ALKITAB: FIRMAN ALLAH YANG DITULISKAN
I.
Pendahuluan
Alkitab merupakan kitab suci bagi agama Kristen. Dalam perkembangannya,
Alkitab yang telah dicetak sekarang melalui proses yang begitu panjang.
Berabad-abad sudah perjalanan perkembangan Alkitab. Dimulai dari hanya para
imam yang dapat memakainya pada abad pertengahan, hingga akhirnya Alkitab mulai
dicetuskan agar dapat dibaca juga oleh kaum awam, sampai kepada perkembangan
Alkitab haruslah diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti –bahasa lokal
yang digunakan masyarakat pada tempat tertentu – agar dapat dengan mudah
digunakan oleh semua orang dan dapat menjangkau segala suku dalam proses
pemberitaan Injil dan kabar baik. Yohanes 1:1 jelas mengatakan bahwa “pada
mulanya adalah firman, firman itu besama-sama dengan Allah dan firman itu
adalah Allah”. Dalam Yohanes 1:14 juga dikatakan bahwa firman itu telah menjadi
manusia. Ia adalah Yesus Kristus Sang Firman yang menjadi manusia. Kristus
adalah Sang Firman. Lalu bagaimana dengan Alkitab yang sering sekali disebut
sebagai “firman Allah”? Bahkan dalam khotbah minggu, pendeta sering mengatakan
“kita buka firman Tuhan yang tertulis dalam....” ketika hendak menyampaikan
khotbahnya. Apakah memang Alkitab adalah firman Allah? Pada saat kapan Alkitab
disebut sebagai firman Allah? Bagaimana kedudukan Alkitab sebenarnya bagi
gereja dan juga ajaran gereja? Lalu, apakah fungsi Alkitab bagi orang percaya?
Untuk inilah makalah ini dibuat, untuk memberikan jawaban secara singkat
terhadap pertanyaan-pertanyaan ini dan memberikan pemahaman yang dogmatis
mengenai Alkitab dan kedudukannya sebagai Firman Allah.
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian Alkitab
Secara etimologi, Alkitab berasal dari bahasa Yunani, yaitu biblia yang artinya kitab-kitab. Alkitab
terdiri dari “Perjanjian Lama” dan “Perjanjian Baru”. Yang pertama memuat 39
Bagian, yang kedua 27 bagian.[1]
Bentuk jamaknya menunjukkan fakta bahwa Alkitab Kristen bukanlah suatu
keutuhan, melainkan suatu kumpulan.[2]
Kitab Suci orang Kristen lebih sering dikenal dengan istilah Alktiab. Pada awalnya,
tulisan-tulisan yang dibacakan dalam gereja, disebut sebagai kitab-kitab, yaitu
Ta biblia dalam bahasa Yunani.
Demikanlah terbentuknya kata biblia.
Namun, tulisan-tulisan yang disebut dengan biblia
ini lambat laun dipandang sebagai suatu kesatuan, sehingga istilah biblia yang berbentuk jamak diganti
dengan kata Alkitab yang berbentuk tunggal. Kata Alkitab sendiri bagi semua
orang mengandung arti satu kitab. Satu hal yang menarik, bahwa dalam Alkitab
sendiri, tidak akan dijumpai satu kata pun atau suatu petunjuk tentang asal
muasal istilah Alkitab dan kanon. Jadi, sebutan ini diberikan kepada kumpulan
tulisan ini di kemudian hari.[3]
2.2.
Pengertian Kanon
Alkitab bukanlah sebuah kitab yang langsung jatuh dari surga dengan
bentuk yang sudah lengkap. Pertanyaannya adalah bagaimanakah Alkitab telah
menjadi tersusun dengan sedemikian rupa seperti yang kita pegang sekarang?
Inilah yang disebut dengan kanon. Kata kanon sebenarnya dapat diartikan
sebagai: penggaris, tali ukur; dengan arti kiasan: ukuran atau norma. Sehingga
kemudian kata ini dipakai untuk daftar Kitab-kitab yang menjadi Alkitab. Isi
Alkitab inilah yang diakui oleh gereja sebagai ukuran dan norma bagi iman serta
kehidupan Kristen.[4] Dalam
rangka teologi, istilah “Kanon Kitab Suci” menunjuk pada koleksi kitab-kitab
yang diilhami oleh Roh Kudus dan yang sama-sama membentuk Alkitab sebagai norma
iman.[5]
2.3.
Proses dan Sejarah Kanon
Pada dasarnya, dapat disebut tiga peristiwa yang mendorong gereja purba
menggabungkan tulisan-tulisan yang dikarang para rasul dan yang dikarang di
bawah pengaruh para rasul digabungkan menjadi satu kumpulan yang baku (kanon), yaitu:
1.
Timbulnya tradisi-tradisi rahasia
aliran Gnostik yang sesat dan tidak benar
2.
Kumpulan tulisan yang dipersingkat
oleh Marcion
3.
Montanisme dengan pewahyuan yang
baru.
Terhadap serangan itu, kanon gereja
digunakan sebagai tolak ukur. Kira-kira pada tahun 200, satu kanon yang berisi
paling sedikit 21 tulisan sudah diakui, dan pada pertengahan kedua abad ke-4,
kanon Perjanjian Baru yang berjumlah 27 diterima secara umum.[6]
2.3.1.
Kanon Perjanjian Lama
Dalam banyak buku pengarangan dan naskah baku, dapat ditemukan
pandangan bahwa Perjanjian Lama baru ditetapkan secara defenitif pada akhir
abad pertama Masehi.[7]
Selama seratus tahun pertama dalam sejarah gereja, Kanon Kitab Suci dalam arti
yang ketat hanya terdiri dari buku-buku Perjanjian Lama, khususnya Septuaginta
(kitab Suci orang Yahudi Hellenis) yang disusun di Aleksandria.[8]
Sejarah awal proses kanon menurut para ahli biasanya ada dua pilihan:
1.
Kanon mulai ketika Allah
menyampaikan Firman-Nya (diperkirakan pada abad ke-12 sM ketika Israel keluar
dari Mesir).
2.
Proses kanon mulai ketika
ucapan-ucapan itu dituliskan atau dibukukan. Jika proses ini diterima, maka pengkanonan
diperkirakan pada abad ke-7 sM, karena pada zaman inilah ditemukan bukti yang
tertua tentang adanya kitab Taurat dalam bentuk tertulis.
Bagi orang Yahudi, mereka tidak
mengenal istilah kitab Perjanjian Lama, tetapi bagi mereka adalah kitab suci
yang sering disebut juga TENAK yaitu singkatan dari Torah (kitab Musa), Nebi’im (kitab
nabi-nabi) dan Kethubim (kitab-kitab).[9]
2.3.2.
Kanon Perjanjian Baru
Bagi kanon Perjanjian Baru acap kali ditemukan dua kriteria agar suatu
kitab dianggap kanonis: 1. Kalau “menyaksikan” Kristus dan 2. Kalau merupakan
kesaksian ‘asli” yaitu yang berasal dari para rasul atau pada zaman mereka.[10]
Pembicaraan resmi mengenai kanon oleh para utusan gereja dalam suatu
konsili baru terjadi pada abad keempat. Konsili pertama yang membicarakan hal
ini adalah Konsili Laodikia pada tahun 363. Ketetapan kelima puluh sembilan
dari konsili ini memutuskan bahwa hanya kitab-kitab kanonik Perjanjian Baru
saja yang boleh dibacakan dalam kebaktian gereja. Konsili ketiga Katargo tahun
397 memberikan sebuah daftar karangan yang sama dengan kedua puluh tujuh kitab
Perjanjian Baru yang sekarang. Konsili Hippo tahun 419 mengulangi dan
meneguhkan keputusan serta daftar yang sama.[11]
2.4.
Alkitab Sebagai Firman Allah
Tuhan Allah menyatakan diri-Nya kepada Israel dengan firman dan
karya-Nya di dalam sejarah. Oleh karena segala pernyataan atau perkenalan itu
terjadi di dalam sejarah, maka kita menyaksikan Tuhan Allah beraksi, berbuat,
berkarya di dalam sejarah Israel dengan karya-karya-Nya yang besar dan menakjubkan.
Tuhan Allah adalah Allah yang hidup sejak dahulu hingga sekarang, dan sampai
selama-lamanya. Ia terus bekerja di dalam sejarah sejak dahulu hingga kini dan
sampai selama-lamanya. Demi keselamatan seluruh umat manusia di segala zaman
dan tempat, penyataan Allah harus diteruskan dari keturunan yang satu kepada
yang lainnya. Oleh karena itu perlulah penyataan Allah ini dibukukan agar tidak
ditambah atau dikurangi oleh manusia jika meneruskannya secara lisan saja.
Dengan dibukukannya kesaksian ini menjadi tetap, terjagalah kemurnian penyataan
Tuhan Allah. Itulah sebabnya dalam Perjanjian Keluaran 17:14 Musa diperintahkan
untuk menuliskan “perang Israel dan Amalek” dalam sebuah kitab sebagai tanda
peringatan. Dalam Keluaran 24:3-7 disebutkan tentang adanya sebuah “kitab
perjanjian” yang ditulis atas perintah Tuhan Allah sendiri.[12]
Jika ditanya, apakah Alkitab Firman Allah? Para ahli teologia
menekankan bahwa yang dinyatakan Allah dalam proses penyataan, ialah Allah
sendiri. Allah menyatakan Diri dalam Firman-Nya, dan Firman itu adalah Yesus
Kristus. Itu berarti bahwa pada prinsipnya, dan terutama, bahwa Firman Allah
itu bukanlah Alkitab, melainkan Yesus Kristus itu sendiri. Di dalam Yesuslah
(menurut Injil Yohanes) Firman Allah menjadi daging. Akan tetapi rumusan ini
tidak berarti bahwa Yesus Kristus, Firman Allah itu, dapat didekati terlepas
dari Alkitab. Hubungan antara Yesus dengan Alkitab itu dapat menggunakan konsep
“kesaksian” yaitu Alkitab merupakan kesaksian tentang penyataan Allah.[13]
2.4.1.
Firman Allah yang berbentuk Tiga
Karena Alkitab mempersaksikan tentang Firman Allah (Yesus Kristus) itu
sendiri, maka dapatlah dikatakan kalau Alkitab itu sendiri disebut juga “Firman
Allah”. Maksudnya adalah bahwa Firman Allah memiliki tiga bentuk, yakni Yesus
Kristus, Sang Firman yang menjadi daging yang merupakan bentuk primer Firman
Allah. Bentuk Sekunder firman Allah adalah Alkitab dalam bentuk tertulisnya,
dan bentuk ketiganya ialah firman Allah yang berupa kerygma gereja, firman yang
dalam bentuk khotbah atau yang dikhotbahkan. Ketiga bentuk ini berhubungan
erat, yakni Sang Firman Yesus Kristus hanya berbicara bilamana Ia disaksikan
oleh Alkitab dan diberitakan dengan iman oleh gereja. Alkitab merupakan firman
Allah hanya sebagai kesaksian tentang Allah yang menyatakan dirinya dalam Yesus
Kristus itu.[14]
Alkitab akan “menjadi firman Allah” jika dan hanya jika kita percaya.
Maksudnya adalah hanya di dalam percaya – yang berarti oleh pekerjaan Roh Kudus
di dalam diri kita – isi Alkitab bagi kita menjadi Firman Allah yang difirmankan-Nya
kepada kita. Hanya di dalam percaya (iman) kita dapat mengaku bahwa “ALKITAB
ADALAH FIRMAN ALLAH”. Bilamana Roh Kudus mempergunakan isi Alkitab, maka
sungguh terjadilah sesuatu: dengan perantaraan isi Alkitab, Firman yang hidup
itu datang kepada kita dan bertindak dalam hati dan hidup kita. Sebab dengan
perantaraan Alkitab, Roh Kuduslah yang mau mempertemukan kita dengan Yesus
Kristus sebagai Firman yang hidup.[15]
2.5.
Wibawa Alkitab bagi Gereja dan Ajaran Gereja
Alkitab bukanlah kitab yang tiba-tiba turun dari surga. Alkitab jelas
ditulis oleh manusia. Hal ini membuat banyak pertanyaan mengenai kewibawaan
Alkitab. Dalam 2 Timotius 3:16 dikatakan bahwa segala tulisan yang “diilhamkan
Allah”. Kata diilhamkan dalam bahasa Yunani menggunakan kata theopeustos, yang secara harafiah
berarti dihembus, dimasuki angin atau nafas Allah. Maka ungkapan tulisan yang
diilhamkan berarti tulisan yang kedalamnya dihembuskan atau ditiupkan nafas
atau roh Allah. Di dalam pengilhaman itu, Tuhan Allah memakai manusia sebagai
alat-Nya. Sekalipun semua kata-kata yang dituliskan adalah kata-kata manusia,
kesaksian manusia, namun dapat dikatakan juga bahwa Roh Kudus turut bersaksi di
dalam kesaksian Alkitab. Sebab, menurut Alkitab, Roh Kudus bersaksi dengan
perantaraan kesaksian manusia.[16]
Siapa yang percaya kepada Yesus Kristus pasti mengakui bahwa Alkitab
memiliki kewibawaan. Alkitab memiliki kewibawaan rohani yang timbul dari isinya
sendiri, bukan dari keputusan suatu rapat gereja. Asal dan sumber kewibawaan
Alkitab adalah Allah sendiri. Alkitab adalah pemberitaan tentang sejarah
keselamatan yang pusatnya ialah Yesus Kristus.[17]
Alkitab adalah norma yang menentukan (norma normans).[18]
Dengan demikian, Alkitab adalah tolak ukur satu-satunya, dan Alkitab adalah
sumber bagi setiap ajaran gereja dan kehidupan gereja. Gereja harus mendasarkan
semua ajarannya berdasarkan kebenaran Alkitab, karena hanya Alkitab lah
satu-satunya tolak ukur kebenaran.
2.6.
Fungsi Alkitab Bagi orang Percaya
Alasan mengapa Alkitab ditulis dan dipelihara adalah: “Supaya kamu yang
percaya kepada nama Anak Allah, tahu, bahwa kamu memiliki hidup yang kekal” (1
Yoh. 5:13).[19] Allah memberikan Firman-Nya kepada manusia dengan tujuan yang jelas,
yaitu:
a.
Menyelamatkan manusia dari dosa dan
kutukan melalui iman kepada Kristus. Manusia telah diciptakan untuk hidup penuh
sukacita dan kebahagiaan dalam persekutuan dengan Allah. Karena dosa, manusia
kehilangan semua ini dan menjadi subyek kematian kekal. Tergerak oleh rasa
kasihan-Nya yang tidak terbatas, Allah memutuskan untuk menyelamatkan manusia.
Untuk itu, Allah tidak hanya menebus manusia melalui kematian putera-Nya (Rm
5:8-9), melainkan juga memberikan Kitab Suci yang “memberi hikmat kepada kita
dan menuntun kita kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (2
Timotius 3:15).
b.
Mengajarkan dan mendidik
anak-anak-Nya dalam kesucian hidup. Untuk tujuan ini Firman Allah adalah
“pelita bagi kaki kami dan terang bagi jalan kami” (Mzm 119:105). Paulus juga
memandu kita bahwa “segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat
untuk mengajar, menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk
mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16).
c.
Membesarkan kemuliaan-Nya. Kedua
tujuan ini berpuncak pada tujuan terakhir yaitu kemuliaan Allah. (1 Petrus
4:11).[20]
III.
Kesimpulan
Firman Allah mempunyai bentuk rangkap tiga. Bentuk primer firman Allah
adalah Yesus Kristus sendiri, sang Firman yang dinyatakan. Bentuk sekundernya
adalah skriptura dalam bentuk tertulisnya. Sedangkan bentuk ketiga ialah Firman
yang berupa kerygma gereja, firman dalam bentuk
khotbah. Ketiga bentuk tersebut berhubungan erat. Yesus Kristus hanya
berbicara bilamana Ia disaksikan oleh skriptura dan diberitakan dengan iman
oleh gereja. Alkitab merupakan Firman Allah hanya sebagai kesaksian tentang
Allah yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus. Bahkan Alkitab merupakan Firman
Allah bila diterima dengan penuh iman. Alkitab adalah tolak ukur satu-satunya
tentang kebenaran bagi gereja dan kehidupan orang percaya.
IV.
Daftar Pustaka
Barr, James, Alkitab di Dunia
Modern. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.
Becker, Dieter, Pedoman
Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Boland, B.J. Intisari Iman
Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Browning, W.R.F. Kamus Alkitab:
Panduan Dasar ke dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh dan Istilah Alkitab.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.
Dister, Nico Syukur Teologi
Sistematika 1. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Hadiwijono, Harun, Iman Kristen.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.
Kennedy, D. James dan Newcombe, Jerry, Bagaimana Jika Alkitab Tidak Pernah Ditulis?. Batam: Interaksara,
1999.
Koehler, Edward W.A. Intisari
Ajaran Kristen. Pematangsiantar: Akademi Lutheran Indonesia, 2012.
Saragih, Agus Jetron, Kitab
Ilahi: Pengantar Kitab-Kitab Perjanjian Lama. Medan: Bina Media Perintis,
2016.
Tenney, Merril C. Survei
Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 1997.
van Bruggen, Jacob, Siapa yang
Membuat Alkitab: Penyelesaian dan Kewibawaan Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru. Surabaya: Momentum, 2002.
[1] B.J. Boland, Intisari Iman Kristen (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2011), 65.
[2] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab: Panduan Dasar ke dalam
Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh dan Istilah Alkitab (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2013), 13
[3] Jacob van Bruggen, Siapa yang Membuat Alkitab: Penyelesaian dan
Kewibawaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Surabaya: Momentum, 2002),
2.
[4] G.C. van Niftrik dan B.J.
Boland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1995), 402.
[5] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1 (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), 89.
[6] Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009), 44.
[7] Jacob van Bruggen, Siapa yang Membuat Alkitab: Penyelesaian dan
Kewibawaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, 19.
[8] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, 89-90.
[9] Agus Jetron Saragih, Kitab Ilahi: Pengantar Kitab-Kitab
Perjanjian Lama (Medan: Bina Media Perintis, 2016), 19-22.
[10] Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat,
48.
[11] Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum
Mas, 1997), 505-506.
[12] Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1995), 54-55.
[13] James Barr, Alkitab di Dunia Modern (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 30-31.
[14] James Barr, Alkitab di Dunia Modern, 31-32.
[15] G.C. van Niftrik dan B.J.
Boland, Dogmatika Masa Kini, 390.
[16] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, 56-60.
[17] G.C. van Niftrik dan B.J.
Boland, Dogmatika Masa Kini, 399.
[18] Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium SIngkat , 26.
[19] D. James Kennedy dan Jerry
Newcombe, Bagaimana Jika Alkitab Tidak
Pernah Ditulis? (Batam: Interaksara, 1999), 17.
[20] Edward W.A. Koehler, Intisari Ajaran Kristen (Pematangsiantar:
Akademi Lutheran Indonesia, 2012), 15-16.