BAHAN EVANGELIUM MINGGU 5 SET.
TRINITATIS, 30 JUNI 2024
“IMAN YANG MENYEMBUHKAN”
Ev. Markus 5:21-43
PENDAHULUAN
Dalam
nas khotbah yang menjadi perenungan di minggu 5 setelah Trinitatis ini, kita
akan melihat ada dua kejadian dalam satu runtutan waktu. Ketika Yesus hendak
pergi ke rumah Yairus, seorang perempuan yang mengalami penyakit pendarahan
mengalami kesembuhan tepat setelah dia mengimani dengan teguh bahwa ketika
dirinya cukup menyentuh jubah Yesus, maka dia akan sembuh (ay.28). Benarlah
terjadi seperti yang dia imani itu. Lalu apa kata Yesus? Iman perempuan itu lah
yang menyelamatkan dan memberikan kesembuhan baginya (ay.34). Setelah itu
dilanjutkan kembali dengan peristiwa Yairus yang memohon pertolongan. Jikalau
ada di posisi Yairus barangkali kita bisa merasakan betapa besar kekuatiran,
ketakutan, kegelisahan yang dialami oleh kepala rumah ibadat ini. Dia
mengetahui bahwa anak perempuannya sakit dan hampir mati (ay.23). Melihat
situasi saat itu yang digambarkan berdesak-desakan, boleh jadi kita bayangkan
bahwa jalan mereka sangat lambat. Ditambah lagi ketika mereka harus berhenti
karena Yesus menyadari ada kekuatan yang keluar dari tubuh-Nya. Benar saja,
tepat ketika sampai orang-orang memberikan kabar dukacita yang begitu
menyakitkan. Anak perempuannya sudah mati. Bahkan, orang-orang sudah berkumpul
di sana meratap dengan suara nyaring. Secara manusiawi tidak bisa digambarkan
bagaimana peliknya duka mendalam yang harus dirasakan hati Yairus. Tetapi
ketika Yesus mengatakan “jangan takut,
percaya saja”, Yairus digambarkan tidak memberikan respon apa-apa terhadap
berita itu. Berarti hatinya benar-benar yakin terhadap perkataan Yesus dan
memilih tetap menjaga harapan dan imannya kepada Kristus yang ajaib itu.
PENJELASAN NAS
Dalam
terang tema kuasa iman yang menyembuhkan, ada beberapa hal penting menjadi
perefleksian kita:
Pertama, Kuasa Tuhan oleh iman tidak
memandang status. Dalam dua rangkaian
kejadian yang boleh digambarkan perikop ini, kita akan melihat dua orang yang
benar-benar berbeda secara status sosial. Di satu sisi, ada seorang laki-laki,
kepala rumah ibadat pula. Memiliki status sosial yang cukup tinggi di dalam
relasi sosial orang-orang Yahudi. Di satu sisi, seorang perempuan yang
mengalami penyakit pendarahan. Dalam status sosial jika dibandingkan dengan
Yairus tadi cukup timpang keberadaan mereka dalam kemasyarakatan pada saat itu.
Peristiwa ini hendak memperlihatkan bahwa pengalaman rohani dalam merasakan dan
mengalami Tuhan dalam hidup keberimanan itu tidak pernah ditentukan oleh status
dan kekayaan. Semua itu hanya oleh iman. Iman lah yang menyelamatkan, iman juga
yang menyembuhkan dan iman jugalah yang memberikan keselamatan/kehidupan.
Kedua, Iman yang menyembuhkan perlu
proses. Setidaknya dari dua kejadian yang
terjadi, Yairus harus melewati kerumunan yang berdesak-desakan. Sang Perempuan
lebih sulit lagi. Menanti 12 tahun, harta sudah banyak habis, penyakit semakin
parah. Tetapi pada akhirnya kehadiran Yesus memberikan solusi dan keajaiban
bagi mereka. Apa yang menarik? Baik cepat atau lambat, sebentar atau lama,
semua itu adalah proses. Dibutuhkan kesabaran sebab memang hidup di dalam
Kristus menjamin hidup tanpa masalah dan selalu berjalan mulus. Antara Yairus
dan Perempuan yang sakit, mereka mengalami tantangan dan proses masing-masing.
Tetapi respon keduanya tetap sabar dan teguh dalam keberimanannya. Yang paling
menarik, tak tergambar lagi seharusnya bagaimana keputusasaan perempuan yang
sakit pendarahan itu. Tetapi dalam prosesnya, di sini yang terpenting.
Perjumpaan dengan Yesus selalu membawa sukacita dan damai sejahtera.
Lalu, yang menjadi pertanyaannya
adalah: apa yang harus kita lakukan untuk bisa merasakan kuasa iman yang
menyembuhkan?
Pertama: Tanggalkan semuanya dan rendah
hatilah. Dari Yairus kita belajar bahwa popularitas,
kuasa, dan jabatan tidak menjamin kita bisa lepas dari keputusasaan. Dia yang
dihormati, datang dan bersungkur di depan kaki Yesus. Perempuan yang sakit
pendarahan pun demikian. Sadar akan keterbatasan dan penyakitnya, di dalam iman
dia berseru asal menyentuh jubah saja, aku sembuh. Saudara/i, inilah adalah
wujud dari sikap rendah hati. Mengapa ini penting? Sebab sikap ini menjadi
langkah pertama kita mengakui bahwa kita tidak sanggup tanpa Yesus. Pengakuan
akan kelemahan dan keterbatasan kita sebagai manusia itulah yang meneguhkan
iman kita datang kepada Tuhan, berseru memohon iman yang memulihkan itu. Kita
perhatikan, iman yang menyembuhkan, tidak hanya berbicara tentang kesembuhan
sakit-penyakit, tetapi juga kesembuhan hubungan dengan diri sendiri dan kepada
Tuhan. Tidak hanya berbicara tentang kebangkitan dari kematian, tetapi juga
berbicara tentang hidupnya kembali harapan di tengah-tengah pergumulan.
Kedua: Percayalah, Jangan Takut. Imanmu
menyelamatkan. Hidup memang selalu
memberikan dinamika, kejutan, yang kadang kala membuat kita begitu bahagia,
tapi di satu sisi membuat kita begitu bersusah hati. Tetapi melalui cerita ini,
seberapa lamapun penantian kita akan harapan, doa, cita-cita, kita diajak mari
senantiasa mencari Tuhan. Tetap dan teguhlah dalam kesabaran untuk menanti Dia
sang sumber kelegaan. Jangan takut. Percaya saja sebab imanmu menyelamatkanmu. Hari-hari
memang berat, pekerjaan juga kadang memberikan tekanan hebat. Belum lagi dalam
hubungan, keluarga, keuangan, dan hal lainnya memberikan rasa kecewa yang
dahsyat. Tetapi, bertahanlah di pergumulan yang sesaat lamanya ini. Buah iman
selalu manis. Untuk itu, bertahanlah sesaat lamanya. Allah akan meneguhkan,
memperlengkapi, dan menguatkan kita menghadapi semuanya.
REFLEKSI
Iman bukan sekadar keyakinan intelektual, tetapi sebuah sikap hati yang mengakui keterbatasan diri dan bergantung sepenuhnya kepada kuasa Allah. Iman juga bukanlah proses instan, tetapi sering kali melibatkan perjalanan dan proses yang penuh tantangan. Melalui ini, kita diingatkan untuk senantiasa bertekun dan bersabar menanti jawaban dan penyataan dari rencana Tuhan. Bahan ini hendak mengajak kita yang percaya untuk hidup dalam ketergantungan dan ketaatan kepada Kristus dalam segala situasi. Ketika kita mengalami pergumulan, ketakutan, atau keputusasaan, kita dipanggil untuk tidak menyerah kepada keadaan, tetapi untuk tetap percaya bahwa iman yang teguh akan membawa penyembuhan, penghiburan, dan pengharapan yang baru dalam hidup kita.