Kontraversi Yesus dengan Pemimpin Agama Yahudi; Kontraversi Paulus dengan Yudaisme Kristen; Corak Pandangan Bapa-bapa Gereja di Zaman Patriakh (Tokoh-tokoh & Kelompok Aliran Teologi)
I.
Pendahuluan
Pada kesempatan
kali ini, kita akan membahas mengenai kontraversi ajaran keselamatan yang
dikemukakan oleh Yesus, para pemimpin agama Yahudi, lalu kemudian kontraversi
ajaran Paulus dengan Yudaisme Kristen, lalu kita juga akan melihat bagaimana
penghayatan para bapa-bapa gereja (pada zaman Patriakh) mengenai apa itu
keselamatan. Melalui pemaparan ini, kita diharapkan untuk mampu memahami lebih
dalam mengenai apa sebenarnya keselamatan itu menurut ajaran Kristen dan
bagaimana keselamatan menurut beberapa pemahaman-pemahan yang berkembang.
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian Keselamatan
Keselamatan
berarti diselamatkan dari suatu malapetaka. Namun, Alkitab juga menggunakan
istilah keselamatan untuk pengertian yang khusus, yaitu menunjuk pada penebusan
kita dari akibat dosa dan rekonsiliasi dengan Allah. Di dalam pengertian ini,
keselamatan berarti diselamatkan dari malapetaka yang paling fatal, yaitu
penghakiman Allah.[1]
Dalam Perjanjian Baru, keselamatan adalah kebebasan mendasar, yaitu dari dosa,
jadi juga kebebasan dari hukuman dan segala akibat dari dosa. Keselamatan ini
adalah milik orang yang mengikut Kristus.[2]
2.2.
Ajaran Keselamatan Menurut Yesus
Yesus
mulai mengajarkan para murid bahwa Anak Manusia akan menderita, ditentang oleh
pemimpin Israel dan akhirnya dibunuh. Yesus datang seperti yang dikatakan-Nya,
untuk menyerahkan nyawa-Nya. Yesus tidak hanya berkata bahwa Ia akan menderita,
melainkan juga Ia harus menderita sebab hal itu sudah digariskan bagi-Nya dalam
kitab suci. Yesus menegaskan bahwa Ia menderita demi orang-orang lain:
kematian-Nya akan membebaskan mereka sama seperti harga tebusan membebaskan
seorang tawanan (Mrk. 10:45; 14:24).[3]
Alkitab
mengajarkan bahwa Allah telah menyediakan keselamatan melalui pribadi dan karya
Putra-Nya. karya Putra Allah ini bertujuan untuk menyelamatkan kita dari
kesalahan, hukuman, kuasa dan akhirnya kehadiran dosa.[4]
Kematian Kristus bukan hanya berkaitan dengan manusia dan dosanya, melainkan
juga menyangkut Allah, dan hal ini disebut dengan istilah hendak mendamaikan.[5]
2.3.
Ajaran Keselamatan Menurut Pemimpin Agama
Yahudi
Hukum
mempunyai tempat yang sentral di dalam ke-Yahudi-an sepanjang sejarah.
Sepanjang sejarah tersebut, orang Yahudi merasa mempunyai ikatan dan kewajiban
terhadap hukum. Dan perasaan itu bukan makin luntur, melainkan sebaliknya makin
tebal dan mendarah daging. Hidup mereka sehari-hari mereka baktikan untuk mempelajari,
menafsirkan, memberlakukan dan menghayati Hukum.[6]
Bagi orang-orang Yahudi yang berpendapat bahwa jasa dapat ditabung dengan cara
memelihara hukum Taurat dengan cermat, “perbuatan menurut hukum Taurat”
merupakan jalan keselamatan.[7]
Menurut teologi Yahudi, tujuan hidup manusia yang terutama adalah menaati
perintah Allah dan menjalankan kewajiban yang digariskan bagi umat manusia
secara keseluruhan.[8]
Bagi orang Yahudi, dengan perasaannya yang kuat tentang keadilan Allah,
satu-satunya cara yang adil ialah memperhatian utang piutang lalu mengganjar
seseorang menurutnya. Ia sungguh yakin bahwa keselamatan adalah hasil dari
perbuatannya.[9]
2.4.
Kontraversi Yesus dengan Pemimpin Agama Yahudi
Yesus
memunculkan antithesis ketika di hadapan para ahli Taurat dengan berkata bahwa
Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa saat berada di bumi, yaitu di sini dan
saat ini (Matius 9:6). Bagi Yudaisme, esensi pembenaran ilahi baru akan terjadi
di masa depan, dalam penghakiman sorgawi dan seluruh kehidupan merupakan
persiapan bagi masa depan ini. Menurut Yudaisme, pembenaran merupakan perkara
yang tersembunyi bersama Allah, dan kepastian baru bisa diperoleh saat
penghakiman Allah nanti.[10]
2.5.
Ajaran Keselamatan Menurut Paulus
Paulus
menegaskan bahwa orang-orang berdosa “oleh anugerah telah dibenarkan dengan
cuma-cuma” (Rm. 3:24), kendati manusia harus mengambil pembenaran ini bagi
dirinya melalui iman. Apa yang disediakan anugerah, diterima oleh iman (bnd.
Rm. 4:16). Dengan demikia Paulus dapat menyimpulkan keselamatan sebagai
“karena anugerah…oleh iman” (Ef. 2:8). Allah telah memanggil orang percaya
oleh anugerah (bnd. Gal. 1:6,15). Anugerah dikaruniakan kepada kita dalam
Yesus Kristus, “sebelum permulaan zaman”.[11]
Jadi bagi Paulus, jantung dan isi Kitab suci bukanlah pembenaran oleh Taurat,
tetapi pembenaran oleh iman.[12]
2.6.
Ajaran Keselamatan Menurut Yudaisme Kristen
Setelah
Paulus dan Barnabas ke Antiokhia dan mengabarkan keberhasilan mereka,
“…beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada
saudara-saudara di situ: Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang
diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan”. Para penganut Yudaisme
bersikeras bahwa sunat telah ditetapkan oleh hukum Musa sebagai tanda
perjanjian dengan Allah (Kel. 12:48), dan bahwa ketentuan ilahi itu tidak
boleh tidak harus dipenuhi.[13]
Bagi Yudaisme, Taurat adalah penangkal penting bagi ancaman dan kuasa dosa.
Taurat adalah sarana penting untuk mendapatkan pujian, pahala dan kebenaran di
hadapan Allah, untuk menundukkan dorongan berbuat jahat dan untuk memimpin
kebaikan beroleh kemenangan.[14]
2.7.
Kontraversi Paulus dengan Yudaisme Kristen
Pandangan
Paulus dengan Kristen Yudaisme mengenai keselamatan sangat berbeda. Yudaisme
tidak mengenal jalan keselamatan selain oleh Taurat, dan bahwa bagi Yudaisme di
sinilah letak keistimewaan Israel atas bangsa-bangsa lain: dalam Taurat mereka
memiliki sarana untuk beroleh hidup.
Dalam
Roma 7:7 Paulus mengatakan bahwa hukum Taurat bukanlah dosa. Dan di ayat 12 Paulus menjawab, “Hukum Taurat
adalah Kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik”. Penolakan
Paulus akan Taurat sebagai sarana keselamatan didasarkan pada fakta bahwa
kematian dan kebangkitan Kristus tidak hanya menyatakan jalan keselamatan yang
lebih baik, tetapi juga menyatakan tidakcukupan absolut dari Taurat sebagai
sarana keselamatan.[15]
Paulus menegaskan bahwa orang-orang berdosa “oleh anugerah telah dibenarkan
dengan cuma-cuma” (Rm. 3:24), kendati manusia harus mengambil pembenaran ini
bagi dirinya melalui iman. Apa yang disediakan anugerah, diterima oleh iman
(bnd. Rm. 4:16). Dengan demikia Paulus dapat menyimpulkan keselamatan sebagai
“karena anugerah…oleh iman” (Ef. 2:8).[16]
2.8.
Corak
Pandangan Bapa-bapa Gereja di Zaman Patriakh
A.
Kelompok
Aliran Theologi
Pada
masa bapa-bapa gereja, mereka mengambil kesimpulan bahwa “keselamatan oleh
iman”. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana sebenarnya bukti
daripada iman itu? Dari pertanyaan ini lahirlah tiga aliran yang menekankan
bukti iman.
1. Gnostik
Gnostik meyakini bahwa keselamatan dicapai dengan
jalan pengetahuan rahasia (gnosis).
Menurut Gnostik, manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Manusia
diselamatkan hanya dengan pengetahuan rahasia yang hanya dimiliki oleh kaum
Gnostik. Pengetahuan rahasia tersebut menyebabkan manusia mengetahui dirinya
sendiri dan dari mana asalnya yang sebenarnya. Gnostik Kristen mengajarkan
bahwa Kristus merupakan suatu eon yang turun dalam manusia Yesus agar ia dapat
mengajarkan jalan keselamatan kepada manusia.[17]
2.
Moralisme
Moralisme adalah paham yang berpendapat bahwa dengan
melaksanakan kebaikan manusia mendapat keselamatan abadi di surga, lepas dari
rahmat Tuhan. Moralisme membuat Tuhan melulu sebagai hakim yang tugasnya
menghukum dan memberi ganjaran. Kita melaksanakan perbuatan moral, perintah
agama, hanya demi pahalanya.[18]
3.
Sakramentalisme
Sakramentalisme adalah suatu keyakinan yang percaya
bahwa keselamatan rohani dapat diperoleh melalui rasa percaya yang tebal
dibarengi dengan tindakan-tindakan yang bertalian dengan sakramen, serta
ikhtiar-ikhtiar bermakna kesucian, yang olehnya manusia akan memperoleh
tumpahan rahmat dari Tuhan.[19]
B.
Corak
Pandangan Bapa Gereja
1.
Ignatius
dari Anthiokia
Dalam
surat-surat Ignatius, ia sangat menekankan persatuan antara orang percaya
dengan Kristus. Karena ia telah bersatu dengan Kristus, orang percaya menerima
kehidupan kekal, yang sudah mulai dinikmatinya dalam kehidupan ini.
Sakramen-sakramen, khususnya sakramen Perjamuan Kudus, merupakan saluran yang
paling penting untuk menerima anugerah itu, sehingga Ignatius sampai-sampai
menyebutkan Perjamuan sebagai “obat ketidakfanaan, obat penawar maut”.[20]
2.
Origenes
Ajaran
Origenes mengenai penebusan bertentangan dengan ajaran gereja yang ortodoks. Ia
mengajarkan bahwa semua makhluk ciptaan Allah akan mengalami keselamatan,
termasuk di dalamnya iblis dan malaikat yang memberontak kepada Allah. Pada
akhirnya, segala sesuatu akan dipersatukan kembali, lalu terjadi lagi kejatuhan
ke dalam dosa dan terbentuklah dunia yang baru. Dengan demikian akan terdapat
serentetan dunia yang baru.[21]
3.
Ireneus
Secara
garis besar beginilah uraian ajaran Ireneus: Adam serta segenap bangsa manusia
diciptakan untuk hidup yang baka, tetapi oleh karena jatuhnya ke dalam dosa
maka manusia diikuti dengan kefanaan. Untuk melepaskan manusia, Allah mengutus
Anak-Nya yaitu Logos, yang masuk ke dalam daging manusia. Dengan demikian
Kristus menghubungkan tabiat manusia dengan kuasa Allah yang kekal. Kristus
adalah Adam yang kedua, yang menggenapi segala tuntutan Allah, yang dilalaikan
Adam yang pertama. Di dalam kebangkitan-Nya Kristus memberi suatu petaruh dan
jaminan hidup yang baka kepada sekalian orang yang percaya kepada Dia.[22]
Ajaran Ireneus ialah sama seperti jiwa,
begitu juga tubuh manusia diciptakan oleh Allah. Maksud Allah ialah supaya
tubuh dan jiwa itu kelak diberi hidup kekal. Namun, karena manusia jatuh
kedalam dosa, tubuh dan jiwa itu tidak dapat tidak harus binasa. Tetapi, ia
berkenan kepada Allah untuk menebus kita. Kristus, yang adalah Allah
sepenuhnya, mengenakan tubuh dan jiwa manusia. Tubuh dan jiwa itu, karena
penggabungan yang erat dengan bagian Kristus yg Ilahi, mengambil alih sifat
keIlaihan , yaitu kekekalan. Dengan demikian, sesudah mati, kemanusiaan Kristus
bangkit pula dan ikut naik ke sorga. Tetapi setiap kali Ekaristi dinyalakan,
tubuh itu diterima oleh orang percaya. Kita memakan tubuh Kristus lalu tubuh
itu menjadi suatu obat, semacam ragi, yg lama kelamaan mengubah sifat dan jiwa
kita menjadi kekal. Ia menganggap sakramen sebagai “ragi (obat) kekekalan”.
Teologi Irenaeus bercorak sakramentalistis.
Artinya, Anugerah Allah disalurkan kepada kita terutama melalui sakramen.[23]
III.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ajaran keselamatan yang
diajarkan oleh Yesus adalah keselamatan yang dapat diperoleh jika kita
mengimani dan mengikut Yesus dengan sungguh-sungguh. Yesus datang seperti yang
dikatakan-Nya, untuk menyerahkan nyawa-Nya. Yesus tidak hanya berkata bahwa Ia
akan menderita, melainkan juga Ia harus menderita. Kunci keselamatan manusia
berada dalam diri Kristus sendiri (bnd. Yohanes 14:6). Yesus adalah
satu-satunya jalan keselamatan sebagaimana yang sudah dikatakan dalam Yohanes
3:16. Sementara menurut para pemuka agama Yahudi, keselamatan dapat diperoleh
melalui hukum Taurat. Keselamatan dapat diperoleh dari perbuatan mereka
sendiri. Semakin banyak mereka melakukan sesuatu yang sesuai hukum Taurat,
semakin banyak amal yang mereka terima.
Ajaran
keselamatan yang ditekankan oleh Paulus adalah keselamatan yang diperoleh
karena anugerah dari Allah oleh iman (Efesus 2:8). Paulus menegaskan
keselamatan semata-mata diterima secara cuma-Cuma oleh anugerah Allah melalui
karya penyelamatan Anak-Nya, Yesus Kristus. Sementara Yudaisme Kristen, mereka
menerima Yesus sebagai penebus dosa saja, tetapi jalan keselamatan menurut
mereka tetaplah hukum Taurat (Kisah Para Rasul 15).
IV.
Daftar
Pustaka
Berkhof,
H. dan Enklaar, I.H. Harta dalam Bejana:
Sejarah Gereja Ringkas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.
Berkhof,
H. dan Enklaar, I.H. Sejarah Gereja. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2015.
France,
R.T. Yesus Sang Radikal: Potret Manusia
yang Disalibkan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Guthrie,
Donald Teologi Perjanjian Baru 2. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2011.
Hardjana,
A.M. Penghayatan Agama: Yang Otentik dan
Tidak Otentik. Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Ladd,
George Eldon, Teologi Perjanjian Baru
Jilid 2. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002.
Ridderbos,
Herman, PAULUS: Pemikiran Utama
Theologinya. Surabaya: Momentum, 2013.
Soedarmo,
R. Kamus Istilah Teologi. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1988.
Sproul,
R.C. Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman
Kristen. Malang: SAAT, 1997.
ten
Napel, Henk, Kamus Teologi
Inggris-Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Tenney,
Merrill C. Survei Perjanjian Baru. Malang:
Gandum Mas, 1997.
Thiessen,
Henry C. Teologi Sistematika. Malang:
Gandum Mas, 1995.
Wahono,
S. Wismoady, Di Sini Kutemukan: Petunjuk
Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Wellem,
F.D. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004.
Wellem, F.D. Riwayat Hidup Singkat: Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
[1] R.C. Sproul, Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen (Malang:
SAAT, 1997), 211-212.
[2] R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1988), 51.
[3] R.T. France, Yesus Sang Radikal: Potret Manusia yang di Salibkan
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 110-111.
[4] Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas,
1995), 307.
[5] George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru Jilid 2 (Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 2002), 175.
[6] S. Wismoday Wahono, Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan
Mengajarkan Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 324.
[7] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2011), 127.
[8] Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum
Mas, 1997), 106.
[9] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, 120.
[10] Herman Ridderbos, PAULUS: Pemikiran Utama Theologinya (Surabaya:
Momentum, 2013), 166-167.
[11] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, 271-272.
[12] Herman Ridderbos, PAULUS: Pemikiran Utama Theologinya,
155.
[13] Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, 322.
[14] Herman Ridderbos, PAULUS: Pemikiran Utama Theologinya,
131.
[15] Herman Ridderbos, PAULUS: Pemikiran Utama Theologinya, 132-134.
[16] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, 271.
[17] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2004), 153.
[18] A.M. Hardjana, Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak
Otentik (Yogyakarta: Kanisius, 2012), 93-94.
[19] Henk ten Napel, Kamus Teologi Inggris-Indonesia (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2006), 278.
[20] H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1985), 26-27.
[21] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat: Tokoh-tokoh dalam
Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 153.
[22] H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2015), 40.
[23] Thomas Van Den End, Harta Dalam Bejana, 66.