Pemuda, Identitas Agama dan Ruang Publik
Deskripsi
Radikalisme
merupakan isu kontemporer dewasa ini. Agama juga belakangan menjadi isu yang
sensitif untuk dibahas apalagi di tengah negara Indonesia yang memiliki beragam
agama di dalamnya. Ada enam agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam,
Protestan, Katolik, Buddha, Kong Hu Chu dan Hindu. Antara Radikalisme dan Agama
menjadi dua hal yang sering disandingkan dalam sebuah pembahasan. Tak dapat
dipungkiri, sering sekali terjadi pergesekan-pergesekan yang kecil maupun yang
besar dikarenakan perbedaan kepercayaan dan sikap radikalisme. Radikalisme
tidak hanya menjadi suatu indentitas yang pantas disematkan kepada satu agama
saja. Tidak ada agama yang radikal. Hanya saja, racun radikalisme dapat
meracuni seluruh agama, tanpa terkecuali. Jadi radikalisme bukanlah ajaran
murni sebuah agama, tetapi radikalisme adalah sifat eksternal yang masuk dan dipahami
dalam mempelajari niali-nilai suci agama. Radikalisme adalah lawan dari toleransi
karena di dalam paham yang radikal terdapat sifat yang keras menyatakan
kebenaran hanya ada dalam dirinya. Sikap radikal haruslah dikikis dari setiap
masyarakat khususnya dari kaum-kaum muda. Lalu bagaimana caranya mengikis
radikalisme di tengah era kemajuan teknologi yang kian pesat dan di
tengah-tengah beragamnya agama di tengah-tengah Indonesia?
AGAMA SARANA PERDAMAIAN DAN
PERSATUAN
Ada
begitu banyak defenisi akan pengertian dari Agama. Hanya pada umumnya, agama
diartikan dari bahasa Sansekerta, yaitu: a
yang artinya tidak, dan gama yang
artinya kacau. Jadi agama secara harafiah dapat dikatakan “tidak kacau”.
Sementara menurut Jonar Situmorang, agama adalah hidup yang teratur, sesuai
dengan haluan atau jalan yang dilimpahkan Tuhan dan dijiwai oleh semangat
kebaktian kepada Tuhan. Hal ini berarti jika seseorang mengaku sebagai orang
beragama, maka hidupnya harus teratur, tertib, yang sesuai dengan kaidah yang
ditetapkan oleh agamanya.[2]
Sementara Dr. Koentjaraningrat sebagaimana yang dikutip oleh Rusmin Tumanggor
mengatakan bahwa agama adalah sistem yang terdiri dari konsep yang dipercaya
dan menjadi keyakinan secara mutlak suatu umat, dan peribadatan (ritual) serta
upacara (seremonial) beserta pemuka-pemuka yang melaksanakannya. Sistem ini
mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, antara sesama manusia dan antara
manusia dengan lingkungannya.[3]
Sehingga sebenarnya kita harus sepakat bahwa setiap agama memiliki nilai tidak
hanya sebatas hubungan antara manusia dengan sang penciptanya yakni Tuhan.
Melainkan sebenarnya setiap agama mengajarkan juga nilai-nilai antara manusia
dengan sesamanya dan bahkan hingga kepada hubungan manusia dengan lingkungannya.
Dalam
GBHN 1999 secara tegas dikatakan bahwa fungsi, peran dan kedudukan agama adalah
sebagai landasan moral, spiritual dan etika dalam penyelenggaran negara serta
mengupayakan agar segala peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan
moral agama. Sehingga dapat dikatakan sebenarnya secara teoritis moral dan
etika hidup bersama sebagai sebuah bangsa telah terbentuk sedemikian rupa.[4]
Sebenarnya dari sini sudah dapat dilihat bagaimana agama memiliki peranan
sebagai sarana damai dan sarana persatuan bangsa. Bagaimana nilai-nilai
Pancasila tidak bertentangan dengan nilai agama manapun yang dipercayai di
Indonesia, dan yang terpenting adalah setiap agama pasti mengajarkan cinta
kasih, bukannya kekacauan dan kekerasan. Bagi agama Kristen sendiri, kerukunan
(perdamaian dan persatuan) merupakan panggilan iman. Dalam Roma 12:18 dikatakan
agar kita hidup dalam perdamaian dengan semua orang. Ini merupakan panggilan
serta ujian bagi bangsa kita untuk menjadi satu bangsa kendati kita
berbeda-beda suku, agama, ras dan etnis.[5]
Agama
Kristen secara tegas dan jelas mendasarkan pengajaran agamanya pada ajaran
Kasih Kristus yang menuntut agar kita mampu merepresentasikan kasih Allah di
tengah dunia. Ini berarti bahwa agama Kristen dituntut untuk menghidupi kasih
Allah melalui perdamaian, kerukunan, persekutuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kami yakin bahwa tidak hanya agama Kristen yang mengajarkan cinta
kasih ini. Namun agama-agama lain juga demikian sehingga tepatlah kita katakan
bahwa agama adalah salah satu penyumbang pemikiran perdamaian dan kesatuan
negara dengan nilai-nilai etis, moral dan rohaninya karena ajaran agama adalah
ajaran yang penuh damai dan penuh cinta.
RADIKALISME RACUN PERSATUAN
Pada
akhir abad ke-19 istilah radikal (radicalism)
di Eropa dipahami sebagai ideologi liberal dan progresif. Pada masa berikutnya
radikal tidak saja digunakan bagi mereka yang menginginkan dan mengupayakan
perubahan total, tuntas dan menyeluruh. Meskipun radikalisme lebih awal tumbuh
di dunia politik, akan tetapi belakangan ini juga terjadi dalam bidang-bidang
lain, terutama dalam bidang sosial keagamaan. Pada bidan sosial keagamaan,
radikalisme dilabelkan bagi mereka yang berpegang teguh pada keyakinan dan
ideologi yang dianutnya secara kaku sehingga konsekuensinya semua yang lain dan
tidak sama dengannya adalah salah dan keliru sehingga semua yang salah harus
diluruskan dan diperbaiki. Meski cara memperbaikinya dapat ditempuh dengan cara
damai, namun acapkali cara yang dipilih adalah cara kekerasan dan pemaksaan
kehendak.[6]
Tidak
dapat dipungkiri sebenarnya bahwa agama memiliki sisi eksklusif dan sisi
inklusif. Contoh saja, dalam hukum kasih yang Yesus ajarkan, yakni mengasihi
Tuhan Allah dan mengasihi sesama, terkandung dua sisi agama. Hukum kasihilah
Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu adalah hukum yang sangat eksklusif, sementara hukum
kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, adalah sisi inklusifnya.[7]
Penulis sendiri setuju bahwa setiap agama pastilah memiliki sisi eksklusif dan
inklusif. Sisi Eksklusif adalah ranah zona hitam yang tidak dapat diganggu
gugat. Dalam artian bahwa sisi Eksklusif agama merupakan suatu ketetapan baku
yang tidak dapat di campur-baurkan dengan ajaran agama lainnya. Sisi ini
menjadi tembok pembatas dan pemisah serta menjadi ciri khas agama yang satu
dengan yang lainnya. Sementara, sisi inklusif bagi penulis adalah zona bebas.
Dalam artian, pandangan-pandangan teologis dan buah-buah pemikiran agama dapat
disandingkan dengan agama lainnya. Sebut saja contohnya pandangan agama tentang
politik, sosial, bahkan nilai-nilai Pancasila menjadi satu bukti bahwa ada sisi
dan ajaran agama yang mampu dihubungkan dengan agama lainnya.
Hanya
saja, radikalisme menurut penulis memaksakan sisi eksklusif suatu agama dengan
agama lainnya. Kita harus ingat satu hal, radikalisme tidak dapat dilekatkan
sebagai identitas dari agama manapun. Stigma negatif terhadap satu agama
sebagai agama yang radikal harus kita tepis karena setiap agama memiliki
sejarah kelam dalam hubungannya dengan radikalisme. Jika sisi eksklusif agama
dijadikan sebagai penilaian terhadap benar tidak agama lain, tentu saja yang
terjadi adalah kekacauan. Karena tidak mungkin satu agama meyakini konsep Tuhan
dari agama lainnya. Tidak mungkin satu agama mengimani nabi agam lain menjadi
nabi mereka dan tidak mungkin mereka menerima kitab suci agama lain menjadi
kitab suci mereka juga. Jadi radikalisme merupakan suatu paham yang menilai
sisi khas agama (dalam hal ini dogma dan inti ajarannya) untuk dipaksakan
kepada agama lain yang dianggap sebagai sesat dan salah meski harus memakai
kekerasan untuk mencapai itu. Radikalisme sangat berbahaya dan sangat memecah.
PEMUDA SEBAGAI “AGENT OF CHANGE”
Dalam
Alkitab ditegaskan agar pemuda harus bersikap cerdik dan penuh kewaspadaan
dalam merespon setiap hal mengenai perubahan dan tantangan zaman saat ini
(Matius 10:16) selain itu pemuda dituntut untuk harus bisa menjadi contoh bagi
dunia dan jangan ikut serupa dengan dunia yang penuh tantangan ini (Roma 12:2)
sebagai calon generasi penerus yang akan menggantikan generasi sebelumnya.
Secara internasional, World Health Organization (WHO) menyebut sebagai “young people” dengan batas usia 10-24
tahun, sedangkan usia 10-19 tahun disebut “adolescenea”
atau remaja. Definisi yang kedua, pemuda adalah individu dengan karakter yang
dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum memiliki pengendalian emosi
yang stabil.[8]
Pemuda Kristen adalah seorang kristen yang hari hari hidupnya harus mencerminkan apa yang Yesus Kristus teladankan. Dengan kata lain pemuda kristen harus berani menempatkan dirinya di garda terdepan dalam mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kebenaran, keutuhan ciptaan yang berdasarkan kasih, Dengan kata lain, pemuda Kristen harus menjadi pelopor terwujudnya "Shalom Allah" di tengah tantangan zaman ini.
RUANG PUBLIK MEDIA MELAWAN
RADIKALISME
“Bijaklah
bersosial media” menjadi satu slogan yang sering bergema karena memang sudah
sangat memprihatinkan bagaimana kita bersosial media. Cacian dan makian, ujaran
kebencian, hoax atau berita palsu
menjadi makanan sehari-hari di tengah-tengah kehidupan bersosial media.
Sehingga peribahasa “mulutmu adalah harimaumu” terkadang digeser menjadi
“jarimu adalah harimaumu”. Kebanyakan pengguna sosial media secara gampang saja
menerima suatu berita tanpa memilah, memilih dan menimbang kebenaran isi berita
tersebut. Kebebasan berekspresi, berpendapat dan beraktualisasi diri di dalam
media sosial tampaknya disalah gunakan dengan menebar perkataan-perkataan tak
pantas, mengucapkan umpatan dan makian, bahkan menjadi tempat tercepat untuk
menebarkan paham-paham radikalisme. Kenyataan dan realita ini haruslah kita sadari
secepat mungkin karena melalui sosial media, informasi sangat cepat beredar.
Jika
sosial media dapat menjadi sarana penyebaran paham-paham radikalisme dengan
cepat, maka secara positif kita dapat mengatakan bahwa sosial media menjadi
sarana tercepat juga untuk mencegah radikalisme. Bagaimana caranya? Belakangan
semenjak pandemi, ada banyak cara yang sudah dilakukan. Entah itu memperbanyak
kegiatan pemuda lintas agama, ada juga dengan webinar-webinar kerukunan umat
beragama, kampanye-kampanye positif untuk menjaga persatuan, kesatuan serta
kerukunan umat beragama di Indonesia, dan masih banyak lagi. Cara-cara ini
sudah mulai ditempuh untuk menciptakan toleransi dan menepis bahaya
radikalisme. Mari mulai dari diri sendiri. Bagaimana caranya? Langkah termudah
adalah dengan memfokuskan pandangan pada “kesamaan antar agama” yang dapat
dicapai, bukan berfokus pada “perbedaan”. Kelemahan kita adalah terlalu gampang
dibutakan oleh perbedaan sementara masih ada sisi lain yang harus kita bangun
yakni sisi inklusif agama itu sendiri. Mari fokus pada persamaan nilai untuk
mencegah radikalisme dan penghakiman.
TINJAUAN TEOLOGIS
Agama
Kristen adalah agama yang penuh cinta kasih. Dalam Roma 12:18 dikatakan bahwa
kita harus hidup berdamai dengan sesama kita. Dalam Galatia 6:2 dikatakan agar
kita saling bertolong-tolongan dalam menanggung beban. Jadi jelas bahwa dalam
hukum kasih Kristus, dalam hal berhubungan dengan masyarakat tidak ada tempat
bagi radikalisme, karena sangat bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani. Dari
cerita Injil, Yesus sang Mesias disalibkan juga dikarenakan pemahaman
radikalisme. Orang Yahudi terlalu terpaku mati kepada ajaran mereka dan
memandang apa yang berada di luar mereka adalah kesesatan dan ketidaksesuaian
dengan hukum Musa. Sehingga jikalau ada yang bertindak di luar paham mereka,
akan dikucilkan dan bahkan dibunuh.
Radikalisme
dapat dikatakan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka, meski
harus menggunakan kekerasan sekalipun. Hanya saja, dalam 1 Petrus 3:15
dikatakan: “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap
sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggung jawbaan kepada tiap-tiap
orang yang meminta pertanggung jawaban dari kamu tentang pengharapan yang ada
padamu, tetapi haruslah lemah lembut dan hormat”. Pemberitaan firman,
memberitakan kebenaran, tidaklah harus dengan cara paksaan apalagi kekerasan.
Petrus dengan jelas mengatakan bahwa cukup jelaskan ajaran Kristen pada orang
yang ingin mendengarkannya atau yang memintanya. Itupun jangan paksakan pada
mereka. Tetapi sampaikan dalam kelemahlembutan dan penuh kasih. Sehingga
prinsipnya, inilah yang harus ditekankan. Jangan saling menghakimi, jangan
saling membenci karena perbedaan, jangan paksakan kebenaran dan menyalahkan
agama lain dengan perspektif agama sendiri, mulailah saling menghargai dan
fokuslah pada persamaan nilai-nilai daripada perbedaan ajaran.
KONTRIBUSI
Bagi
sekolah teologi, yang adalah tempat bagi para calon hamba Tuhan haruslah
berperan aktif dalam menyediakan ruang diskusi lintas agama yang tidak
membandingkan dan mencari kebenaran atau kesalahan, melainkan membangun suatu
ide konstruktif yang berguna bagi bangsa dan negara menjadi suatu gagasan iman
bersama lintas agama terhadap isu-isu kontemporer untuk mencerdaskan masyarakat
dari segi intelektual dan spiritual.
Bagi
gereja, pentingnya menanamkan sikap anti-radikalisme adalah agar gereja terbuka
terhadap perbedaan yang ada. Gereja tidak menarik diri dari orang yang tidak
Kristen. Gereja yang transformatif adalah gereja yang membumikan kasih Allah
kepada semua ciptaan. Hal ini tidak akan terjadi jika gereja hidup dalam
radikalisme dan eksklusifitas yang berujung penutupan diri terhadap yang
lainnya. Sebagaimana Kristus yang menyatakan kasih-Nya kepada semua orang,
tidak hanya kepada orang Yahudi namun kepada orang Samaria, berarti gereja yang
mengajarkan kasih Kristus juga tidak boleh menutup diri dan bersikap radikal.
Bagi
masyarakat, penting untuk memahami ajaran agama secara mendalam serta sadar
akan sikap anti radikalisme. Karena Indonesia sangat majemuk kepercayaannya
sehingga sangat mudah sebenarnya untuk memecah belah dengan mengangakat isu
agama yang sensitif.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Syahrin, Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme & Terorisme: Edisi Pertama.
Depok: SIRAJA, 2017.
Kobong, Th., Pluralitas
dan Pluralisme, dalam Agama dalam
Dialog: Pencerahan,
Pendamaian dan Masa Depan. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003.
Mulyana Teddy, Cultures and communication an Indonesian scholar’s perspective,
Bandung: Remaja Rosdakrya, 2012
Situmorang, Jonar, Mengenal Agama Manusia. Yogyakarta: ANDI, 2017.
Tumanggor, Rusmin, Ilmu Jiwa Agama: The Psychology of Religion. Jakarta: Prenada
Media,
2016.
Yewangoe, A.A., Agama
dan Kerukunan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Yewangoe, A.A., Tidak
Ada Penumpang Gelap: Warga Gereja, Warga Bangsa. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009.
[1] Mahasiswa STT Abdi Sabda Medan
T.As. 2017/2018 Semester IX Asal Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI).
[2] Jonar Situmorang, Mengenal Agama Manusia (Yogyakarta:
ANDI, 2017), 18.
[3] Rusmin Tumanggor, Ilmu Jiwa Agama: The Psychology of Religion (Jakarta:
Prenada Media, 2016), 6.
[4] A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2009), 1.
[5] A.A. Yewangoe, Tidak Ada Penumpang Gelap: Warga Gereja,
Warga Bangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 3-5.
[6] Syahrin Harahap, Upaya Kolektif Mencegah Radikalisme &
Terorisme: Edisi Pertama (Depok: SIRAJA, 2017), 3-5.
[7] Th. Kobong, Pluralitas dan Pluralisme, dalam Agama dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2003), 127.
[8] Teddy
Mulyana, Cultures and communication an
Indonesian scholar’s perspective, (Bandung: Remaja Rosdakrya, 2012), 12