biasa.
Bagaimana mungkin tidak, siapa di tengah-tengah dunia ini yang santai dan damai
ketika harga dirinya rendahkan bahkan dijatuhkan? Tetapi sekali lagi, Paulus
menunjukkan kerendahatian dan kesabaran yang begitu luar biasa. Melalui suratnya
ini, memang Paulus begitu tegas. Akan tetapi, Paulus tetap mengedepankan kasih
untuk memberikan pembelaan terhadap dirinya dan jawaban terhadap
tuduhan-tuduhan miring tentang dia. Paulus bahkan merasakan kekuatiran akan
terjadinya perselisihan di tengah-tengah jemaat itu (2 Kor. 12:20). Hasrat
balas dendam adalah akar pahit yang begitu beracun dalam kehidupan ini. Melalui
perikop ini, Paulus hendak menegaskan bagaimana kasih Allah membentengi dirinya
untuk membalaskan kekejian dan rasa sakit yang dialaminya.
Ketiga, Hasrat
untuk tinggi hati. Paulus
begitu pandai untuk merangkai bahasa yang penuh kasih untuk menunjukkan betapa
rendah hatinya sosok Rasul yang begitu luar biasa hebat ini. Ayat 5 menjadi
satu pembukaan yang begitu menyentuh. Paulus memiliki alasan untuk meninggikan
diri dan hatinya sebab status kerasulan dan juga kehebatan pelayanannya. Akan
tetapi, alih-alih keberhasilannya, Paulus justru memilih bermegah di dalam
kelemahannya. Alasan ini begitu mendasar bagi Paulus. Ini dijelaskan secara
luar biasa dalam ayat 7. Paulus memandang bahwa kelemahan, keterbatasan sebagai jalan Allah untuk membentengi dirinya dari hasrat meninggikan diri. Mencukupkan
diri atas kasih karunia Allah di tengah-tengah kelemahan dan pergumulan membuat
Paulus lebih memilih bermegah atas kelemahannya supaya kuasa dan kasih Kristus
sempurna atasnya. Paulus menutupnya dengan pernyataan “Jika aku lemah, maka aku
kuat”. Allah membentengi Paulus dari hasrat tinggi hati ini supaya ketika
Paulus memperoleh sukacita dari berbagai penglihatan dan penyataan Allah yang
begitu luar biasa dia tidak jumawa dan pongah. Akan tetapi ketika di dalam kelemahan
dia memandang itu sebagai pembentengan Allah untuk dikuatkan dan mencukupkan
diri dalam kasih Allah.
REFLEKSI/KESIMPULAN